Sidik Nugroho *
jawapos.co.id
MEMILIKI seorang anak yang normal secara fisik dan psikis mungkin tak akan mendatangkan banyak masalah, terutama dalam mengajaknya berkomunikasi, belajar, dan bermain. Para orang tua tinggal menentukan pola pembelajaran dan pendidikan yang tepat, maka anak itu sangat mungkin akan baik-baik saja. Sebuah keluarga yang bahagia pun terbentuk.
Namun, berbeda dengan Sansan, panggilan akrab San C. Wirakusuma. Dia memiliki anak yang tuli (tunarungu) karena sebuah serangan virus. Anaknya itu bernama Gwen. Menurut dr Goh di Queen Mary Hospital Hongkong, tunarungu yang diderita Gwen tersebut disebabkan virus bernama CMV (cytomegalovirus).
Begitu mendapatkan vonis itu, Sansan dengan segenap daya-upaya mencari kesembuhan. Dia dan sang suami mencoba berbagai pengobatan alternatif, berdoa memohon kesembuhan, menghadapi seorang dokter yang ketus, tugas-tugas rumah tangga yang berat, dan anak yang sulit diajak berkomunikasi dan mengerti. Namun, kesembuhan tetap tak terjadi pada Gwen.
Pada usia 17 bulan, Gwen dipasangi cochlear implant, sebuah alat bantu pendengaran yang canggih, yang membuat dia kian mahir berkomunikasi. Namun, tantangan tak berhenti di situ. Gwen perlu banyak berlatih memperhatikan, mendengarkan, dan berbicara. Sebelum itu, beberapa alat bantu pendengaran telah dipasang, namun hasilnya tidak maksimal. Upaya mendatangkan kesembuhan bagi Gwen akhirnya membuat Sansan mengambil keputusan membawa Gwen ke Australia, berpisah dari suaminya, membesarkan anak itu seorang diri.
Kisah Sansan mendidik putrinya tersebut dihadirkan cukup menyentuh oleh kedua penulis. Tidak diceritakan bagaimana proses kreatif penulisannya: apakah buku itu ditulis dengan cara Sansan menuturkan kepada Febi Indirani, atau mereka menuliskannya bersama-sama. Namun, tanggal, kejadian, ekspresi orang-orang, cuaca, dan situasi di hampir semua kejadian yang ada di buku tersebut terkisahkan dengan cukup detail dan menarik. Pembaca dibawa masuk ke dalam kehidupan keluarga Sansan.
Kisah Sansan dan Gwen itu akan menginspirasi para pembaca, terutama para guru sekolah luar biasa, para pendidik, dan para ibu tentunya. Kisah tersebut digarap cukup baik dari awal hingga akhir. Sayang, dalam beberapa halaman masih tampak beberapa kesalahan penulisan tanda baca dan ejaan.
Hal-hal yang berkaitan dengan dunia kedokteran, pendidikan, atau psikologi tak banyak dikisahkan dengan detail dalam buku itu. Porsi terbesar adalah penggambaran kondisi sebuah keluarga yang memiliki anak yang ”tak sama” dengan anak yang lain. Dari sinilah buku tersebut memiliki keunikan tersendiri. Kita diajak menghayati dan belajar mendidik seorang anak yang tak bisa mendengar; juga memahami perasaan ibu yang melahirkan dan membesarkannya.
Misalnya, ketika suatu hari Gwen diundang pesta ulang tahun temannya bernama Aaron. Waktu itu Gwen masih menggunakan alat bantu pendengaran yang lebih sederhana daripada cochlear implant. Oleh terapisnya yang bernama Ivy, Sansan diminta selalu memakaikan alat itu pada Gwen. Namun, karena alat tersebut akan mengundang berbagai reaksi dan pertanyaan dari orang di sekitar Gwen, Sansan tak memasangkan alat itu pada pesta ulang tahun Aaron.
Suasana pesta yang riuh dan penuh keriangan tak dinikmati oleh Gwen yang tak bisa mendengarkan apa-apa. Sansan tidak memasangkan alat bantu pendengarannya karena ingin Gwen tampak seperti anak normal lainnya. Namun, keinginan itu justru membuat Gwen tampak tak seperti anak lain: Gwen tidak bisa menikmati pesta yang sedang berlangsung, sementara anak-anak yang lain bergembira ria. Sansan mengalami dilema.
Ya, pergulatan batin seorang ibu tersebut dikisahkan dengan baik dalam buku itu. Demi cintanya kepada sang buah hati, Sansan mengambil lagi kuliah S-2 Jurusan Special Education, sebuah jurusan yang banyak mempelajari pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Saat membesarkan anaknya sendirian sambil kuliah, dia mengenang: ”Masa-masa itu saya harus benar-benar disiplin, membagi waktu antara kuliah, mengerjakan tugas-tugas makalah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan mengurus serta melatih Gwen.”
Dengan lugas Sansan juga menguraikan argumen-argumennya yang penting tentang perlakuan yang harus diberikan kepada setiap anak agar memperoleh kesempatan yang sama untuk bertumbuh-kembang menjadi pribadi yang seutuhnya. Anak-anak adalah anugerah Tuhan, dan para orang tua yang berbahagia adalah mereka yang menghargai anugerah itu dengan berjerih payah mendatangkan kebahagiaan dan masa depan yang indah bagi mereka.
Judul Buku: I Can (Not) Hear
Penulis: Feby Indirani dan San C. Wirakusuma
Editor: Christian C. Simamora
Penerbit: Gagas Media, Jakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 2009
Tebal: 352 halaman.
*) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo.