Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=503
NYANYIAN DAN KELUH
Henry Lawson
Kali meluncur dengan nyanyi tertegun,
Di bawah pohonan tinggi;
Air mengaruskan nyanyian lalu:
Keluh-kesah pohonan tinggi.
Meliku lewat keluh kesah dan nyanyi,
Melenggok ke bawah;
Mengitari kaki gunung yang tinggi
Dan lereng bukit jingga.
Mereka redup di rawa “Dosa-si-Mati”
Di mana lonceng melulung;
Tapi mereka serentak sampai di sungai
Dan di sana menghilang.
Dan kali hidup pun tak henti meliku,
Mengembara lalu;
Dan di atas arusnya mereka dukung selalu:
Nyanyian dan keluh.
Henry Lawson (17 Juni 1867 – 2 Sep 1922), penyair penutup suatu kurun jaman dalam kesusastraan Australia, dimulai dengan Henry Kendall (1839 – 1883). Jaman para penyair menyanyikan kesukaran-kesukaran yang dihadapi kaum pelopor, sewaktu awal mencoba membangunkan benua tersebut. Dalam hidup Lawson banyak mempunyai pengikut, tapi tidak seorang pun dari mereka sanggup menandingi. Hipunan sajaknya yang terkenal Winnowed Verses. {dari buku Puisi Dunia, jilid II, disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka 1953}.
***
Hidup berabadi, ditandai mampu melawan rasa sakit tubuh pun psikis, ada yang dipertaruhkan di sana.
Keraguan menyergap berpeluk rapat hingga pedih menyayat dilampaui.
Aku tafsirkan bersama perih, ketakseimbangan dipegang kuat, sampai getaran hati berdiri tegak.
Meski masih bersimpan luka teramat, biar mengering lenyap.
Atau terlupakan gerak kata siasat. Terus menanjak walau bayu hujan lebat menderas ganas.
Henry Lawson menekuri aliran kali tertegun tubuh jiwanya menggemerincing; bola mata melampung di ketinggian genangan air hayati.
Melarut hanyut berpusaran di sisi batu sebelum jauh, ada kekencangan menggelombang memercik detak ombak di kedalaman lembut.
Fikiran nakal, sedang, di samping kesantunan, ada lekas berubah warna, lama mengendap tua, air menampung segala perasaan.
Bertubi-tubi disaring waktu tenggang keterjagaan; lewat memusat terbelah sirna, kekosongan ampang, ke binaran pandangan.
Angin serta kupu-kupu menari riang dalam kesenangan bathin kenyang akan nilai-nilai.
Insan dengan jarak ditentukan tatapan dan lintasan, kerutan dahi menggoyang kepala, berguguran luput, bergelayut jiwa pencari.
Keterjagaan teruskan langkah meliku keluh, melenggak kemungkinan mengitari pohonan ingatan yang tinggi menjulang.
Memberi rimbun pengertian di lereng-lereng bukit hati jingga.
Lawson melukis gurat warna cahaya disejajarkan, demi selaras terasa pun terfikirkan.
Bahasa puisi menyimpan suasana ke penghujung masa tidak terganti.
Keniscayaan fitroh kelahiran berbeda, menafaskan namun tetap satu kerinduan.
Resapan lagu menelisiki cela-cela terpencil ke dasar kepemilikan, dikoyak kala ada sisi kebetulan.
Demikian rasa satu ke lain saling mengisi tembang melestari, tak semudah perkiraan sebelumnya, tapi ada keajaiban mengantar bersungguh menggali.
Di rawa-rawa kemarau kesaksian melanda rupa, kematian berbicara, lenyap sejatinya bertinggal disembunyikan ketulian.
Di sini kemampuan mereka berhimpitan takdir lain. Yang terus berkisaran di relung sukma akan sampai ke pemiliknya.
Serupa perkiraan kini, yang mampu menjejak keleluasan, hawa angin padang rerumputan, dirasa kesegaran muda kedewasaan faham;
sejuklah sampai, dan omong kosong yang tak peduli.
Demikian hembusan semesta turut mengikuti jarak paling lapang, tanpa curiga selain saling memaknai.
Tahap demi tahap tingkat-bertingkat keraguan dijejali hasrat terkoyak laras, kucuran keringat kesembuhan menguap hangat.
Keluguan pula ketakutan meluncur memaknai kehadiran manfaat, lantas kematangan tidak ragu ditandai kembara.
Menggelinjak arus besar menopang keluhan menjelma nyanyian rindu, tiada tertahan menghampiri.
Kehidupan tak tersangka dari perut letih, letak perbendaharaan.
Lawson, itulah tafsiranku pada puisimu; tetubuh sama ramping lekat dalam sapuan angin laksana kuas.
Idep kita berkedip-kedip meniup kohwa panas, menderaslah semangat.