Sitok Srengenge *
jawapos.co.id
MANAKALA dunia kian sempurna, karena pengetahuan sudah merambah dan terus ingin menyentuh apa saja yang jauh, yang tak terhingga, manusia konon makin sering abai pada hal-hal yang tampak sederhana di sekitarnya. Maka, ketika kita membaca karya seorang penyair perihal sesuatu yang kecil dan sepele, seperti cahaya yang menerobos lubang genting dan jatuh menimpa wajah atau setitik air hujan yang tergelincir ke selokan atau bulu bunga jambu yang luruh dari gagang; ada kalanya kita tersentak. Bagai tersadarkan tentang banyak hal yang hilang, hal-hal yang mestinya begitu akrab namun luput dari perhatian. Sebab, sesuatu yang kecil dan sepele itu sesungguhnya tak semata soal ukuran dan kegunaan, melainkan terkait erat dengan pemaknaan.
Penyair Alberto Caeiro mungkin bisa menjadi contoh laik tentang bagaimana kita memaknai sesuatu yang sederhana. Di antara sekian banyak puisinya yang tak sempat dikumpulkan, ada seuntai sajak pendek, To See the Fields and the River, yang mencoba memberikan arti lebih pada jendela. Siapa pun tentu tak asing dengan benda itu. Namun, tak seperti kebanyakan orang, bagi Caeiro jendela bukan sekadar bukaan pada dinding rumah atau gedung yang memungkinkan cahaya dan udara masuk ke ruangan dan orang bisa melempar pandang ke pekarangan.
Hanya ada sebuah jendela tertutup, dan seluruh dunia di luarnya,
Dan impian tentang apa yang bisa terlihat jika jendela terbuka,
Yang tak pernah terlihat ketika jendela terbuka.
Frase pertama pada larik-larik kalimat di atas langsung menegaskan keberadaan jendela yang, kendati merupakan bagian dari suatu dunia, seolah setara dengan ”dunia di luarnya”. Jendela menjadi batas, pembeda, yang juga mengisyaratkan adanya dunia lain, yakni ”dunia dalam”. Simbol jendela itu juga berarti ambang yang memisah sekaligus menautkan antara ”impian” dan ”apa saja” atau ”realitas”, termasuk sesuatu yang mungkin tak konkret kehadirannya. Dengan demikian, jendela menjadi simbol atas kesadaran adanya batas. Ada dunia di dalam batas dan dunia di luar batas. Sajak Caeiro ditulis dengan perspektif dari dalam, mengingatkan keterbatasan manusia dan kehendaknya menjangkau ”dunia di luarnya” yang jauh lebih luas, yang seolah tak berbatas.
Pada awal sejarahnya, jendela tak lebih dari sebuah lubang oval atau kotak kecil pada dinding. Lubang itu umumnya hanya ditutup dengan tirai kain atau lempeng kayu. Sesuai kemajuan pengetahuan dan kemampuan teknik yang dicapai manusia, lalu diciptakan berbagai jenis jendela yang memungkinkan cahaya, tetapi tidak udara, merasuki ruang bangunan. Ragamnya yang hingga kini kita kenal, antara lain, jendela kaca berbingkai yang menggabungkan keping-keping kaca dengan timah atau yang kini kita kenal sebagai kaca patri, jendela kertas, tanduk binatang yang ditipiskan hingga tembus cahaya, dan pelat logam berlapis potongan tipis marmer.
Jendela kaca berbingkai menjadi pilihan utama orang-orang Eropa. Bukti adanya jendela kaca ditemukan di Italia sekitar 3000 tahun lalu. Gereja-gereja tradisional pun, sebagaimana kita tahu, memakai jendela kaca. Di Inggris, pada awal abad ke-17, kaca digunakan di rumah-rumah orang biasa. Menggantikan jendela dari panel tanduk binatang yang ditipiskan, yang digunakan sejak abad ke-14 di Northern Britain. Jendela kertas yang lebih ekonomis secara luas digunakan di Tiongkok dan Jepang. Jendela zaman modern biasanya berupa empat persegi panjang atau bujur sangkar besar dengan permukaan kaca, kadang membentang dari lantai hingga ke langit-langit, baru bisa diciptakan ketika industri kaca berhasil menyempurnakan proses produksinya.
Dalam kosakata Inggris, kita kenal kata yang semakna dengan jendela, yakni window. Kata itu sejatinya berasal dari bahasa Norse Kuno, vindauga, dari vindr (angin) dan auga (mata). Konon, sebutan vindauga sampai kini masih digunakan di Icelandic, juga di beberapa dialek Norwegia yang artinya sama dengan window. Window kali pertama dicatat pada awal abad ke-13 dan mulanya mengacu pada lubang tidak berkaca di atap rumah.
Kata window menggeser kata Inggris lama eag’yrl, yang secara literer berarti ”lubang mata” dan eagduru, ”mata pintu”. Dalam bahasa Jerman terdapat kata fenster dan bahasa Swedish punya f’nster; keduanya diadopsi dari kata Latin fenestra yang berarti jendela berkaca. Dalam bahasa Inggris, kata fenester digunakan secara paralel hingga pertengahan 1700-an dan fenestration masih dipakai untuk pengaturan jendela-jendela pada bagian depan suatu gedung. Bahasa Denmark punya kata yang mirip dengan window dalam bahasa Inggris, yaitu vindue. Kemiripan itu diduga merupakan pengaruh bahasa Denmark terhadap bahasa Inggris pada zaman Viking.
Kini kita tahu bahwa asal mula pengertian jendela sedikit berbeda dengan sejarah kegunaannya. Secara etimologi, ia berarti ”mata angin”, namun pada awalnya lubang pada dinding itu dimaksudkan sebagai celah bagi cahaya, bukan udara. Perkembangan bentuk dan fungsi jendela akhirnya banyak memengaruhi jendela masa kini yang sekaligus menggabungkan kedua fungsi itu, sebagai celah cahaya dan udara. Misalnya, jendela kaca yang pada bagian atasnya terdapat bouven alias angin-angin.
Dalam khazanah agama, jendela juga mendapat pemaknaan yang berbeda-beda. Tiga agama Ibrahim masing-masing punya sikap dan kebiasaan berlainan mengenai pemilikan dan penggunaan jendela. Dalam agama Kristiani, Gospel Matthew adalah satu-satunya Gospel yang menyebutkan bahwa Kristus menggunakan jendela berornamen ketika melakukan Perjamuan Malam Terakhir. Ajaran Katolik yang substansial konon diambil dari Gospel Matthew itu, sebagai bandingan terhadap Gospel yang lebih baru dari Mark, Luke, dan John. Protestan sering menggunakan referensi jendela untuk mendukung klaim mereka bahwa kepercayaan Katolik adalah ”ornamental” atau dengan kata lain, mengorupsi ajaran Kristus.
Keluarga Syi’ah, khususnya di Iran, sering berkumpul di dekat jendela dan berulang melafalkan doa As-sallamu. Tradisi itu mengacu pada laku Imam Ali yang berdiri di dekat jendela sebelum dibunuh dan dipenggal kepalanya pada 19 Ramadan 661 H.
Kepercayaan Yahudi punya sikap yang ambivalen terhadap jendela. Satu-satunya ritual yang menggunakan jendela adalah Bar Mitzvah, ketika seorang pemuda harus berdiri dan menatap ke timur di depan jendela dan membaca bagian yang dipilih dari Taurat. Bagian terpilih tersebut harus mewakili aspirasi si pemuda tentang masa dewasanya. Peristiwa dalam Bar Mitzvah itu disebut Aruchat Boker yang secara literer berarti ”persiapan suatu pagi”, mengacu pada fajar kehidupan anak muda bersangkutan sebagai seorang yang beranjak dewasa. Aruchat Boker makin jarang dilakukan sejak 100 tahun terakhir dan kini hanya dipraktikkan Yahudi Karaite.
Kita juga acap mendapati jendela digunakan sebagai metafor. Buku disebut jendela dunia, misalnya. Kita tahu, buku diyakini sebagai salah satu wahana pengusung pengetahuan. Buku disemaknakan dengan jendela, celah pandangan yang memungkinkan kita memahami lebih banyak khazanah lain dan baru yang terbentang lebih lapang daripada cakrawala pengetahuan kita sebelumnya. Makna metaforik seperti itu kiranya dekat dengan pemaknaan yang diberikan Alberto Caeiro tadi. Apalagi setelah kita tahu bahwa sejatinya Caeiro adalah nama (dan kepribadian) lain dari Fernando Pessoa, penyair yang dikenal gemar merenung, menikmati lamunan dan impiannya sambil duduk di depan jendela. Sebagaimana kita tahu dari sebait puisinya:
I contemplate the silent pond
Whose water is stirred by a breeze.
Am I thinking about everything,
Or has everything forgotten me?
*) Esais tinggal di Jakarta.