Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=389
Marco Polo (15 Sep 1254 – 8 Jan 1324), pedagang penjelajah lahir di Venezia, Italia. Pergi ke Tiongkok semasa kuasanya Dinasti Mongol. Menemukan kekisah menarik dan aneh, dari dunia Timur bagi bangsa Eropa. Para cendekia berpendapat Marco ke Tiongkok, tetapi tidak mengunjungi semua tempat, yang tergambar di bukunya (Xanadu). Kisah menarik untuk Indonesia, cerita unicorn (kuda bertanduk satu) yang dijumpai di Sumatra. Namun ilmu pengetahuan membuktikan, yang ditemuinya bukan sembrani, melainkan badak.
Dataran Indonesia yang disebut di bukunya: Pulau Jawa Besar (Jawa); diperkirakan sangat luas, karena pantai selatannya tidak sempat dikunjungi. Juga diceritakan ekspedisi penyerangan, kegagalan Kubilai Khan. Pulau-pulau Sondur dan Condur (belum jelas); diperkirakan kepulauan di Laut Cina Selatan, yang digunakan patokan pelayaran. Pulau Pentam (Bintan); letaknya dari selat Singapura. Kota Malaiur (Melayu atau Palembang?); dikisahkan raja-raja Melayu, diantaranya Paramasura. Pulau Jawa Kecil (Sumatra?); diperkirakan Sumatra, sebab ciri-ciri komoditas pun hewan (gajah, badak, elang hitam) disebutkan. Kerajaan-kerajaan Ferlec (Perlak) pula Basma (Pasai?); dituturkan beberapa kerajaan bertetangga, juga suku Battas (Batak) di pedalaman. Kerajaan-kerajaan Samara (Samudra) dan Dagroian (belum jelas); disebutkan pohon kelapa (Malay palm) disamping legenda kanibalisme famili yang meninggal. Kerajaan-kerajaan Lambri (Lamuri) dan Fansur (Barus); mengenai legenda manusia berbulu memiliki ekor (orangutan?), kapur barus, pula sagu kelapa.
{dari http://id.wikipedia.org/wiki/Marco_Polo}
***
Sebelum menguak misteri kuda sembrani, akan kuceritakan awal diriku terpikat olehnya. Semasa kecil, ketika orang tua masih hidup di kediaman buyut Kasipah, setiap malam tak ingin melewati mendengarkan kisah sembrani, yang katanya bertengger di dahan pohon klampis, belakang rumah dekat kuburan.
Dongeng masa kanak membayang, laksana menghidupi alam bawah sadarku, kerap kali tiba-tiba melonjak, dibangunkan dinaya kesadaran ganjil, menghantar diriku terus berolah rasa, bergulat pada alam antara;
Kreativitas angan menjelajahi penalaran, berkumpul di degup kesaksian, dibopong dan ditopang realitas laku kenyataan, dan Tuhan Maha Ajaib mendorong kepada puncak kepastian.
Kala bertemu penulis senior KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum) di Jogja, dan mengetahui jiwaku terperdaya kisah belia, aku diajaknya jalan-jalan ke percandian sekitar Jogja.
Kali itu bukan candi kutemui, namun sebongkah batu besar persegi empat, panjangnya satu depa satu depa, yang kukira seratus orang tak mampu mengangkatnya, tepatnya di daerah Piyungan Jogjakarta.
Batu besar itu menarik, tengahnya tertanca besi, yang berada persisi di tengah atas, anehnya di sebelah batu, ada pohon beringin, yang seyogyanya dedahannya menaungi.
Tapi memang ganjil, dedahannya semestinya menjunur menutupi ubun-ubun batu, menyamping atau berubah arah ke posisi tidak wajar, menjauhi batu tersebut.
Batu ajaib itu di sekelilingnya tergurat beraneka relief, yang paling menarik bagiku, relief kuda sembrani atau unicorn di sebelah barat letaknya.
Ciri-cirinya kuda bersayap, ujung ekornya tumpul seakan dipenuhi lebat bulu-bulu. Aku melihat takjub merinding, sebab dongeng buyutku tidak main-main, setidaknya Tuhan perjodohkanku akrab dengan beliau, yang kuanggap guru spiritual menulis.
Bersama mas Suryanto, pribadiku sangat dekat dengan bebatuan candi, sampai mengetahui prosesi membangun ulang atas candi Ijo misalnya, pun candi-candi lainnya.
Walau kami bukan arkeolog sekadar pengelana, tapi dari buku-buku yang ada, bisa membedakan bebatuan candi atas usianya, lalu selisih ratusan tahun pun mengerti, walau dengan tatapan mata elusan jemari.
Kadang sempat dicurigai para dinas resmi, namun dengan arkeolog luar negeri, yang ditugaskan menata ulang batuan, malah santun, mungkin merasa sejiwa.
Cacatan di wikipedia disebutkan, Marco Polo bertemu sembrani, atau kuda bertanduk satu, yang dijumpai di pulau Sumatra, namun ilmu pengetahuan menyangkal, dengan menyangka badak bercula satu.
Kukira tersebut bukan dongeng semata, Morco pun mendengar ringkikan kuda, serta kepakan sayapnya, seperti kudengar saat-saat mau tidur, diselimuti malam gelap di kedalaman pedesaan.
Kuda itu memiliki lintasan penerbangan, serta waktu-waktu tertentu yang merindingkan bulu, hanya orang pernah mendengar dan melihatnya saja yang percaya.
Serupa perihal langkah kaki-kaki para prajurit, yang kadang mengelilingi keraton Jogjakarta di tengah malam, ada banyak saksi mendengar, padahal tak tampak oleh mata.
Sampai sekarang ilmu pengetahuan, masih kerap disenggol perihal yang belum sanggup diwedarkan, dengan tuntas secara jasadiah.
Ini menggejala tak hanya di dunia Timur, di Barat pula mengakui alam lain selain yang tampak. Ditemukannya relief kuda sembrani ialah menguatkan kesaksian, serupa relief-relief lain pada candi-candi lain.
Ada kehidupan di sana, peradaban ditumpuk timbunan kebodohan, serupa bebatuan candi tertimbun tanah liat, datangnya longsor serta banjir besar.
Tapi gending nyanyiannya terus mengidupi rerumputan, perasaan halus bersama alam atas bumi, dengan kalbu menjaga kelestarian, demi dipunggah kembali, sebagai kekayaan bathin perbendaharaan, bagi mau bersanding nafas-nafas pertiwi.
Di belahan lain, jika menelisiki jauh, dimungkinkan mendapati kenyataan mengagumkan, semisal ditemukannya tulang belulang Dinosaurus, wujud kepurbakalaan, yang menghampiri logika indrawi.
Demikian memakan waktu bertahun-tahun, seperti mengembalikan batuan candi berserakan tidak tentu arah, hanya arsitektur para ahli arkeolog dan dibentuk panitia khusus.
Serupa pemugaran pertama candi Borobudur di tahun 1900, diketuai Dr. J.L.A. Brandes, dilanjutkan Van ERP (1907-1911) yang berlangsung besar-besaran dengan biaya 100.000 Gulden, lantas menjadi kebanggaan?
Semoga nilai leluhur tetap luhur terpelihara di jagad bumi Nusantara, dengan kasih sayang merawat juang, serupa embun kembali muda di pagi harinya, pada rerumputan tropis Indonesia.
***