Melukis Bersama hingga Orasi Budaya

Menyambut Pergantian Tahun ala Seniman Jogja
A. Riyadi Amar

Home Page

Ada banyak cara yang dilakukan masyarakat Jogja untuk menyambut detik-detik pergantian tahun baru kemarin. Mulai menggelar doa bersama, pesta kembang api, hiburan musik hingga melukis bersama. Juga ada pertunjukan seni tradisional bernuasa modern seperti gamelan gaul, barongsay, jathilan dan kolaborasi keroncong karawitan serta orasi budaya.

Kanvas berukuran panjang antara 3 x 6 meter terlihat berjajar di tembok warna putih. Satu per satu perupa mengambil kanvas, bersiap melakukan aksi menggoreskan cat. Di antara perupa, dari yang muda hingga tua, ada yang melukis sambil berdiri. Ada pula yang sambil duduk di lantai keramik warna putih itu.

Itulah gambaran aksi puluhan perupa di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dalam rangka menyambut detik-detik pergantian tahun. Perupa kawakan Djoko Pekik dan Suradmaji terlihat sangat akrab ketika melukis bersama di satu kanvas.

Pekik melukis seorang pria berambut ngepang yang sedang mengenakan topeng perempuan cantik. Lukisan yang didominasi warna kuning itu seakan menggambarkan kondisi realitas politik di tanah air. Di sebelah kiri, ada lukisan hasil karya perupa Suradmaji.

Mengenakan topi dan pakaian serba hitam, Suradmaji melukis tangan yang menggambarkan seakan ada orang yang tenggelam dan minta tolong. Dalam lukisan yang didominasi merah itu, Suradmaji juga menulis kalimat ndladuk asu ndladuk dan merahnya merah.

Tidak hanya perupa Djoko Pekik dan Suradmaji yang terlihat unjuk kebolehan menggoreskan cat kedalam kanvas. Perupa kawakan yang lain seperti Kartika Afandi dan Nasirun juga ikut memperlihatkan keahlihannya di hadapan ratusan pengunjung.

Hal yang ditampilkan adalah hal yang indah, mengagumkan dan membuat tenang. Padahal sebenarnya ada kejahatan yang disembunyikan dalam gambar yang indah itu. Mereka tidak berkomunikasi baik dengan masyarakat. Ada yang disembunyikan,?? kata Djoko Pekik saat ditemui koran ini.

Sutradara kondang Garin Nugroho dalam orasi budayanya mengatakan, tahun 2008 diisi dengan politik tanpa rasa haru. Dari 500 pilkada yang sudah digelar di tanah air, semuanya menampilkan alat peraga kampanye berupa poster dan lain-lain yang jauh dari realitas sosial masyarakat.

Hampir semua menampilkan poster, tidak memperhatikan realitas rakyat sesungguhnya. Poster tidak memperhatikan hal-hal kecil dari masyarakat,? kata Garin.

Politisi lebih menonjolkan wajah dan profil mereka masing-masing. Namun tidak ada satu gambar yang menampilkan hubungan antara politisi dengan realitas masyarakat. ?Kampanye mereka kebanyakan narsis. Hanya menampilkan diri mereka sendiri, tidak ada yang berhubungan dengan realitas masyarakat,? terangnya.

Dikatakan, berdasarkan hasil survei beberapa lembaga, lanjut Garin, popularitas politisi yang duduk di DPR, DPRD dan lembaga politik lain turun drastis. ??Ini kan ada yang tidak beres dari perilaku politisi kita selama ini. Politisi kehilangan rasa haru, kepekaan sastra dan kesenian. Padahal, ini penting untuk bisa memahami realitas,? ungkapnya.

Sementara rohaniawan Romo Budi Subanar mengungkapkan, tahun 2009 ini harus dijadikan renungan untuk menata kehidupan yang lebih baik. Jika selama ini masyarakat dalam berpolitik lebih mengarah pada ekonomi, maka, 2009 masyarakat harus berpolitik yang berbudaya.

Orang Jawa percaya dengan realitas. Sebelum bertindak, mereka selalu kosentrasi bertanya keluar dan ke dalam diri sendiri. Kemudian pada tahap berikutnya merenungkan asal mula kehidupan dan tujuan hidup,? kata dosen Universitas Sanata Dharma (USD) ini.

Romo Banar menilai selama ini masyarakat termakan oleh produksi dan konsumsi imajiner. Realitas ini dihadirkan oleh para politisi yang selalu membawa janji-janji manis perubahan. Menurut Banar, para pemimpin seolah-olah bisa mengatasi persoalan, seolah-olah selalu diterima oleh masyarakat.

Padahal sebenarnya tidak demikian. Negara ini membutuhkan seorang pemimpin yang mampu membawa perubahan seperti yang diharapkan. Masyarakat butuh bukti bukan janji kosong,? keluhnya.***

One Reply to “Melukis Bersama hingga Orasi Budaya”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *