Kustiah
http://www.jawapos.co.id/
KEMATIAN kebudayaan terkadang tidak disebabkan tiadanya penerus, tapi seringkali oleh kebijakan negara yang melarangnya. Kebudayaan Tionghoa yang di masa kolonial sampai Orde Lama tumbuh subur, hidup, dan dikenal tidak hanya di kalangan Tionghoa, tapi juga masyarakat umum, tiba-tiba mati sejak Orde Baru berdiri. Penguasa Orde Baru ketakutan terhadap budaya Tionghoa karena dianggap wakil dari ”merah komunis”. Pemegang kekuasaan mengasosiasikan Tionghoa di Indonesia sama dengan Tionghoa di Republik Rakyat China yang komunis.
Karena itu, pementasan kisah klasik Tiongkok Sie Jin Kwie oleh Teater Koma di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 5-21 Februari 2010, bisa dianggap sebagai upaya menghidupkan kisah lama yang telah mati. Kisah yang menyimpan tata nilai dan inspirasi yang telah hidup ratusan tahun di negeri asalnya. Menurut Jacob Sumardjo, kisah-kisah klasik Tiongkok seperti Sam Kok, Ouw Peh Coa, Sampek Engtay, Song Kang, See Yu pada awal abad ke-20 cukup dikenal publik Indonesia.
Sie Jin Kwie (Xue Ren Gui) adalah cerita klasik Tiongkok yang terjadi masa Dinasti Tang (618-907), tapi baru ditulis Tiokengjian pada abad ke-14. Di Indonesia kisah itu diterbitkan kali pertama pada 1894. Pelukis Siauw Tik Kwie membuat komiknya pada 1950-an dan memuatnya secara bersambung di mingguan Star Weekly. Belakangan diterbitkan dalam enam jilid komik ukuran kuarto. Ada banyak versi tentang Sie Jin Kwie, tapi kisahnya sama, yang berbeda hanya nama-nama tokohnya.
Sie Jin Kwie bercerita tentang kepahlawanan Sie Jin Kwie (diperankan Rangga Riantiarno), pemuda jago silat yang ingin mengabdi kepada negara. Jalan panjang harus ditempuh karena dia berhadapan dengan pejabat tentara yang licik, korup, dan ambisius. Sie Jie Kwie muncul dalam mimpi Lisibin (diperankan Prijo S. Winardi), kaisar Dinasti Tang. Dalam mimpi itu, Sie Jin Kwie menolongnya dari bahaya maut. Sejak itu, Lisibin penasaran ingin bertemu sang penyelamat yang masuk ke dalam mimpinya. Dia akan melakukan apa pun untuk bertemu dengan Sie Jin Kwie.
Pada saat bersamaan, Raja Kolekok (diperankan Budi Suryadi), yang kekuasaannya dikudeta Jenderal Kaesobun (diperankan Paulus Simangunsong), menyatakan perang melawan Dinasti Tang. Sie Jin Kwie berminat masuk tentara Dinasti Tang. Dia ingin membela negaranya tanpa peduli imbalan jasa atau kedudukan. Namun, karena hasutan Thiosukwie, panglima tentara yang senang merebut jasa bawahannya, Sie Jin Kwie mengira kaisar menghendaki kematiannya. Maka, Sie Jin Kwie disembunyikan Thiosukwie di dapur. Di sanalah, dia membentuk Pasukan Dapur Tang (PD-Tang).
Di luar dugaan, PD-Tang justru menjadi pengumpul tentara terbanyak dalam Perang Kolekok. Jasa pemuda itu oleh Thiosukwie dianggap berbahaya dan dia berniat membunuhnya. Di akhir cerita, Lisibin bisa bertemu dengan Sie Jin Kwie setelah perang berlangsung 12 tahun dan Dinasti Tang memenangi peperangan.
Itulah kisah kepahlawanan, patriotisme, kewiraan, dan keikhlasan dalam membela negara, yang sereng dijegal atasan korup. Mungkin sekali kisah itu menemukan relevansi dengan realitas yang terjadi di berbagai bangsa dan negara, termasuk Indonesia. Niat baik tidak selalu disambut baik, tapi malah dianggap sebagai ancaman yang akan menggusur jabatan yang sedang digenggam.
Seperti biasa, pementasan produksi ke-119 Teater Koma bernuansa megah-mewah, kocak, dan lama. Teater Koma dikenal suka menggunakan kostum megah dan mewah untuk membedakan pertunjukan teater dari aktivitas sehari-hari. Untuk pertunjukan kali ini, sutradara Nano Riantiarno harus menyiapkan 250 potong pakaian dengan motif dan ornamen yang akarnya dari Tiongkok yang dibaurkan dengan budaya lokal. Warna merah dan kuning -warna keberuntungan dan kemakmuran dalam kepercayaan Tiongkok- sering ditampilkan dengan keserasian panggung artistik yang dipenuhi grafis.
Kocak adalah kekhasan Teater Koma di atas panggung untuk memecahkan kebekuan dan kejenuhan menonton teater yang penuh dialog panjang-panjang. Dari awal sampai akhir, pertunjukan Sie Jin Kwie disesaki dialog yang seolah-olah menggambarkan bahwa pesan utama hanya disampaikan lewat ucapan. ”Saya berharap menonton Sie Jin Kwie seperti menonton wayang kulit-wayang golek yang menggelar kisah Mahabarata dan Ramayana semalam suntuk. Menonton dengan rileks. Tidak tegang. Tanpa beban. Enjoy,” kata Nano Riantiarno.
Menurut Nano, awalnya naskah yang dia sadur berdurasi 7-8 jam. Lalu dia ringkas lagi menjadi empat jam. Semua adegan, kata dia, mengandung potensi daya tarik, sayang kalau dibuang. Pentas-pentasnya sering diadakan lebih dari dua minggu dan bahkan pernah berpentas lebih dari sebulan. Kursi penonton yang selalu berjubel menunjukkan betapa peminat Teater Koma sungguh setia. Jika banyak orang mengatakan panggung teater akan kehilangan penonton seiring suguhan tontonan televisi yang berjibun, dalam kasus Teater Koma, analisis itu tidak terbukti. Bahkan, sejak pentas perdana pada akhir 1970-an sampai sekarang, pementasan Koma selalu penuh penonton.
Pementasan itu menarik tidak hanya jalan ceritanya. Cara mementaskan dramanya juga unik. Pertunjukan tersebut menggabungkan teater Barat dan teater tradisional. Sutradara mencampuradukkan opera China, golek menak, potehi (wayang kulit China-Jawa), wayang wong, dan wayang tavip (karya Tavip). Sutradara tampak ingin menampilkan kesenian Tionghoa yang telah puluhan tahun mati suri di Indonesia dan mengolaborasikannya dengan kesenian lokal.
Masing-masing seni itu dipentaskan untuk menceritakan beberapa adegan secara bergantian. Sie Jin Kwie berbentuk potehi juga diarak di atas panggung. Saat dalang (diperankan Budi Ros) bercerita masa remaja Sie Jien Kwie, misalnya, tiba-tiba dimunculkan wayang tavip. Wayang berwarna itu terbuat dari kain layar putih dan pementasannya didukung sistem pencahayaan dari belakang layar. Dari sudut penonton, pertunjukan wayang tersebut tidak terlihat aksi dalang, hanya tampak kelebatan wayang.
Teater Koma terus melaju dengan dukungan sponsor dan penonton yang fanatik. Meski empat kali mengalami pencekalan pentas, Maaf. Maaf. Maaf (1978), Sampek Engtay (1989), Sukses, dan Opera Kecoa (1990), dua kali ancaman bom, dan berkali-kali diinterogasi aparat hukum, Nano Riantiarno tetap yakin teater bisa menjadi salah satu jembatan menuju suatu keseimbangan batin dan jalan bagi terciptanya kebahagiaan yang manusiawi. “Jujur, becermin lewat teater diyakini pula sebagai salah satu cara untuk menemukan kembali peran akan sehat dan budi-nurani,” kata Nano. (*)
*) Penonton teater dan pekerja media tinggal di Jakarta.