Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Ketika saluran komunikasi mengalami hambatan, dialog konstruktif tak lagi jalan, kritik diterima sebagai hasutan, dan kontrol sosial dianggap pemberontakan, maka sastra (di dalamnya tentu saja termasuk cerpen) sering kali dijadikan sebagai pilihan; alternatif untuk memainkan peran-peran itu. Kebolehjadian, keserbamungkinan, dan kesadaran estetik dengan dalih hendak mengusung licentia poetica kemudian menjadi alat guna menyembunyikan sikap ideologis atau amanat sosialnya.
Demikianlah, dengan cara itu, kritik sosial atau bahkan caci-maki yang setajam apapun, dapat terterima sebagai sentuhan moral yang bersifat universal. Ia tidak akan diperlakukan sebagai berita hasutan atau provokasi murahan. Ia seolah-olah mengangkat peristiwa tertentu yang mungkin ada, mungkin juga tidak ada, atau sekadar rekaan. Boleh jadi ia akan dipandang sebagai peristiwa orang lain yang mungkin sama sekali tidak berkaitan dengan diri kita. Boleh jadi pula ia memantul dan kemudian menjadi bahan introspeksi. Bahwa ia menumbuhkan kepekaan sosial, meningkatkan moral kemanusiaan, atau mempertajam daya kritis dalam menyikapi kehidupan di sekitar kita, tentu saja itu sangat mungkin terjadi, lantaran memang itu pula yang menjadi tujuannya. Tetapi, jika pun tidak, ya tidak apa-apa, lantaran ia sekadar tawaran yang bersifat arbitrer; mana suka dan tak ada hubungan wajib.
Begitulah, dengan kemasan estetik, sastra dapat memainkan peran apapun. Atas nama estetika pula, sastra dapat leluasa masuk ke wilayah-wilayah yang rawan sekalipun. Maka, persoalannya tinggal bergantung kepada kepiawaian sastrawan itu sendiri untuk menyiasati sesuatu yang menjadi muatan ideologisnya. Tanpa kepiawaian itu, ia akan condong tergelincir pada eksplisitas atau yang lazim disebut sastra propaganda.
***
Konon, sastra bukanlah sekadar ekspresi gagasan imajinatif belaka. Ia juga bukan cuma catatan atau rekaman sebuah peristiwa an sich. Sastra justru menyajikan sebuah dunia yang di dalamnya menyelusup wawasan, intelektualitas, tanggapan, sikap, ideologi, dan harapan-harapan yang mungkin hendak ditawarkan sastrawan. Sadar atau tidak sadar, sastrawan tidak dapat melepaskan dirinya dari berbagai pengaruh yang berkaitan dengan dunia yang melatarbelakanginya dan kondisi sosio-kultural yang melingkarinya. Segala macam pengaruh itu akan meresap, mengalir dalam darah kehidupannya, dan kemudian membentuk sikap dan karakternya menjadi sebuah pribadi. Semua itu tentu saja tidak terlepas dari latar belakang kultural yang melahirkan dan membesarkan sastrawan yang bersangkutan, pendidikan yang diperolehnya, ideologi yang dianut, dan kecerdasannya mengolah semuanya menjadi sesuatu yang khas; menjadi sebuah dunia yang di dalamnya estetika menempati kedudukan yang penting.
Oleh karena itu, sastra yang baik senantiasa memberi kenikmatan dan sekaligus pendidikan (dulcer et utile) kepada pembacanya. Itulah fungsi sastra. Ia selalu akan menawarkan kenikmatan yang bermanfaat. Bukan kesenangan belaka yang mengobral mimpi, sebagaimana yang disajikan sastra populer, bukan pula ajaran atau manfaat yang dipaksakan macam pamflet atau propaganda, tetapi kemanfaatan yang menikmatkan atau kenikmatan yang memanfaat.
***
Antologi cerpen yang berjudul Reinkarnasi Titis karya Pudji Isdriani K. ini, tentu saja mesti disikapi dengan pretensi itu. Mencermati ke-10 cerpen yang termuat dalam antologi ini, kita seperti memasuki beragam kehidupan sosial. Di sana, ada problem keluarga, dunia persekolahan dan kehidupan guru, cinta-kasih seorang ibu, problem jender sampai ke persoalan kultural yang berkaitan dengan pudarnya minat terhadap kesenian tradisional.
Keberagaman tematik itu, sekaligus memperlihatkan perhatian pengarang atas berbagai problem sosial yang terjadi di negeri ini. Sebuah sikap etik yang sering kali menjadi kegelisahan mereka yang peduli atas lingkungan sosial di sekitarnya. Periksalah cerpen ?Setriliun Muka?, ?Reinkarnasi Titis?, ?Fatamorgana?, ?Perempuan Pemecah Batu? dan ?Anak Raso?. Semua bercerita tentang problem sosial. Dalam hal itulah, Pudji cukup piawai menyelusupkan kritikannya ke berbagai arah. Meskipun harus diakui pula, ia belum mempunyai keberanian untuk menyelesaikan akhir ceritanya dalam sebuah tragedi yang memilukan.
Kecenderungan untuk menyelesaikan cerita dengan kebahagiaan (happy ending), tentu saja berkaitan dengan pilihan. Siapa pun mempunyai kebebasan untuk melakukan pilihan itu. Walaupun demikian, menyampaikan suatu pesan tertentu, pastilah dapat dilakukan melalui berbagai cara. Salah satunya lewat sebuah tragedi. Cermatilah cerpen ?Anak Raso? misalnya. Setelah memperoleh pekerjaan yang lumayan enak di Pontianak, Kalimantan, Jarwo terbujuk temannya untuk mengadu nasib di Jakarta. Di ibukota, ia memang tidak menjadi penganggur. Tetapi, bekerja di Jakarta, ia tidak cukup mental, tak tahan bantingan. Selepas sebuah kecelakaan menimpanya, ia menyadari, bahwa Jakarta bukanlah tempat yang cocok. Maka, ia memutuskan kembali ke Pontianak. Di sana, ia disambut orang tuanya. Begitu juga bapak asuhnya. Jarwo lalu dipekerjakan di pabriknya untuk mengurusi mesin-mesin pabrik. Happy ending!
Dari cerpen itu, kita dapat menangkap sebuah pesan didaktis. Jakarta bukanlah sahabat bagi orang daerah yang tak mempunyai keahlian. Pesan yang sama dapat saja disampaikan melalui tragedi dengan akhir cerita yang tragis. Misalnya saja, setelah peristiwa tabrakan itu, Jarwo menganggur, menjadi gelandangan, dan mati atau tak jelas lagi nasibnya: mati atau terus menggelandang! Jadi, dengan memberi tempat pada tragedi atau akhir cerita yang terbuka (open ending), Pudji mempunyai banyak pilihan untuk mengakhiri ceritanya. Dengan berbagai pilihan itu, ia sekaligus dapat menyampaikan pesan-pesan simbolik, ironis, atau bahkan paradoks!
***
Agak berbeda dengan kebanyakan penulis wanita yang bercerita seputar persoalan rumah tangga atau masalah hubungan suami-istri, Pudji justru tak terpaku pada tema itu. Dua cerpen yang ditempatkan di bagian awal, ?Bapakku Satoe? dan ?Selimut Luka Tiwul? yang mengangkat persoalan rumah tangga atau mengungkap persoalan dunia wanita, cerpen lainnya justru bermain dalam problem sosial yang sedang dihadapi bangsa ini. Sebuah pilihan yang tepat untuk memberi berbagai kemungkinan tematis. Dengan cara itu, ia dapat leluasa mencermati peristiwa apa pun, termasuk peristiwa yang terjadi dalam dirinya sendiri.
Dibandingkan dengan antologi cerpen pertamanya, Hati Seorang Ibu (Jakarta, 2001), antologi Pudji Isdriani kali ini, terasa kental dengan tema yang lebih problematik. Cerpen ?Perempuan Pemecah Batu? dan ?Fatamorgana? misalnya, jelas memperlihatkan keberpihakannya dalam mengangkat masalah jender. Secara ideologis, ada sesuatu yang hendak dibelanya. Dan itu penting diperjuangkan dalam kaitannya dengan usaha pemberdayaan kaumnya. Dalam hal itulah, Pudji telah mengejawantahkan peran sosial sebagai sastrawan. Ia melakukan pemberontakan melalui kemampuan yang dimilikinya: lewat saluran sastra.
Selain persoalan tema yang lebih beragam dan problematik, cara bertuturnya juga sudah terasa lebih mengalir. Sebuah modal yang sangat berharga bagi seorang cerpenis. Di luar itu, dalam beberapa hal, Pudji terkesan masih sangat berhati-hati mengumbar imajinasinya. Dan itu, berhasil dibungkusnya pengamatan latar tempat yang cukup detail. Jika itu dilakukan dengan lebih serius, rasanya tak bakal lama lagi sebuah monumen akan lahir dari tangannya. Kita tunggu saja!
Bojonggede, 11 Maret 2003