RUMI DAN JEJAK TUHAN DI ATAS SAJADAH MUSA

Imamuddin SA *

Dalam pembahasan sebelumnya telah disinggung bahwa hakekat hidup manusia di dunia ini adalah untuk kembali kepada Tuhan dengan membawa limpahan keselamatan dan kebahagiaan. Dengan kata lain, orientasi hidup di dunia ini hanya kepada Tuhan. Manusia hidup di dunia ini hanyalah proses pencarian terhadap hakekat Tuhan yang haqq, agar saat ia kembali kepada-Nya kelak sanggup memperoleh keselamatan dan kebahagiaan.

???Dunia ini ibarat Thursina, dan kami Musa pencari sinar-Nya; setiap petunjuk datang dari-Nya, puncak gunung ini akan pecah berkeping-keping? ??(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Rumi menegaskan, bahwa semua tempat yang berada di dunia ini diibaratkan sebagai bukit Thursina serta semua manusia berposisi sebagai Musa AS. Manusia berposisi sebagai subjek yang melakukan pencarian terhadap bukti keberadaan tuhan dalam realitas kehidupanya. Tentunya bagi Rumi perlambang ini bukan berorientasi kepada seluruh manusia, tetapi bagi mereka yang yakin dan percaya akan keberadaan tuhan.

Mengapa Thursina dan Musa yang menjadi perumpamaan? Hal tersebut dikarenakan, kedua citra ini merujuk pada sebuah kisah yang termaktub di dalam Al-Quran surat Al-a?raf ayat 143. Surat ini menceritakan bahwa di bukit tersebut Musa AS bermunajat kepada Allah dan memohon kepada-Nya agar berkenan menampakkan bentuk dzat sejati-Nya. Kemudia Allah berkata pada Musa AS: ?Engkau sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku, tetapi cobalah lihat bukit itu, jika ia tetap berdiri tegak di tempatnya, niscaya engkau akan dapat melihat-Ku?. Musa AS kemudian menoleh ke arah bukit yang dimaksud. Pada saat itu, ia melihat bukut-bukit yang tadinya berdiri tegak kini menjadi hancur berkeping-keping masuk ke dalam perut bumi tanpa meninggalkan bekas.

Fenomena semacam itu merupakan ilustrasi dari Tuhan, bahwa dzat-Nya yang sejati tidak dapat ditangkap secara lahir. Dzat-Nya bersifat kasat mata yang tidak dapat terwujud dalam alam materi dan bahkan tidak sanggup digapai dengan menggunakan logika berfikir atau akal karena kesempurnaanya.

Kant yang bergelar sebagai Raksasa Ahli Pikir juga menyadari akan hal itu, sehingga ia berkata: Dzat Tuhan itu benar-benar ada dan merupakan perkara yang besar utuk dibahasnya, tetapi letaknya jauh di atas kemampuan akal, oleh karena itu saya terpaksa berhenti sejenak dari pengetahuan akal, supaya saya sediakan tempat buat iman. Selain itu Ibnu Khaldun juga menambahkan, bahwa mempergunakan akal untuk menimbang soal-soal yang berhubungan dengan keesaan Allah, hidup di akhirat kelak, hakekat kenabian, hakekat sifat-sifat ketuhanan, atau persoalan lain yang terletak di luar kesanggupan akal adalah sama dengan mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini tidaklah berarti timbangan itu tidak boleh dipercaya. Soal yang sebenarnya ialah akal itu mempunyai batas-batas yang dengan keras membatasinya; oleh karena itu, tidak bisa diharapkan bahwa akal itu dalam memahami Allah dan sifat-sifat-Nya, karena otak hanyalah satu dari beberapa atom yang diciptakan Allah. Secara lebih lanjut Agustin juga menyatakan bahwa tuhan tidak bisa ditanggap atau di sifati, sebab Ia mengatasi sifat dan gambaran. Beleh saja manusia memberi sifat kepada tuhan, namun sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia.

Dengan jelas, fenomena di atas menegaskan bahwa Dzat Tuhan secara kodrati tidak dapat ditangkap oleh penglihatan dan bahkan oleh akal manusia. Dzat Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan logika apa lagi harus mewujud dalam alam dzahir. Dzat Tuhan hanya dapat digapai dengan keyakinan bahwa Dia itu ada sebagai wujud yang sempurna.

Sebuah pertanyaan, apa yang dapat dilogikakan serta ditangkap oleh indrawi manusia sebagai bukti keberadaan tuhan? Yang dapat dilogikakan serta ditangkap oleh indrawi manusia adalah eksistensi Tuhan. Jadi, bukan esensi-Nya.

Apa perdedaan esensi dengan eksistensi? Sebenarnya kedua istilah ini sama, yaitu sebagai penunjuk keberadaan suatu hal, baik hal tersebut bersifat hidup atau mati. Perbedaanya terletak pada kriterianya. Esensi merupakan intisari; sesuatu yang menjadikan suatu hal itu apa adanya, atau sesuatu yang dimiliki secara umum oleh bermacam-macam hal, sedangkan eksistensi merupakan bentuk yang menunjukan keberadaan suatu hal yang hidup yang berbeda dengan yang lainya (Partanto dan Barry, 1994:133 dan 159).

Sesuatu yang pasti dimiliki oleh semua benda adalah dzat, sedangkan yang menjadikan suatu benda hidup itu berbeda satu sama lainya adalah pergerakanya. Eksistensi mengarah pada suatu bentuk amaliah atau akhlak dari suatu hal. Jadi, sekali lagi yang dapat dilogikakan sekaligus ditangkap oleh indra manusia adalah Akhlak atau Fi?liyah Tuhan. Akhlak Tuhan ini tercermin melalui nama dan sifat-Nya. Sebagaimana Al-Kindi mengungkapkan, bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali karena adanya dzat yang tidak tampak. Dzat yang tidak tampak tersebut hanya dapat diketahui dengan melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat pada alam ini.

Berdasar pada pandangan Al-Kindi, bentuk alam yang tertata rapi tidak mungkin ada dengan sendirinya, melainkan pasti ada yang menjadikanya. Yang menjadikan alam tidak lain adalah dzat yang tidak terlihat. Dzat itu adalah Dzat Tuhan.

Dzat Tuhan secara mutlak tidak dapat dipandang dengan menggunakan penglihatan mata, tetapi dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya yaitu akhlak dan perbuata-Nya serta kerapian alam semesta ini. Adapun sifat dan amaliah Tuhan tercermin melalui nama-nama-Nya yang termaktub dalam Asmaul Husnah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.

Rumi mengilustrasikan kembali perihal kehancuran bukit yang dipandang Musa AS saat itu. Kepingan-kepingan bukit yang tidak sanggup menerima penampakan Dzat Tuhan secara lahir itu menjelma menjadi beberapa bentuk. Bentuk kepingan tersebut ada yang berwarna hijau, putih, menjadi mutiara, batu manikam dan ambar.

??Sebagian kepingan menjadi hijau, sebagian kepingan menjadi putih, sebagian kepingan menjadi mutiara, sebagian lagi kepingan menjadi batu manikam dan ambar ??(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz).

Jika ungkapan tersebut ditinjau lebih jauh lagi, ungkapan itu mengandung perlambang. Perlambang itu meliputi: warna hijau identik dengan ketenagan dan kedamaian, warna putih identik dengan kesucian dan kemuliaan, mutiara identik dengan batu permata, manikam identik dengan intan, dan ambar identik dengan damar yang keras seperti batu yang terdapat di dsar laut dan berbau harum.

Semua kriteria tersebut apabila ditarik satu garis lurus, akan menghasilkan satu pengertian baru. Pengertian tersebut adalah sesuatu yang berharga dan bernilai tinggi dalam kehudupan ini yang menjadi incaran setiap orang.

Hubunganya dengan konsep yang dibangun Rumi adalah berorientasi pada keagungan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Barang siapa yang ditunjukkan tanda-tanda kebesaran dan keagungan Tuhan kepadanya, niscaya itu adalah sebuah rahmat yang tinggi nilainya dan mereka termasuk orang-orang yang beruntung karena hal tersebut sanggup memperkuat keimanan yang telah tumbuh di hati seorang manusia akan esensi dan eksistensi Tuhan.

Lebih lanjut Rumi menghimbau kembali kepada siapa saja yang hendak mengetahui Dzat Tuhan secara lahir, hendaknya kisah Musa AS dijadikan wacana. Alam semesta akan porak poranda dan hal semacam itu patutlah kiranya untuk dijadikan wahana dalam memperkuat keimanan dan sebagai bukti adanya Tuhan Yang Maha Esa.

??Kau yang sangat merindukan wajah-Nya, lihatlah batu pecahan gunung-Nya itu ??(Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Musa AS tidak ingin mengulagi lagi tidakanya untuk memohon agar Dzat Tuhan mewujud dalam alam lahir. Ia hanya berharap dan rindu terhadap bukti-bukti keberadaan Tuhan di alam semesta ini sebagi wahana dan petunjuk dalam mendekatkan diri kepada-Nya.

Tentunya dalam lirik puisi Rumi selanjutnya, ia menisbatkan dirinya sama dengan Musa AS. Sama bukan berarti sama dalam tataran sebagai nabi dan rasul, namun sama dalam konsep pemahaman bahwa dia tidak mengharapkan agar Dzat Tuhan mewujud dalam alam lahir. Ia hanya berharap agar mendapatkan petunjuk-petunjuk ilahiah sebagai wahana mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, Rumi menyatakan dengan ungkapan sebagai barikut:

???O gunung, angin apa yang berhembus di puncakmu? Kami telah mabuk oleh suaranya.? ?? (Jalaluddin Rumi, Diwan Syam-i Tabriz)

Rumi sungguh lihai dalam mengambil citra untuk disematkan sebagai konstruksi dasar karyanya. Ia memilih citra yang mengandung nilai filosofis yang tinggi sebagai pengingat kembali, mereka yang mendewakan logika maupun siapa saja yang hendak melakukan pencarian bukti akan adanya Tuhan. Ia juga memberikan wacana baru bagi tiap orang agar mereka tidak salah persepsi saat menafsirkan konsep ketuhanan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Dzat Tuhan secara kodrati tidak dapat ditangkap oleh penglihatan dan bahkan oleh akal manusia. Dzat Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan logika apa lagi harus mewujud dalam alam dzahir. Dzat Tuhan hanya dapat digapai dengan keyakinan bahwa Dia itu ada sebagai wujud yang sempurna. Dzat Tuhan secara mutlak tidak dapat dipandang dengan menggunakan penglihatan mata, tetapi dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya yang tampak pada indrawi mausia, yaitu akhlak dan perbuata-Nya serta kerapian alam semesta ini. Adapun sifat dan amaliah Tuhan tercermin melalui nama-nama-Nya yang termaktub dalam asmaul husnah yang berjumlah sembilan puluh sembilan.

============
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).

Leave a Reply

Bahasa ยป