BECERMIN DI HENING AIR
kusampaikan bening keraguan
pada dedaun pupus
biar segala kegoncangan angin
tercurah di redup cahaya senja;
kemarin
mungkinkah ini aku
becermin di hening air
memunguti sisa luka yang hampir punah;
ah, jangan-jangan yang kulihat adalah wajahmu
wajah yang telah kupinjam darimu
beberapa waktu lalu
dan aku pun menyaksikan
lewat kedamaian alirnya
ada sesosok bayang-bayang
bersujud pada tubuhnya
Kendalkemlagi, Oktober 2008
MENGERINGKAN LARA
bershalawat
mengeringkan lara
dalam ketakjuban hampir sirnah
membayang kejernihan syafaat
dari kesempurnaan cahaya di atas cahaya
aku yang duduk dalam gelap lampu
nyaris tersenyum
menyapa sayup nyanyianku;
ah, tembangku mengalir
membentur-bentur dinding waktu,
kembali menyapaku
Kendalkemlagi, Oktober 2008
KEPADA HALAJ
kau tak pernah memanggilnya tuhan
tapi kau kerap berbisik padaku;
aku
aku
aku
haqq!
meski berkali-kali suara itu mengusik
namun aku masih tak mengerti,
ada isyarat gaib di samudraku
ada maqam yang belum tersentuh
sungguh mustahil
aku mendayung perahu di gurun syahadatmu
menyeberang diri ke seberang tawasinmu
aku layaknya beo dalam mimesis kata-katamu;
dan kini biarkan
panggung temali itu
menjadi saksi jahiliahku
menjadi cambuk jejak perjalananku
Kendalkemlagi, Oktober 2008
PERSINGGAHAN MAYA
tak kan kubiarkan benalu hati
bersemi di pohon yakinku
menghapus keindahanya
dengan kesungsangan rupa
persinggahan maya
dalam kembara
ingin kutanam seribu kamboja
di kebun batinku
saat sehelai rumput masih bisa tumbuh;
sebelum kering
sebelum gersang
sebelum pasi
sebelum rintik hujan menetes kembali
menghidupkan yang telah mati
Kendalkemlagi, Oktober 2008
ADA TANGIS DARI YANG MATI
sayu kudengar nyanyian hati nan fitri
dalam takbir kemenangan diri,
namun ada yang berbisik;
?ada tangis dari yang mati
tentang kekalahan sendiri
sebab terbitnya surya pembalasan
atas malam kedurhakaan
silam?
dan aku bertanya akan kesejatian
benarkah aku telah membayi di seberang perayaan?
Kendalkemlagi, Oktober 2008