Benny Benke
suaramerdeka.com
Pemerintah Iran melarang sutradara Jafar Panahi menghadiri Festival Film Berlin, di Berlin Jerman Selasa (16/02/2010). Padahal pada saat bersamaan sebuah film features drama, dan dokumenter produksi pekerja film Iran sedang di putar di salah satu festival film berwibawa itu.
Jafar Panahi, kelahiran 11 Juli, 1960 di Mianeh, Iran dikenal sebagai salah satu sutradara terdepan Iran dewasa ini. Namanya menginternasional, dan digadang bakal menjadi salah satu sutradara garda depan perfilm Iran lewat gerakan New Wave-nya.
Pengakuan itu didapatkan oleh Panahi setelah dia menerima penghargaan Golden Lion di Venice Film Festival, dan Silver Bear di Berlin Film Festival, atas sejumlah karya kreatifnya seperti film The Circle (2000). Tidak disebutkan alasan pemerintah Iran atas pelarangan bepergian Panahi.
Yang pasti, lewat filmnya berjudul The Circle, Panahi menyoroti persoalan aktual yang terjadi di negeri Mullah itu. Dalam film itu misalnya, Panahi menyoroti perlakuan tidak adil negara kepada kaum perempuan di Iran. Isu-isu sensitif itulah, yang konon dipercaya membuat pemerintah Iran gerah kepadanya.
Rafi Pitts, salah satu sutradara Iran lainnya mengomentari pelarangan Panahi sebagai lelucon. ”Adalah konyol jika Anda berpikir dapat menyetop apa yang seseorang pikirkan lewat karyanya,” ujar sutradara film The Hunter itu. Dia menambahkan, seharusnya seseorang bebas berpergian ke manapun dia suka, apalagi sekarang eranya kebebasan berbicara dan berpendapat.
Besutan Sejawat Panahi
Di Festival Film Berlin saat ini sedang diputar film The Hunter karya Pitts, dan film dokumenter berjudul Red, White & the Green karya Nader Davoodi. Pitss dan Nader adalah sejawat Panahi, yang bisa melenggang ke Berlin. Film The Hunter, sebagaimana film Iran kebanyakan, lebih suka mempertanyakan ”ketimpangan” yang terjadi di Iran, daripada menyoroti persoalan politik.
Ia bercerita tentang seorang suami yang kehilangan istrinya, akibat terjadi tembak menembak antara polisi dan demonstran di Teheran, Iran. Didorong oleh kedukaan yang mendalam, dan keinginan membalas dendam atas kematian istri terkasihnya, sang suami melakukan tindakan amuk dengan menembak dua polisi dengan senjata berburunya.
Polisi akhirnya bisa menangkapnya di hutan, dan menahannya, sebelum pada akhirnya dia mampu melarikan diri. Nah, dari sinilah drama memuncak, ketika orang yang diburu, kini bergantian memburu. Yang dimangsa giliran memangsa pemangsa. Yang jahat melakukan tawar menawar dengan yang baik.
Kisah itu, menurut Pitts mencerminkan generasi muda Iran dewasa ini. Yang bersiap mati dengan ketiadaan beban sama sekali, ”Nothing to lose,” katanya.
Sedangkan film Red, White & the Green menyoroti demonstrasi besar-besaran pemilihan presiden di Iran tahun lalu. Selama tiga Minggu, Davoodi dengan kamera jinjingnya terus mensyut aktivitas para demonstran di sana. Yang istimewa dari film dokumenter ini, menurut para juri festival adalah, gambaran nyata masyarakat Iran tentang harapan, dan ketakutan mereka secara umum.
Serta perasaan optimisme generasi muda pada perubahan mendasar di Iran di tangan anak-anak muda baru. Meski akhirnya, sebagai publik dunia maklumi, di akhir pemilu presiden itu, kekerasan terjadi pasca terpilihnya Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Yang konon mengakibatkan 70 warga Iran meninggal, dan ratusan lainnya ditahan.
***