Indra Tranggono
suaramerdeka.com
AKU sering melihat Ayah mencuri lipstik Ibu untuk memerahkan bibirnya semerah bibir Ibu. Aku juga sering melihat dia mengoleskan pemerah pipi dan eye shadow, hingga wajahnya tampak lebih cantik dari wajah Ibu. Diam-diam, Ayah pun sering memakai BH Ibu dan menyumpalnya dengan gumpalan kain, hingga dadanya tampak padat berisi. Tak ketinggalan, Ayah memakai wig blonde Ibu, memadunya dengan gaun hitam dan blus warna musim semi. Ayah pun berputar-putar di depan cermin, mengagumi penampilannya.
Sesudah “upacara” itu selesai, Ayah selalu mengambil tas kecil. Dan yang paling ganjil, dia selalu memasukkan belati, kemudian pergi. Menembus malam. Esok pagi, tersiar kabar ditemukan seorang lekaki yang menjadi korban penganiayaan.
Aku menggigil mengingat peristiwa itu dan tidak punya nyali untuk mengaitkannya. Ayah punya mata teduh, bukan mata seorang pembunuh. Senyum Ayahku juga selalu mengembang kepada siapa saja. Setiap saat mulut Ayah pun selalu merangkai doa untuk kami sekeluarga, handai tolan, dan tetangga. Ayah juga sangat tidak berbakat menggenggam uang kuat-kuat. Kesusahan orang lain selalu membuat hatinya ambrol hingga uang dalam genggamannya pun bobol. Maka, aku selalu berjuang untuk memelihara keyakinanku: Ayah bukan pembunuh. Tapi sampai kapan keyakinan ini bertahan?
Di dalam benakku, aku sama sekali juga tidak pernah berniat menggambar sosok Ayah yang memiliki jiwa ganjil hanya karena ia berdandan dengan gaya perempuan. Bukankah, gaya laki-laki-perempuan kini makin tipis saja bedanya. Mereka sama-sama pesolek. Makin umum kini laki-laki bergincu, memakai bedak bahkan juga celak. Bukan hanya laki-laki metroseksual saja yang melakukannya, tapi juga para pejabat negara yang sibuk membangun citra diri di depan kamera.
Aku menganggap Ayah tidak berbeda dari mereka para pesolek itu. Apalagi secara fisik, Ayah punya banyak kelebihan. Aku sangat bangga punya Ayah berwajah lembut, berhidung mancung, berbibir merah-tipis, berpipi separo buah durian dan berdagu agak runcing. Ia terlalu cantik untuk seorang lelaki.
Ayahku laki-laki sejati. Dua anaknya -aku dan Bogie menjadi bukti. Hubungan cinta Ayah dan Ibu juga sangat hangat. Dari kebahagiaan yang mereka tampakkan, aku menduga percintaan mereka masih seperti sepasang remaja, seperti diriku: selalu menggebu.
Jika setiap kali Ayah bersolek, aku menduga ia hanya ingin iseng saja. Sekadar mencari sensasi. Bukan ingin bercinta dengan laki-laki dan lalu melukai atau membunuhnya. Tapi kenapa peristiwa Ayah bersolek hampir selalu diikuti dengan peristiwa penganiayaan dan bahkan pembunuhan lelaki?
Pernah suatu malam, aku membuntuti Ayah yang diam-diam keluar rumah, dengan dandanan khas perempuan yang sangat memesona. Berjalan lembut seperti peragawati di atas cat walk, ia menyusuri lorong-lorong berlumur tempias lampu temaram. Ia berhenti di pojok gedung Bank Diamond. Menyalakan rokok dan terus mondar-mandir. Ia tampak gelisah. Seperti ada yang ditunggu.
Jantungku terasa berhenti berdegup, ketika muncul seorang laki-laki setengah baya berbadan tegap. Ayah mendekati laki-laki itu. Mereka saling sapa. Tapi tak berjabat tangan. Aku menduga, mungkin mereka akan saling peluk dan saling cium. Tapi, dugaanku keliru. Mereka hanya berdiri berhadapan seperti saling memandang. Ada pembicaraan kecil, tapi aku tak mendengarnya. Aku sedikit gemetar melihat laki-laki tegap itu menyentuh kening dan memegang wig Ayah. Lebih kurang ajar lagi, laki-laki itu makin mendekatkan wajahnya ke wajah Ayah. Mungkin ia mencoba mencium pipi Ayah. Namun, mendadak Ayah mengelak. Dari kejauhan kudengar tawa Ayah. Mereka kemudian berangkulan. Menghilang diringkus kegelapan.
Aku ingin menjerit. Tapi, lidahku kelu-kaku. Aku ingin berteriak dan memanggil-maggil, tapi tubuhku terasa menggigil. Tubuhku terasa berputar dan terlempar ke dunia terpencil.
Aku pun beranjak pergi. Tapi tak langsung pulang. Aku ingin pergi sangat jauh, membuang perasaan rusuh. Tapi, wajah Ibu seperti memanggilku untuk pulang. Ketika sampai di teras, dari balik kaca jendela aku melihat Ayah sedang duduk membaca koran. Di wajahnya tidak tampak sisa-sisa rias. Ketika aku masuk, Ayah tersenyum. Aku merasa menjadi orang sangat tolol. Diam-diam keyakinanku atas sosok Ayah yang selalu kulukiskan dengan warna-warna cerah dan teduh, semakin mengabur. Lukisan wajah Ayah berubah merah-hitam, warna-warna darah yang selalu berceceran di semak dan jalanan.
***
PAGINYA tersiar kabar, seorang lelaki terkapar di balik semak-belukar dengan goresan di dada dan tangan. Urat nadinya nyaris putus. Seorang peronda menemukan dan langsung membawanya ke rumah sakit. Jiwaku kembali mengigil. Aku semakin tidak berani memandang wajah Ayah. Dia telah mengirimkan badai dalam rongga dadaku dan rongga kepalaku. Dan setiap saat kurasakan mulut Ayah semakin membesar dan meniupkan badai yang tak pernah usai. Aku ingin membungkam mulut itu. Atau mencekik lehernya agar badai tercekat di kerongkongan dan berbalik memompa perut. Aku ingin seluruh tubuh Ayah meledak; terburai ususnya. Aku ingin membakar atau membuangnya ke sungai. Atau melemparkan ke tong sampah biar dimakan anjing-anjing liar.
Tapi nyaliku terlalu lembek, bahkan hanya untuk sekadar menatap mata Ayah. Tatapan matanya semakin kurasakan serupa tatapan monster. Ya, monster yang cantik, sangat menggemaskan namun bengis dan mematikan.
***
DI dalam keluarga kami, hanya aku yang gelisah hidup satu atap dengan monster. Kenapa Ibu tenang-tenang saja? Apakah ia tidak pernah memeregoki Ayah mencuri lipstik, BH, eye shadow, wig-nya? Seperti Columbus menemukan benua Amerika, aku mengabarkan semuanya kepada Ibu. Tapi, aku sangat kaget dan kecewa, ternyata Ibu tak ubahnya bangsa Indian yang sudah tahu persis benua Amerika itu hingga ceruk-meruknya. Semua yang kukatakan tak ada yang memancing ia heran, marah, cemas, atau sedih.
Aku mendesak Ibu. Kuharap ia marah bahkan mengutuk Ayah. Tapi ia menjawab dengan dua aliran anak sungai yang mengalir di parit-parit pipinya.
“Ibu tahu semua ini sejak lama?”
Ibu mengangguk.
“Kenapa Ibu diam?”
“Aku sangat menghargai kejujuran Ayahmu. Sejak kamu dan Bogie tumbuh remaja, ia mengaku mengalami kehampaan dalam percintaan kami. Ia mengaku, hatinya selalu berdebar setiap memandang laki-laki tampan. Dan aku menghormati pilihannya. Tapi kami tidak harus bercerai.”
“Maaf…apakah Ayah…,” aku tidak tega meneruskan pertanyaanku.
Namun Ibu langsung memotong, “Ayahmu bercinta dengan lelaki yang dicintai atau yang mau membayarnya. Setiap Ayahmu pergi ke luar kota, yang selalu dia katakan karena ada urusan pekerjaan, sebenarnya demi memenuhi panggilan para tamu. Itu terjadi sejak Ayahmu kena PHK.”
Dadaku semakin sesak serasa ditumbuhi semak-semak. Jiwa perih serasa dikuliti pisau paling berkarat. Pisau itu menari-nari di antara jutaan pori-pori dan leluasa memasuki seluruh rongga tubuhku. Menancap dalam jantungku.
“Terserah kamu menganggap Ayahmu itu apa. Tapi jangan ajak Ibu untuk berdebat soal kemuliaan, kehormatan, atau martabat. Semuanya telah lenyap. Lenyap. Karena kita sesungguhnya hanya suka menaruh kata-kata itu di lidah… Hanya sebagai ucap,” Ibu mengusap air matanya.
Aku diam-diam mengagumi ketegaran Ibu. Juga ungkapannya yang tajam dan menjotos.
Ibu mencoba tersenyum, meski aku dapat merasakan hatinya ngilu. Aku memeluknya. Kehangatan mengalir dalam jiwaku.
“Tapi kenapa Ayah sering melukai dan bahkan membunuh pasangannya?”
Ibu memandangku. Tatapannya sangat tajam.
“Kamu pernah melihatnya? Atau hanya menduga?” nada bicara Ibu sedikit tinggi.
Aku meredakan suasana dengan senyuman. Tapi, Ibu tidak mengedorkan tatapannya.
“Aku hanya melihat sekali Ayah berjumpa dengan laki-laki. Mereka berangkulan dan menghilang dalam kegelapan. Setelah itu, ditemukan mayat seorang lelaki.”
“Kamu yakin, pelakunya itu Ayahmu?”
Aku gelapan. Mata Ibu terus menikam. Menghujam. Aku berusaha menarik hujaman tatapan itu.
“Belum. Tapi…kenapa setiap Ayah pergi malam-malam, paginya selalu ada orang terbunuh atau dilukai?”
Ibu terdiam. Sunyi mengurung ruangan. Kurasakan suasana kaku mulai tumbuh. Namun Ibu mendadak berucap, “Sayang. Kamu tak perlu mengembangkan dugaan yang tidak berdasar. Aku tetap percaya dia lelaki terbaik pilihanku. Apa pun anggapan orang. Bahkan anggapan anakku sendiri. Aku tidak peduli.”
Kesunyian kembali mengeras dan menekanku. Ucapan Ibu membadai dalam kepalaku, dalam hatiku. Badai paling bertenaga yang seperti datang dari gua yang paling purba. Badai itu mengempas. Jiwaku terpelanting. Terbanting.
“Sayang, Ibu hanya ingin kamu adil dan tidak gampang menghukum orang lain, berdasarkan gambaran dan sangkaan yang kamu sukai,” Ibu meremas tanganku. Kembali kurasakan kehangatan mengalir dalam jiwaku.
Mendadak wajah Ayah melintas, masih menyerupai monster yang cantik dan keji.
“Kenapa kamu mendadak gugup?” Ibu meremas tanganku.
Aku menggeleng.
Wajah Ayah kembali melintas. Ia menyeringai menunjukkan taring giginya. Matanya merah. Tubuhku terasa menggigil.
“Kamu sakit?” Ibu menyeka keringat di keningku.
Aku menggeleng.
Mata merah Ayah serupa mata banaspati terus menghujam. Mata itu terus mengikutiku. Setiap gerakanku selalu diawasinya, serinci-rincinya. Bahkan, ia sanggup menghitung berapa kali aku menarik napas.
“Jangan khawatir. Ayahmu tidak pernah berubah. Dia tetap menyayangi kita,” Ibu meremas tanganku.
Mata Ayah masih terus memburu. Terus membidikku.
Mata itu menguasai seluruh ruangan. Dinding, atap, lubang angin, monitor komputer, meja, buku-buku, ranjang, bantal, selimut, sepatu, sandal jepit, lantai, penuh dengan tatapan mata Ayah.
Setiap pagi, aku selalu disergap kabar laki-laki mati digorok lehernya atau ditikam lambungnya. Aku selalu sulit menghapus wajah Ayah dalam peristiwa itu. Ucapan Ibu soal kebaikan Ayah selalu mencair dan menguap.
Mata Ayah terus memburuku. Membidikku.
Aku ingin mencucuk mata monster itu.
Yogyakarta, Agustus-September 2009