Imamuddin SA
ada titah sang ayahanda
mengukir purnama di barat surabaya
kala hati manusia berselimut gulita
menebar kesungsangan di hening cakrawala laga
sekuat banteng, tekad melumat samudra
di atas sampan, lantang menepis ombak prahara
pecah! berkeping sampan kelana
diterjang badai tak berarah,
raden kosim moksa kesadaran
terhantar talam ikan bersandar di pesisir lautan
ada jejak mutiara dari berkas telapak kakinya
membangun pusara peradaban lama
menanam benih kesejatian langkah
kala siggah di jelang desa
tak ada yang luka apalagi mengangah
sebab luhur dan lunak lenggangnya
warga berduyun menimba
tirto wening dari telaga teratainya
raden kosim merdu menembang piwulang laku
menggurat aksara mendayu rayu;
wenehono teken marang wong kang wuto
wenehono mangan marang wong kang luwe
wenehono busono marang wong kang wudo
wenehono ngiyop marang wong kang kodanan
satu demi satu lirik membatu
menjelma pasak di kedalaman kalbu
membias makna di relung-relung waktu;
sembahlah seberkas cahaya pada mereka yang tak tahu apa
melangkah di kegelapan fana,
biar setapak jalan berarah nyata
mengenal muara yang hendak digapainya,
hidanglah setetes kemurahan hati pada diri yang langsih
lewat rizkimu yang telah membumi
demi menangkis kekufuran sendiri
demi membungkam sumber kenistaan yang lebih,
rajutlah tudung sutra pada aib sesama
lewat lambaian langkah dan mocopat nada
sebab darinya ketelanjanganmu saling bersua
pun adalah ia tanda martabat nan indah,
dekaplah dengan sayap-sayapmu
pada tubuh yang merindu kehangatanmu
bersama kekuasaan yang bersarang di batas ruangmu
selama ia bersimpuh di sajadah kebenaran waktu
raden qosim munajat memetik kembang warta
menelukkan ilmunya ke selatan desa
mengukir legenda di bukit pesona
raden qosim membata tangga ma?rifatnya
membangun maqom kewalianya
menyandang gelar sunan derajat di muara cerita
Pebruari 2008, Paciran, Lamongan.