Berangkat dari Kekuatan Spiritualisme

Sjifa Amori
http://www.jurnalnasional.com/

Mulai Jumat (12/2) lalu di Galeri Cipta 2 Taman Ismail Marzuki, Jakarta dihelat pameran lukisan bertajuk Truth Compassion Tolerance yang diselenggarakan Yayasan Seni Kreasi Sejati. Acara yang memamerkan sekitar 30 karya lukis ini bisa dibilang lebih mengutamakan tema ketimbang wacana dalam konteks seni rupanya sendiri. Lukisan karya Kathleen Gillis, Li Yuan, Chen Xiaoping, Dong Xiqiang, Wang Weixing, Shen Daci, dan Yao Chongqi, yang didisplay memvisualisasikan penganiayaan sistematis terhadap para pengikut Falun Gong (atau Falun Dafa) oleh rezim komunis China. Seluruhnya adalah seniman mancanegara dengan latar-belakang kebudayaan, pendidikan, dan pengalaman profesional yang beragam. Sejak tahun 2004, pameran ini sudah dikelilingkan ke lebih dari 40 negara dan 200 kota di dunia.

Falun Gong adalah sebuah metode kultivasi dengan karakteristik alam semesta – Truth Compassion Tolerance (sejati, baik, sabar)- sebagai panduannya. Para praktisi berusaha menyelaraskan dirinya dengan prinsip-prinsip tersebut.

Yang tersaji dalam pameran ini memang cukup menggugah. Dengan pendekatan realis -beberapa ?dibumbui? visual imajinatif berlandaskan kekuatan spiritualisme, karya-karya tersebut seperti membuka kembali mata publik soal kesewenang-wenangan suatu pemerintahan.

Di China, Falun Gong dibanjiri pengikut terutama pada tahun 1990-an. Beijing bereaksi dengan melarang Falun Gong, dan memberinya cap buruk. Para pengikut Falun Gong menghilang ke dalam kamp kerja paksa. Banyak dari mereka yang akhirnya dibebaskan, melaporkan penganiayaan dan penyiksaan. Bersamaan dengan itu pemerintah China melancarkan serangan terhadap Falun Gong lewat media. Misalnya bahwa gerakan itu melarang pengikutnya minum obat, dan karenanya banyak praktisi yang meninggal.

Selain penyiksaan yang cukup brutal dan tanpa belas kasihan, sebagian lukisan memperlihatkan potret kepedihan keluarga yang ditinggalkan oleh korban operasi pemusnahan oleh penguasa ini. Digambarkan dengan fokus ekspresi jiwa objek lukisannya, seperti memperlihatkan juga penghayatan sang seniman akan kondisi yang begitu pedih saat itu.

Mungkin ini juga karena semua karya adalah ciptaan orisinil berdasarkan kisah nyata. Apalagi, beberapa seniman juga pernah mengalami penganiayaan kejam ini sehingga menjadi kenangan pahit yang terpatri dalam hati dan terus jadi inspirasi dalam penciptaan karya mereka.

Lukisan cat minyak yang dipamerkan dibawakan dengan gaya realisme penuh yang sering disebut sebagai new-renaissance yang merupakan perjalanan menuju alam pikir baru. Hal ini diutarakan kurator Muhammad Bachtiar dalam pengantar kuratorialnya.

Bachtiar mengatakan, kehadiran lukisan dalam Truth Compassion Tolerance ini menandai awal kebangkitan kembali seni orthodoks. Melalui kemurniannya dan kemampuan bernarasi yang sedernaha namun kuat membawakan pesan indah penuh spiritualitas melingkupi esensi hubungan manusia dengan alamnya serta kekuatan keyakinan manusia yang mampu mengatasi penderitaan dan kekejaman.

Selain potret penyiksaan, seperti pengambilan organ dan mayat korban yang tergolek -disertai keterangan gambar dan juga penyebab kematiannya- lukisan di pameran ini juga mengungkap keindahan dari ajaran spiritualisme yang diyakini. Semisal lukisan realis orang bermeditasi di tepi pantai yang kemudian dipadankan dengan gambar imajinatif -mungkin sejenis ?malaikat?- yang kerap mengelilingi orang yang bersemedi ini (In Harmony, 2004. Cat minyak di atas kanvas. Karya Chen Xiaoping).

Karya-karya ini, ujar Bachtiar, turut berperan menandai seni orthodoks yang sederhana dan jernih dalam mengemukakan ide spiritualitas. Menurut panitia acara, perwakilan Yayasan Seni Kreasi, pameran Truth Compassion Tolerance bukanlah sekadar menyenangkan hati manusia, tapi juga menginspirasi manusia menuju kebijaksanaan lebih tinggi menuju kebenaran.

Leave a Reply

Bahasa ยป