“Catatan Pinggir” atas Autobiografi Intelektual

Muhammadun AS*
http://oase.kompas.com/
Judul buku: Jihad Ilmiah dari Tremas ke Harvard dalam Lomba Resensi Nasional
Editor: Faiq Tobroni dan Nurhidayatulloh
Pengantar: Dr Phil Sahiron Syamsuddin, MA
Penerbit : Pesantren Nawesea Press Yogyakarta
Cetakan : 1, 2009
Tebal: x1vi + 116 halaman

Sedikit sekali intelektual Indonesia yang menulis autobiografi intelektualnya sendiri. Kebanyakan biografi mereka ditulis murid, kolega, atau wartawan. Kini, muncul salah satu intelektual Indonesia yang ?secara baru? menulis biografi intelektualnya. Dialah Yudian yang sukses menulis biografi intelektualnya dalam berkeliling di berbagai belahan dunia untuk mengibarkan sang merah putih dalam belantara keilmuan di pentas internasional. Pengalaman presentasi karya ilmiah inilah yang dijadikan pangkal tolak Yudian dalam melukiskan autobiografi intelektualnya sehingga aksentuasi penjelajahan keilmuan dunia sangat mengemuka dalam lintasan biografi intelektualnya.

Titik kisar paling monumental dalam autobiografinya adalah Tremas dan Harvard. Tremas simbol penguasaan tradisi dan Harvard simbol penguasaan alam modern. Kedua tempat ini menjadi ilham gerakan intelektual Yudian dalam menggelorakan semangat perjuangan intelektualitasnya untuk mengarungi berbagai khazanah keilmuan. Tak tanggung-tanggung, Yudian akhirnya mampu menjebol berbagai jurnal prestisius dunia yang menegakkan namanya sebagai pemikir papan atas dunia yang tulisannya dibaca di berbagai belahan benua. Terlebih dalam kajian Islamic studies yang memang merupakan lapangan kajiannya yang ditekuni selama ini.

Buku ini menjadi ?catatan pinggir? atas autobiografi intelektual Yudian dalam mengelilingi dunia. ?Catatan pinggir? yang dimaksudkan di sini adalah bentuk kritis para pembaca dalam menilai semangat keilmuan Yudian. Meminjam istilah Gunawan Muhammad, buku ini memang diharapkan mampu melihat secara kritis Yudian agar intelektualitas Yudian tidak mandek dengan capaiannya sendiri. Dari sekian ?catatan pinggir? yang ada, yang dijelaskan oleh Muhammadun menarik bahwa terlepas beragam pujian yang dilayangkan publik, Yudian lewat buku ini juga layak mendapatkan kritik. Spirit Yudian ihwal bahasa begitu menggebu, tetapi kenapa buku ini, atau juga bukunya yang lain, tidak ada yang ditulis dengan bahasa Arab. Ada sebagian bukunya memang sudah ditulis berbahasa Inggris.

Kritik ini, menurut Muhammadun, penting bagi Yudian karena dengan diterjemahkan dalam bahasa Arab, dan kemudian bisa dikonsumsi masyarakat pesantren dan dunia Islam, ijtihad gerakan pemikiran yang dilakukan Yudian akan memberikan spirit dan etos besar bagi santri untuk melakukan gerakan keilmuan masa depan karena, bagaimanapun, bahasa Arab lebih diterima dunia kiai dan santri, terlebih Yudian adalah alumni Tremas dan Krapyak.

Di samping itu, dari berbagai uraian buku ini, Yudian dikhawatirkan terjebak dalam ?romantisme pemikiran?. Karena telah menembus lintasan keilmuan di dunia, Yudian seolah ?selesai? dalam penjelajahan keilmuan. Padahal, penjelajahan dunia keilmuan dalam tradisi keilmuan pesantren tidak mengenal batas, sampai titik penghabisan di liang lahat. Ini terindikasikan lewat prestasi keilmuan yang digapai, yaitu sejarah masa lalu. Dengan berbagai kesibukan praktis di Indonesia, jihad ilmiah Yudian lewat tulisan dan presentasi di dunia internasional seolah mandek, ?selesai?. Terjebak dalam ?romantisme? inilah yang harus digugat Yudian sendiri.

Sementara itu, Suyadi Muhammad melihat bahwa autobiografi intelektual Yudian memang menjadi buku menarik dalam rekam jejak yang menjadi monumen yang terus mengilhami gerak pemikiran santri di masa depan. Bukan terjebak dalam kebekuan, repetisi pemikiran, dan matinya kritik, tetapi terus tercipta otonomi yang cukup serta kebebasan akademik yang memadai. Di titik inilah Yudian layak waspada agar proyek pencerahan pemikirannya tidak terjebak dalam repetisi yang stagnan dan menjemukan. Karena sedikit terlena saja dalam repetisi keilmuannya, Yudian akan mengalami stagnasi luar biasa, dan itu merupakan awal ?bunuh diri? keilmuan yang akan mematikan gerakan Yudian sendiri.

Kemudian, kritik Hafidzoh yang melihat Yudian masih gagal mempresentasikan soal perempuan dan kesetaraan jender dalam perspektif Islam di panggung presentasi ilmiah di dunia. Persoalan ini masih luput dalam kajian keilmuan Yudian. Padahal, sebagai seorang yang akan menggerakkan dunia keilmuan pesantren, Yudian mau tidak mau harus mampu mengangkat prestasi santriwati dalam kancah keilmuan global. Sayangnya, Yudian luput mengungkap tema ini dalam kajian pemikirannya. Apakah ini simbol Yudian masih belum berani mengurai soal sensitif ini dalam lapangan kajian pesantren? Atau memang kesempatan belum datang kepadanya untuk mempresentasikan ihwal perempuan dalam lapangan pemikiran keislaman?

Dengan ?catatan pinggir? demikian inilah Yudian bisa kembali ?becermin? dalam spirit berintelektualitas karena ?catatan pinggir? memberikan banyak rekomendasi untuk memproyeksikan kembali gerak laju intelektual pada masa depan, khususnya dalam membangkitkan gerak intelektual pesantren. Pasca-wafatnya Gus Dur, bertolak dari gagasan dalam autobiografinya, Yudian mempunyai tanggung jawab untuk kembali membuka jalur intelektual yang bisa menumbuhkan generasi baru intelektual pesantren, sekaligus membuka gerbong baru intelektual, yang seharusnya tidak lagi repetisi dari gagasan Gus Dur, tetapi bisa menampilkan gagasan baru yang lebih segar dalam menjawab persoalan publik.

*) Pengkaji Sosial, Peneliti Cepdes Jakarta.

Leave a Reply

Bahasa ยป