Heru Kurniawan *
sinarharapan.co.id
“Aku mencintaimu,” kata ini meluncur dari seorang pemuda yang berpakaian rombeng dan belepotan kotor. Ia nyengir, seperti tak ada beban berkata seperti itu. Dan perempuan yang diajaknya bicara hanya cengar-cengir, menggerak-gerakkan tubuhnya yang terbalut kain kotor. Ia senyam-senyum, cengengesan dan mengulum ibu jarinya.
“A…..pa, akang mencintaiku,” kata perempuan itu pelan dan lenjeh, “aku juga mencintai akang,” lanjutnya.
Pemuda itu tersenyum, cengengesan, dan segera berlari. Aneh, tapi itulah yang selalu diperbuatnya. Ia lari kencang sekali, tak peduli. Lari tanpa arah, yang dibenaknya hanya ada kata: sungai. Dan, di sungai yang kotornya tak ketulungan pemuda itu menceburkan diri,”byuuuurrrrr”
“Ha…ha…ha….,” rupa-rupa anak gelandangan yang melihat kejadian ini tertawa.
“Sungai inikan habis kita kencingi”
“Tadi, aku juga buang tahi”
“Orang gila itu hebat, berani mandi dengan kencing dan tahi kita”
Kata-kata anak gelandangan itu bersahutan. Menertawakan.
Pemuda itu tak peduli, terus mandi dan berenang ke tepian. Seterusnya ia mengusir anak-anak gelandangan itu.
“Dasar anak-anak gila, edan, gila…,” teriak pemuda itu.
“Kamu yang gila, ceritanya lagi jatuh cinta…ha..ha..ha..” ledek anak-anak itu.
***
Di perkampungan kumuh itu, siapa yang tidak mengenal pemuda gila itu. Orang-orang memanggilnya pemuda gila. Tingkahnya yang selalu aneh semakin melegitimasinya sebagai pemuda gila; suka mandi di kali yang kotor, berteriak memanggil nama-nama perempuan, nyanyi-nyanyi sendiri, bicara sendiri semuanya sudah jadi kebiasaan setiap hari. Tapi, ada penghargaan terhadap pemuda gila itu, ia pintar, cerdas, dan dermawan sekalipun hidupnya sangat hina dan miskin. Jangan menyebutnya miskin, karena dalam dunia orang gila yang hina tak ada yang memikirkan harta, yang ada hanya pikiran mengisi perut untuk hari ini. Hebat, tak pernah memikirkan uang untuk jadi kaya.
Ceritanya pemuda gila itu lagi jatuh cinta. Sama siapa? Sama gadis gila yang biasa berkeliaran di jalan. Siapa namanya? Tidak tahu. Rumahnya? Juga tidak tahu. Di mana ketemunya? Di tepi jalan. Waktu itu, gadis gila itu lagi nyanyi-nyanyi dengan menggendong boneka. Di matanya boneka itu adalah anaknya.
“Mau ke mana, Neng?”
“Cari ayah, untuk anak ini”
“Emangnya siapa ayahnya?”
“Tidak tahu. Tapi, kamu kok mirip juga dengan pemuda yang memerkosaku dan mengambil anakku.”
“Masak!”
“Iya bener, wajahmu, matamu, hidungmu, tubuhmu, iya mirip benar dengan orang yang kucari”
Sejak itu, pemuda itu merasa bangga dengan dirinya. Ia merasa lelaki, sebab ada perempuan yang mencari. Dan dia jatuh cinta, saban hari yang selalu dilakukannya adalah berkata tentang Cinta. Cinta. Cinta. Tak mengherankan bila sebagian teman-temannya yang gelandangan dan gila juga mengatakan ia semakin gila karena Cinta. He…he…he…
Pemuda itu terus berlari, anak-anak gelandangan mengikutinya di belakang.
“Hidup Cinta, hidup Cinta, hidup Cinta,” teriak anak-anak itu layaknya suporter kesebelasan yang mendukung timnya bermain pertandingan sepak bola.
Di depan warung penjual es, semua berhenti. Dan, pemuda itu memesan es sejumlah dengan pengikutnya. Semua ditraktir es oleh pemuda gila itu. Asyik kan.
“Wah, hebat. Cinta itu hebat, ya. Bisa bikin kaya, buktinya si Gila ini mentraktir kita hanya karena Cinta,” seru salah seorang anak.
Pemuda itu tersenyum. Nyengir. Bego.
“Cinta itu sebenarnya apa sih, Gila,” tanya seorang anak pada pemuda gila itu.
“Cinta itu,…nanti dech kutunjukkan. Sekarang habiskan dulu es-nya.”
Setelah selesai pesta es, pemuda gila itu berkata, “apa kalian pingin tahu, Cinta itu apa?”
Serentak anak-anak gelandangan itu menganggukkan kepala.
“Ayo, sekarang ikut aku. Akan kutunjukkan pada kalian Cinta itu apa,” kata pemuda gila itu. Dan berlari. Semua anak mengikuti dengan perasaan penasaran. Di tepi jalan raya yang dipadati kendaraan pemuda gila itu berhenti. Anak-anak gelandangan itu mengikuti. Berhenti. Napas mereka tersengal-sengal. Kesal.
“Ayo, dong katakan Cinta itu apa, Gila?” kata salah seorang anak.
“Cinta itu tidak bisa dikatakan, tapi hanya bisa ditunjukkan,” kata pemuda gila itu. Menegaskan.
“Kalau begitu tunjukkan dong, biar kita tahu Cinta itu apa?” tanya anak yang lainnya.
“Baiklah, lihat ini”
Pemuda itu segera berlari menyeberang jalan raya itu. Dan…
“Ha!”
Semua mata anak-anak gelandangan itu terbelalak. Gila, seru mereka dalam hati. Melotot, mereka tak percaya. Menyaksikan pemuda gila itu menabrakkan tubuhnya sendiri pada sebuah mobil yang melaju sangat kencang. Darah berhamburan membuncah. Tubuh pemuda gila itu berkeping-keping hancur. Pisah. Kepala pemuda itu menggelinding ke arah gerombolan anak gelandangan itu.
“Inilah Cinta,” lirih kata kepala pemuda gila itu. Kemudian menutup matanya. Mati.
“Lari….!” seru salah seorang anak.
Mereka berhamburan pergi. Berlari dan salah seorang anak itu membawa kepala pemuda gila itu.
Di padang perkebunan yang luas anak-anak gelandangan itu berhenti. Napas mereka tersengal-sengal. Dan ingatan mereka terus terbayang kematian pemuda gila itu yang tragis.
“Itulah Cinta anak-anak, sama dengan kematian,” kata ruh pemuda gila itu yang merasuk ke batin anak-anak gelandangan itu. Semua pikiran anak gelandangan itu sedang berkecamuk, menafsirkan arti Cinta yang tadi dijawab oleh pemuda gila itu dengan kematian.
Anak-anak, Cinta itu mati. Cinta itu mengorbankan nyawa. Cinta itu bunuh diri. Cinta itu membinasakan. Cinta itu memisahkan tubuh menjadi bagian-bagian kecil. Cinta itu sama dengan kematian. Ha…ha…ha…bisik ruh pemuda gila itu pada anak-anak gelandangan itu.
“Apa yang kau bawa”
“Kepala si Gila”
“Ha!”
Semua anak terperanjat kaget, melihat teman mereka yang membawa potongan kepala pemuda gila itu. Kepala itu diletakkan di tanah, sebagian anak-anak menutup matanya takut melihat potongan kepala pemuda gila itu yang masih segar dan berlumuran darah.
“Untuk apa kau bawa kepala pemuda gila itu?”
“Untuk kuberikan pada gadis gila itu”
“Maksud, kamu, pacar si Gila ini”
“Ya”
Semua mata anak-anak gelandangan itu menatap kepala pemuda gila itu. Tenang. Hening. Seperti sedang terjadi penghormatan atas kematian pemuda gila itu.
***
Di tepi jalan ramai, seorang anak kecil menyerahkan sebuah bungkusan plastik pada gadis gila itu.
“Ini untukmu, Gila”
“Hore..hore…ada anak edan ngasih hadiah padaku. Hore..”
“Dasar gila,” gerutu anak itu seraya pergi. Berlari.
Di rumahnya yang kotor, berlantai tanah, berdinding kertas kardus dan beratap plastik gadis gila itu membuka bungkusan plastik itu. Darah tersegap. Berhenti sejenak, mata gadis gila itu membulat seperti bumi. Muka memerah dan air mata berurai. Tarikan napasnya mengisyaratkan tekanan batin yang luar biasa memilukan.
Seketika ia mengamuk, rumah kotornya diobrak-abrik dan dibakar, tak ayal api merambat cepat dan membakar seluruh isi perkampungan kumuh itu. Api membara melahap semua yang menghadang, dan ratusan orang berteriak-teriak minta tolong seraya berusaha memadamkan api dengan air. Tapi sia-sia, api kadung sudah gila pula.
Gadis gila itu lari. Hilang. Entah ke mana.
“Lihat, itu ada mayat, di tepi sungai” seru seorang anak gelandangan. Segera, teman-temannya melihat yang ditunjuk anak itu. Dan, semua kaget saat mengetahui kalau mayat itu adalah gadis gila pacar dari pemuda gila itu.
“Inikah Cinta, Gila” seru hati setiap anak gelandangan itu.
***
Masanya terus beranjak, kini usia anak-anak gelandangan itu bertambah dua puluh tahun. Mereka telah dewasa. Tapi, aneh tak satu pun di antara mereka yang mau menikah atau pacaran. Kenapa? Mereka bilang takut dengan Cinta. Kenapa? Cinta itu Gila. Maksudnya? Dua manusia Gila itu telah mengajari Cinta, sungguh Cinta itu benar-benar Gila. Mematikan. Mereka tak mau mati. Tapi, apa kalian tidak melihat ibu-ibu kalian yang selalu resah menantikan kehadiran cucu, demi kelangsungan hidup manusia-manusia gila. Dunia perlu ekosistem, ada yang mulia, harus ada juga yang hina! Ha, apa benar, kita harus bagaimana?
Desa Mengger, 10 April 2005
* Judul Cerpen ini diambil dari salah satu judul lagu DEWA “Cinta Gila”.