Nurel Javissyarqi
Setelah aku kirimkan beberapa buku stensilanku kepada saudara Marhalim Zaini di Riau dan Y. Wibowo di Tanjung Karang, Bandar Lampung. Di bawah ini tanggapan Marhalim Zaini lewat sms, lantas aku buatlah surat untuknya:
Ada logika-logika aneh dan asing, ada sentakan pemberontakan yang ajaib, ada teriakan-teriakan keras dan dalam, ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling, ada jerit dari jerih kata yang diperas berulang-ulang, ada laut yang saling berbalik arah debur ombaknya (via sms, Marhalim Zaini).
Saudaraku, mungkin begitulah diriku. Ketika sentuhan angin bidadari mengibas rambutku yang ikal memanjang bagai anak-anakan untaian rambut Tagore. Atau kusut tak karuan seperti Nietzsche saat suntuk, pun sekelimis Freud dikala berkarya bercermin terlebih dulu. Jangan-jangan mahkotaku kelak hilang botak serupa tuanku Al-Ghozali.
Tidak apa, kalau membuat leloncatan fikiran perasaanku (yang saudara maksud; Ada lompatan-lompatan makna) sepagi-pagi cahaya khusyuk Suhrawardi merampungkan Hikmah Al-Isyraq. Dan logikaku, sepra-prakteknya Einstein berjalan keluar dari bangku kuliah menuju kampus dunia, segambar tuturan Alan Lightman pada novelnya Einsteins Dreams.
Atau keasingan itu (Ada logika-logika aneh dan asing), sejenis Socrates menenggak racun kenyataan hukum logis Ilahi. Namun bukan konstruksiku sekonstruktivisme Kukla kekanakan, atau karakter gairahku kebalikan dari Marcuse sang ambigu; yang seolah polisi dilain pihak berwajah hakim Bao; memang berhasil membuat penjara tetapi gagal mencipta pencerahan, sebatas pencerita dalam One Dimensional Man. Dan diriku mengatakan, insan adalah jutaan dimensi, tentu atas cakupan berbeda.
Mungkin jiwaku mengharap pesona Don Juan Berrnar Shaw atau Adimanusia Nietzsche; keberanian menarik putar roda torpedo pemikiran hingga ribuan kesan menembus batas diri. Pada lain tempat Nietzsche membabat dialektika Socrates lewat dialektikanya yang lebih kasar dan sembrono, dianggap tidak dialektik, padahal sangat di Senjakala Berhala.
Hasratku tak sepelan Machiavelli juga belum memiliki kejelian Plato pada Republik, atau The End of History and The Last man Fukuyama. Atau The Philosophy of History Hegel, dramatik Camus, lebih-lebih Muqaddimah Ibn Khaldun, namun mudah-mudahan potensi itu terangkat oleh seperangkat kesehatan bekerja keras atas ketentuan rahmat-Nya.
Tapi tidak mau keterlaluan nekat, maka diri ini membutuhkan waktu tepat mujarab demi memakbulkan karya seizin-Nya, seharap Fusus Al-Hikam Ibn Arabi, syukur mencapai kekentalan Ibn Ataillah kala merampungkan karya terbaiknya Al-Hikam.
Mungkin ini saudara harapkan bagiku; mencipta karya tidak sekadar tumpukan kertas berita, tak sembarangan kutip seolah tanpa otak, kerajinan tangan kliping, tentu pula tak hanya menyenangkan teman-teman? Maka doakan agar sampai tahap formula tersendiri, tidak tergiur nyontek Hallaj pun Rumi. Kalau gaya mungkin tak kenapa, yang fatal ruh dari yang sedang kubangun sebanding sama, kan konyol.
Ingin sungguh mengupas kebobrokan diri sehingga tampil menggemuruh di bathin kejujuran pelajar, berharap capaian murid patut disayang. Anak halal dibanggakan serupa termaktub dalam hadits; Menikalah kalian dan beranak cuculah, karena sesungguhnya kalian akan kujadikan kebanggaan di antara sekalian banyak ummat.
Atau kehilafanku terterima serupa hadits Qudsi; Barangsiapa karena sibuk berdzikir sehingga lupa meminta-minta, Aku beri ia sebelum meminta. Ialah ketokohan patut dibanggakan Muhammad, Rasul punghujung jaman. Bukan nabi palsu yang disangka orang-orang, dirinya gagah atas obyektivitas ilmu pengetahuan.
Kitab apalagi yang ajaib dan membumi kalau bukan Al-Qur?an. Pemampu menjawab soal belum terlahir. Mengandung lautan hikmah dan hamparan falsafah yang patut dipandang cermat, berguna memberi soal jawab masa depan terhormat demi masyarakat madani, bukan medeni atau menakutkan semacam FPI.
Muhammad SAW, sang revolusioner tercepat diakui sejarawan Karen Armstrong di bukunya; Muhammad, Biography the Prophet. Sanggup mewarna perjuangan Diponegoro, jenderal Sudirman. Juga Bung Tomo yang menurut K?tut Tantri se-Abraham Lincoln dalam Revolusi di Nusa Damai. Itu perembesan, belum menghujam banjir sekepribadian Umar bin Abdul Aziz. Atau sahabat empat yang berkilatan menyelamatkan kemanusiaan dari kungkungan jahiliah. Di layar putih berbeda para tuan tanah Texas atas kulit hitam dan Indian. Dan takdir Tuhan menghendaki tiada lagi muka penindas, terkelupas temukan tulang kesadaran, bahasa Erich Fromm dari Freud; insting kematian dari hasrat merusak.
Dari yang belum kusebut ialah cermin, agar selalu mengoreksi; mengemur sesuai baut kita punya. Kesadaran totalitas demi menarik permasalahan yang being dan masuk ke dunia henang-hening-henung, pada nantinya tertampil citraan diri menerang padang njinglang; terang benderang.
Kata saudara; ada sentakan pemberontakan yang ajaib. Marilah bangun keajaiban. Tidakkah dunia berjalan melewati anomali menghemaskan? Kudunya menarik diri menjadi paling ajaib, menanjak seperti tragedi bedah caesar, diawali kebanggaan Sang Caesar yang lahir tanpa melewati anunya wanita (dalam Caesar and Cleopatra, Bernart Shaw).
Aku tak bermanis-manis sedebu kering Salman Rushdie yang spekulatif menghentak-henyak. Paling-paling nyangkut di roda cikar atau gerobak yang ditarik sapi-sapi pongah. Aku tak mau masuk perangkap subyektivitas Max Weber (the Sosiologi of Religiun) yang memakai kacamata kuda, pura-pura kemayu demi sesuap pengakuan. Ingin kubangun realitas kedirian yang digagas Iqbal, kejuntrungan Isa Dawud dalam setiap menerangi penelitiannya, bukan bayangan jauh namun ngeranggehnya harapan.
Oya, aku terkejut saat menyimak Critical & Cultural Theory, Cavallary yang seperti kubayang, namun setelah kuteliti untung isih? (masih) berjarak dan semoga yang terbayang tidak seampang suguhan John K Roth. Atau aku tak membangun apa-apa dari sana, yang kubeberkan sebagai tonggak jati diri; ini berhubung daya ketahanan suntuk, jangan-jangan aku tertidur sehabis terpuaskan. Sungguh anomali? Kalau sampai diteruskan, apalagi menguap lantas bangun deladapan kesiangan.
Basis eksistensi jelas, kesadaran ruh pemberian Tuhan, amanah terkandung demi melahirkan kemaslahatan mencahayai perjalanan ke alam akhir. Tentu atas syafaat Nabi Muhammad oleh restu Sang Maha Ego. Kita di atas tungku pembakaran was-was malaikat pencabut suka pada jarak kesakitan dunia, luka tradisional; realitas borok kondisional. Bukan dipremak tapi merombak, sebab setiap detikan waktu jungkir-balik kehendak ketentuan-Nya.
Dunia ajaib dari Sang Ajaib; mata cemerlang menatap daun pun benda-benda hidup, hayat tambah bergairah merevolusi diri menciptakan fibrasi gesek-resapan. Tidakkan seluruh jagad mikro kosmos serta kebalikannya ajaib? Realitas tercetak di lembaran biru, dalam matematika perkalian, gairah rindu demi temukan hakikat benda dan misterinya luput ditangkap para empun filsuf juga psikolog di pagi buta. Sebab mereka seperti tukang kursi, mencopoti kaki-kaki kursi, dipasang sesuka pencahayaannya. Sejenis spesies penari di atas tali tambang selukisan Nietzsche. Atau ribuan cacing menjelma seekor naga besar, kata Hitler sewaktu memotivasi anak-anak buahnya.
Mereka kondisikan gairah bersama demi temukan kreativitas pemompaan atau racun sugesti, menggerakkan organ nganggur. Seakan pelari maraton dengan satu tongkat diberikan penerusnya. Benarkah ini daya sesungguhnya? Jangan-jangan rangsangan dihasilkan dunia gaib, sangkaan menyenangkan pewarisnya dengan melucuti tenaga untuk memeras. Kalau permainan sepak bola pesta bersama, bisa-bisa pesta para pemain, wasit, pelatih dan panitia, yang lain ikut ramai. Jikalau sekadar ingin mendapati tepuk tangan, rekam saja pertandingan. Lalu putar di waktu lapar, tentu tanpa makan malam sudah kekenyangan.
Inikah mereka sebut lagu? Pemalsuan alam atau kejujuran dipalsukan. Jika berharap gembirakan diri, sulut saja petasan? Tapi mereka malu. Tidakkah ini penindasan bangsa lebih kuat pada bangsa amburadul tidak terkonsep. Yang tak memiliki jati diri, inginnya cepat menemukan kemeja pas (srek) demi tampil di depan publik. Tidakkah ini pembodohan akademis, mencipta hukum strategi komando untuk mencapai perang akhir manusia. Bungkus hanya paradok diperjualbelikan agar lekas laku, lantas tergiur wajah cantik otak encer atau mengental?
Mereka menyaksikan gejala gunung es meleleh, cepat-cepat menarik diri ke kamar menyelingkuhi kesunyian, lalu keluar bangga sejatinya melompong; menuliskan kesakitan juga kekecewaan berhati haru atau ketawa membadut. Lampaui itu, hasrat tenang atau gembira dari jiwa. Kita tanggalkan kesenangan semu, ketenangan melena demi tetap mawas. Kudu berani tanggalkan kesemerawutan tak juntrung. Kita bukan kosong, tapi kebaharuan tanpa merasakan cuaca ganas menyengat, keindahan taman samping jendela atau ketinggian gunung merayu. Kita pelajari sosok perayu tak merayu, magnit tak mencari besi, deras hujan tak mencari lahan, namun mengikuti angin bertiup segeraian kasih lembut Sang Asih.
Segala tulisan kerentek tanpa suara, gerak munajad tak harus menuju ruang peribadatan, tidak kudu menjajakan dagangan ke kota metropolis. Biarkan para wisatawan berpelesiran mencium harum bunga kita. Meski di tempat lain berkeajaiban. Dunia tak lagi dianggap ajaib oleh penggila dan penggali ilmu. Ini bukan dunia sendiri seperti saudara maksud; ada hasrat untuk membangun dunia sendiri. Namun alam belum terjamah-jemah insani seperti Tagore ngelutus temukan Borobudur. Ngelayapnya diriku bersama mas Suryanto Sastroatmodjo mendapati relief kuda sembrani di Piyungan Yogyakarta tempo dulu. Bukan mbelakraknya Marcopolo mempercayai dunia bundar. Atau pelesirannya K?tut Tantri ke Jawa melewati pesawahan hijau, pebukitan terjal serta keramahan masyarakat Bali. Yang kumaksud lain dan berbeda. Mari kita ajak bermimpi dulu untuk mengetahui keasingan hakiki, sebab masih membawa kelogisan dikala tertidur.
Ialah alam bawah sadar belum terangkat di atas bumi. Bahasa Nietzsche, keajaiban metafisis dalam arti kehendak Hellenis yang melahirkan karya seni Dionysian sekaligus Apollonian, disebutnya tragedy Attik. Semacam fokus piramida lenyap. Dan penggalian kita bukan sejenis arkeolog yang tiada keberanian melewati kebenaran firasat tinggi. Ada buku menarik panduan firasat yang ditulis Ibn Qayyim bertitel Al-Firaasat, mungkin saudaraku belum membacanya.
Saudara katakan; laut yang saling berbalik arah debur ombaknya. Aku tak ingin berhenti setelah hempasan menemui kebuntuan pasir pantai karang ketentuan. Aku tak ambil ini sebab tiadanya awan penjara, meski terlunta sekaligus lelah. Tentu tahu siapa penghiburnya? Ini kian dalam pengulitan bawang merah, kulit-kulit pembungkus dikeluarkan, jika itu pokok bawang. Namun insan ribuan dimensi? Lebih sekadar kulit pun pengulangan sisifus. Tidak lagi mengambil jarak, tapi mengangkat sikap kekinian. Hanya belum mengatakan di depannya, hawatir dianggap pembual mitos atau tali-temali penjerat metet (rapuh).
Cukup menyebut asma-Nya, kata ajaib difikirkan. Segalanya terkendali menjelma seajaib mungkin. Mungkin di sini harus berhati-hati memaknai, sebab bisa kemandekan, kudunya dilumat hingga keajaiban terus. Ini bukan tingkatan hipnotis, apalagi sihir rendah sugesti akal-akalan, tapi kesadaran totalitas mengiyakan; segalanya ajaib. Ini jangan dianggap berhutang pada saudara yang kuutarakan, sebab tiada tahu sebelum sesudah-Nya memberi takdir kita. Anggap ini percobaan kimiawi-manusiawi, pembelajaran pada diri agar ringan melangkahkan kaki, menggarah makna misteri daya rayu yang teridam.
Ingin aku berkesederhanaan Erich Fromm, seolah angkat kursi makan di ruang tamu dengan embun psikoanalisanya, memandangi karya Lorenz didukung tulisan sebelumnya, milik dramawan Robert Ardrey (African Genesis & The Territorial Imperative). Mungkin senada musik Psikofiesta gagasanku (Psikologi Filsafat Sastra & Tasawwuf), bahwa karya Goethe, Faust menjadi mendasar terkuak, berdayaguna kuat sebab usungan idiom Timur dan Barat melewati tragedi nilai nenek moyang. Ini memperbantukan kesadaran demi diakui serta layak.
Aku harap saudara tidak angkat ketukan palu mendadak, mengatakan ini mengusung keranda usang atau menakut-nakuti berkain pocongan. Atau boleh berpandangan itu namun aku percaya, analisa saudara lebih kuduga. Aku masih berkutat menyenangi pertemuan pertama, perkenalan ajaib, perjumpaan tak tersangka hingga mendapati dugaan kuat. Makna itu di sana, gairah meledak-ledak setubuh, bukannya ejakulasi dini atau watak penggerogotan jiwa yang dikembangkan panyair Lebanon.
Kita tahu perkembangan filsafat dari juntrung sampai berjingkrak, dari kesahajaan menuju pengelucutan senjata, hingga menemukan pecahan kepala; menembusi batas yang dibatasi daya insani atau menguap ateis, sebab belum kenyang tidur semalam. Maka doakan diriku tidak deladapan memandang kecantikan, walau kadang mencipta siratan spiritual, seperti keunggulan pelangi yang suatu waktu membentur remuk hujan angin di sekitarnya. Ada unen-unen; di daerah kekuasaan lengkung pelangi selalu meminta tumbal, sederu hujan bersusulan. Atau selembut Cinderawasi menyembunyikan agresi singa sefilosofis Reog Ponorogo, wilayah yang menyeret R. Ng. Ronggowarsito dalam kancah kehitaman panggung, sampai menemukan batu bercekungan air yang tersaksikan Ibnu Hajar Al-haitami, dengan frame berlainan.
Atau aku mengajak mendestruktifkan diri, agar being di kancah sapuan lar bulu sayap, sampai setajam penghilangan diri. Tapi aku kira tidak, sebab saudara memiliki racikan jamu mujarab, resep hidup surgawi bervitalitas tinggi, meski tua tongseng, bukan yang kerapkali dikatakan Bung Hatta; non sen. Kita pakai instingnya anjing Ashabul Kahfi menguntit ketaatan menjumpai dunia lain, dipersembahkan perasaan nalar berkembang di kebun desa. Aku tilik para filsuf anak turun petani atau memotret kesahajaan proletar. Teringatlah sosok Tolstoy, penjelmaan aforisma yang tumbuh berkembangnya kebenaran hakiki.
Keajaiban anomaly se-mak-bedunduk tidak mendadak nunut ngeyop kehujanan. Bukan berhentinya kereta api kelas ekonomi yang tidak di stasiun oleh menanti simpangan kereta api kelas eksekutif, dan bukan pemberhentian atas tradisi (kereta api kelas ekonomi di Jawa, ada yang berhenti tidak di stasiun, tapi juga di tempat yang dulu jadi pemberhentian, stasiun perjuangan). A (anomaly) di sini A besar atau A-Nya dan Y terakhir ialah tukikan ke bawah kemanusiaan, kepasrahan total. Penulis memaknai dalam kacamata matematika berarti min (-). Sebagaimana Isra? Mi?raj dihasilkan min kali plus berarti min (- x + = -), yakni kian tinggi jumlah nominal, betambah naik ke Arasy, Wallahuaklam.
Kata saudara pada tulisanku; Ada lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling. Benar aku berfikiran ganda, tapi bukan mengharap dualitas yang mencederai keputusan seenaknya. Tetapi permainan bebas dibatasi, permainan hanya teknik penajam hujam pada pokok persoalan, pembiasaan daya dinaya. Dapat digaris bawahi, aku tak membangun lewat kemisterian. Yang sedang tergarap pembuka, memberi kemungkinan masuk keluar tanpa malu, seperti anak kecil mengalah pada adiknya, tanpa tercampuri iri ingin hadiah kecupan orang tuanya.
Aku harap tulisan ini tidak mengocok otak apalagi perut, sebab keterlaluan geli tukikan miring. Atau saudara anggap badut yang ingin mengenyangkan perut tanpa makan. Mungkin semisal badut pelatih hewan ganas menjadi piaraan; nafsu meliar tidak perlu dicencang, cukup latihan tiap pagi, anjing (keliaran gaya berfikir, keyakinan memburu dari penciuman duga, terkaman menjanjikan daging) juga lincah memasuki lingkaran api, walau mengenai porsi makan tetap sama (ini pengembangan fitroh). Lebih mujur dari anjing gila (para filsuf yatim keimanan) mudah tertular penyakit kudis, sampar pula kelaparan di padang gersang.
Aku suka menggunakan anjing daripada tikus, meski berkelenjar searah manusia. Lagi-lagi dikejutkan penelitian di negeri Matahari Terbit akhir-akhir ini, yang mengatakan usia kucing lebih lama daripada manusia. Aku teringat mata kucing kemerahan magis, pemilik jaket berbulu hitam itu. Di sini terbaca, saudara tertarik atau tidak atas gaya bahasaku bertabrakan, atau fikiran beribu ganda lebih jauh jangkauannya, dengan lemparan jala sejauh sejarah kemanusiaan. Doakan umur ini bermanfaat, agar segala problematik mengintriki jiwa, menjadi asyik di mata berpenuh mistis.
Aku mengakui sketsa saudara mengenai wajah ini menyenangkan, hingga mudah melukis balik, bercorak ekspresionis yang menggebu di kalbu. Atau kata-kata saudara berupa cat bermutu hingga aku bangga melukiskan pada kanvas kali ini. Aku minta maaf jika terlihat berani menuangkan cat bergaya boroime kata. Namun aku percaya, saudara tidak keberatan memberikan cat bermutu di suatu saat nanti. Kemarinnya aku hanya memakai cat berbahan kopi susu, yang tampil kurang bagus, apalagi belum ada kanvas tapi kertas. Untung berkawan denganmu; cermin saudara berikan aku taruh di kamar dan setiap waktu kuberkaca, sebelum menemui Maha Cantik saat hendak berpetualang. Semoga Tuhan senantiasa membimbing kita, apa yang terharap tidak melenceng kehendak mencapai keseimbangan fitroh spiritualitas-Nya.
Aku fikir cukup, terimakasih penggerak darimu bagiku merasai cambukan itu, realitas saudara maksud. Semoga aku dapat mewujudkan ocean ini dalam buku tidak sekadar hitam manis, namun meges, syukur sehitam manggis. Kalau putih tak seputih tulang tapi salju, lebih putih kapas randu di jalan pulang. Makin sehat berkesegaran putih susu. Teruskan membaca saudara, mumpung kantuk belum menyerang dahsyat, atau siang melarat oleh hawa paling pengab.
Ini hanya firasat ngelayap, tanpa juntrung namun menganggap bermuatan filsafat. Ya mudah-mudahan menjadi embrio paling tepat demi berpijak di batuan nekat, terbang setelah penuh siasat. Aku teringat ramalan Voltaire yang serasa kepada waktu kini; ?Ia berjanji pada mereka, akan membuatkan sebuah buku filsafat yang bagus dan akan menulis kecil-kecil supaya mereka dapat membacanya.?
Sebagai penutup surat aku tuliskan kata-kata saudara Y. Wibowo yang tidak memberikan komentar lagi selain sms ini: Di sabtu kelabu, kusamak untai mutiaramu, sayangku di temui jauh. Saudara-saudaraku di sekolah kebudayaan Lampung, terhenyak atas kehadiranmu. Tabik.
9 Januari 2005 Lamongan, Indonesia.