Frida Kahlo Menghela Kadafi

Afnan Malay*
http://www.jawapos.com/

NADI Gallery, Jakarta, 2-17 Maret 2010, mengadakan pameran tunggal Kadafi Gandhi Kusuma bertajuk Membaca Frida Kahlo # 2. Sebanyak 16 lukisan apropriasi dipajang -yang berasal dari foto pribadi atau gubahan atas lukisan Frida- dominasi warna kusam yang memikat. Perhelatan dengan tema yang persis sama pernah dilakukan Nadi pada 2001. Apa yang istimewa dari pameran kali ini?

Pastilah bukan penggalan kisah kehidupan Frida (1905-1954), pelukis Meksiko istri Diego Rivera, yang sohor itu. Tentu membicarakan Frida, perempuan yang memiliki ”banyak sisi untuk dipercakapkan”, seperti yang diungkapkan penulis Martha Zamora (1990), mampu menguras perhatian kita. Tetapi, bagi sebagian perupa yang pernah sama-sama mengenyam pendidikan seni rupa, yang menjadi ”gunjingan heboh” adalah sang perupa yang mengusung Frida: mereka biasa menyapanya Dafi.

Dafi, lelaki Jember kelahiran 12 Juli 1974, itu terbilang sangat dini berkenalan dengan lingkungan dunia lukis ”yang akademik”. Dafi secara khusus dituntun ayahnya untuk berguru kepada Pak Ketut (saat kelas 5 SD) dan Pak Soeroso (ketika kelas 2 SMP), murid pelukis realis Dullah. Puthut E.A. yang menulis dalam katalog pameran menyebutkan, ketika kanak-kanak, Dafi lebih terkesima visual daripada teks-teks buku pelajaran yang seharusnya dia pelajari.

Beberapa waktu sebelum menyiapkan lukisan-lukisan tentang Frida, kritikus seni rupa Wicaksono Adi yang mengenal Dafi belasan tahun silam pernah memberikan penilaian. Menurut Adi, dari beberapa perupa kawan-kawan seangkatan Dafi (1992) di Jurusan Lukis ISI, Jogjakarta, yang kini mendapatkan tempat dalam peta seni rupa kita, kehadiran Dafi sangat ditunggu-tunggu.

Kawan-kawan sekelas Dafi yang lebih dulu menyodok khasanah seni rupa, antara lain, Didik Nurhadi, Diah Yulianti, Popok Triwahyudi, Iwan Wijono, S. Teddy D., Mahendra Mangku, Pande Ketut Taman, Made Sumadiyasa, dan Dipo Andy.

Adi, komparator perupa Jogja-Bandung, menyebut modal dasar Dafi adalah teknis realisnya yang sangat kuat. Karena itu, Adi tidak heran, ketika kuliah, eksplorasi Dafi ke ranah ekspresionisme, surealisme, dan abstrak terbilang berhasil. Persoalan Dafi dalam meramaikan seni rupa kita hanyalah ihwal intensitasnya dalam ”bertarung”.

Setelah puluhan kali terlibat pameran bersama sejak 1992, Dafi seakan menemukan jalannya: pameran tunggal pertama di galeri yang prestisius. Karena itu, perupa seperti Stefan Buana, Kokok P. Sancoko, dan Rain Rasidi (kurator dan dosen ISI Jogja) menyambut hangat pertanda baik yang mulai ditempuh Dafi, kawan mereka.

Dafi, selain punya stamina yang cukup mumpuni dalam berkarya -karena telah menundukkan kendala teknis sejak usia dini-, terbilang mampu menyelesaikan garapannya dalam waktu yang tidak lama. Pada pamerannya kali ini, Dafi ”menggubah” Frida dan Diego yang bertengger di atas tengkorak masing-masing dalam dua penel (Frida # 16).

Lalu, lukisan Frida 1946 Wounded Deer (A Little Deer) -rusa berkepala Frida- diubah Dafi dengan menghilangkan sembilan anak panah yang menancap serta tangkai dahan yang patah. Rusa Dafi (Frida # 6) dibuat lebih close-up. Rusa dalam posisi tengah berhenti, tatapannya lurus penuh awas dan menghadirkan ”kesunyian yang bertahan”. Rusa Frida sedang memacu lari dengan sedikit kecepatan yang tersisa karena tubuhnya dihujani panah: dramatis-melankolis.

Pada Frida # 1, Dafi mengapropriasi lukisan diri Frida tahun 1944 (My Parrots and I) yang kedua tangannya menggamit dua ekor beo dan dua beo yang lain hinggap pada kedua sisi bahunya. Frida menjadi Monalisa berwajah lancip (hidung, bibir, dagu). Sementara itu, keempat burung beo diganti gagak hitam dalam posisi yang sama. Frida # 7 memodifikasi lukisan Frida tahun 1937, Self-Portrait Dedicated to Leon Trosky.

Sedangkan pada Frida # 4, Dafi mengubah lukisan pelukis potret John Singer Sargeant (1856-1925) yang dikaguminya. Objek itu berupa seorang lelaki berdasi yang sedang duduk, oleh Dafi diubah menjadi Frida. Selebihnya, dalam lukisan akrilik yang rata-rata berukuran sekitar 150 x 200 cm, Dafi melakukan visualisasi foto-foto Frida (dengan suami atau kerabatnya). Satu di antaranya yang didominasi warna merah adalah potret diri Mao Tje Tung berdiri berjajar dengan kawannya (diubah Dafi menjadi Frida).

Di sela-sela pembukaan pameran, kurator senior Enin Supriyanto menanyakan kepada Dafi sepotong pertanyaan sederhana berkaitan dengan tema: mengapa (foto-foto) Frida Kahlo? Dafi menjawab pendek, foto mempunyai ”realitas media” sendiri. Apalagi, di luar ketenarannya sebagai perupa, sosok Frida juga merupakan ”realitas media” yang tidak basi untuk direpetisi.

Pertanyaan yang semangatnya sebangun dengan sodoran Enin kepada Dafi bisa jadi diajukan pula -entah oleh siapa- kepada pemilik Nadi Gallery Biantoro Santoso: kenapa Kadafi Gandhi Kusuma? Tetapi, tentu saja, Bian tidak akan menemukan kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. Atau, dia dapat melakukan dengan bahasa yang tidak ingin menggurui sekaligus merampas apresiasi mereka yang bertanya, dengan cara: lihat sendiri, karya-karya Dafi akan menjawabnya lugas.

Di luar logika umum bahwa Dafi mengusung Frida Kahlo merupakan siasat untuk meyakinkan galeri, apalagi Nadi Gallery yang pernah membuat pameran sama dengan sejumlah perupa agaknya perlu perspektif lain untuk membaca pameran kali ini. Saya tertarik mengatakan demikian sebagai langkah awal intensitas Dafi dalam dunia seni rupa kita: dia sepertinya mendapatkan ”kehormatan dihela” Frida Kahlo.

Agaknya, semua menjadi pantas bila kita tarik serentangan garis korelatif: Nadi Gallery, Frida Kahlo, dan Kadafi Gandhi Kusuma. Tentu saja yang tersisa adalah pembuktian oleh Dafi sendiri. Nadi telah membuktikan reputasinya dalam peta seni rupa kita. Frida adalah perupa yang ”tidak pernah habis” untuk dipercakapkan.

Akhirnya berpulang kepada Dafi untuk mempertaruhkan kesenimannya: perkenalannya yang dini dengan dunia kesenangan yang digelutinya kini; kemahirannya menggoresi kertas dan kanvas yang diakui kawan-kawannya; dan kesediaan galeri yang memiliki reputasi menggelar pameran tunggalnya. Fakta itu tidak dimiliki banyak perupa lain, tetapi mereka -lewat karya-karyanya- menjadi percakapan .

Penantian kawan-kawannya sesama perupa -termasuk dorongan yang senantiasa terjaga, misalnya yang dilakukan S. Teddy D. dan Dipo Andy- tidak lagi menemukan kebekuan teka-teki: Dafi pameran tunggal. Kini perupa dari Jember itu, yang setia menghadiri wejangan Emha Ainun Nadjib, yang sebagian di antaranya menginspirasi kesenimanannya, ”sudah mencair”. Tidak ada lagi yang menunggu, tak diperlukan pula kerumunan para pengantar. Dafi harus terus bertarung memecahkan teka-tekinya sendiri. (*)

*) Pemerhati seni rupa tinggal di Jogja.

Leave a Reply

Bahasa ยป