Kilas Balik Peranakan Arab di Nusantara

Judul: Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami di Indonesia.
Penulis: Natalie Mobini Kesheh
Penerjemah: Ita Mutiara dan Andri
Penerbit: Akbar, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: 275 halaman
Peresensi: Djoko Pitono
suaramerdeka.com

NENEK moyang mereka datang dari jauh, umumnya Hadramaut di Yaman, wilayah selatan Jazirah Arab. Memang sebagian telah ada yang tiba di Nusantara jauh hari, tetapi sejarawan mencatat, para pendatang laki-laki itu mulai bermukim di negeri ini pada abad ke-19. Mereka pun kawin dengan perempuan setempat dan beranak-pinak membentuk masyarakat baru.

Meskipun telah tinggal di negeri baru, adat istiadat kaum Hadhrami itu masih terbawa. Mereka masih dalam kungkungan ketat sistem sosial yang berkelas, mirip seperti kasta-kasta di India meskipun ajaran Islam yang dianut tak mengenalnya. Yang menyamakan mereka adalah pedagang.

Sekarang, anak cucu mereka sudah sangat berbeda. Tidak seperti nenek moyang, profesi mereka kini sangat beragam. Orang-orang peranakan Arab kini banyak jadi dosen, dokter, eksekutif bank, perusahaan besar, dan bahkan jadi gubernur serta menteri. Nama-nama seperti Ali Alatas, Fuad Hasan, Quraish Shihab, Said Agil Al Munawar, Sofyan Bawazier dan Fadel Muhammad adalah sedikit contohnya. Mereka adalah representasi orang-orang keturunan Arab berpikiran maju dan egaliter. Tak ada lagi perdebatan menyangkut isu-isu tentang golongan sayid (keturunan Nabi Muhammad SAW) dan non-sayid yang membelah kelompok masyarakat tersebut..

Keadaan orang-orang keturunan Arab sekarang ini bagaimana pun adalah buah dari perjuangan tokoh-tokoh pada masa pergerakan kemerdekaan. Termasuk tentu saja adalah para tokoh Al Irsyad atau disebut Al Irsyadi. Mereka termasuk yang gigih memperjuangkan suatu masyarakat egaliter. Bagi para peristis Al Irsyad itu, masyarakat Hadhrami perlu kembali ke masa egaliterianisme yang murni dan menatap ke masa depan, tidak terperangkap pada tradisi-tradisi usang dan menyesatkan..

Buku ini adalah satu di antara sedikit teks yang membahas masyarakat keturunan Arab di Indonesia. Karya ini merupakan tesis doktoral penulisnya di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Isinya menguraikan dan analisa tahap-tahap pencarian identitas diri komunitas keturunan Arab di Indonesia, dalam hubungannya dengan komunitas lain di Nusantara. Yang ditekankan adalah perkembangan gerakan Al Irsyad sejak berdiri pada awal abad ke-20 hingga masa pendudukan Jepang awal 1942.

Buku ini memang memaparkan cukup rinci kelahiran Al Irsyad di tengah dinamika kehidupan masyarakat Hadhrami di Indonesia, dengan Ahmad bin Muhammad Surkati sebagai tokoh sentral.

Memang, penulis buku ini juga membahas masalah polarisasi, friksi-friksi dan bahkan konflik di antara kelompok-kelompok Arab di Indonesia saat itu. Tetapi hal-hal seperti itu biarlah menjadi catatan sejarah saja.

Sebagai organisasi, Al Irsyad haruslah diakui sebagai gerakan masyarakat Arab di Indonesia paling maju. Ini ditandai dengan pendirian sebuah sekolah di Jakarta pada 1914, yang kemudian berkembang di mana-mana, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia. Hanya dalam 25 tahun, “Sekolah Islam untuk Hidayah/Petunjuk” yang didirikan Ahmaf Surkati itu melonjak menjadi sekitar 40-50 sekolah.

Adalah sekolah-sekolah tersebut yang jelas menimbulkan kemajuan besar masyarakat keturunan Arab di Indonesia. Hingga sekarang pun, sekolah-sekolah Al Irsyad di berbagai kota negeri ini diakui.

Para siswanya sudah sejak lama tidak hanya anak-anak keturunan Arab, tetapi umum. Sebagai peletak dasar Al Irsyad, Ahmad Surkati memiliki pandangan yang visioner. Ia berkata: “Pendidikan adalah pondasi seluruh kemajuan dan dasar segala kejayaan, dan inilah asal muasal segala kesuksesan di dunia.”

Hadirnya sekolah-sekolah Al Irsyad saat itu merupakan momen yang sangat tepat di tengah masyarakat Islam yang telah menjadi corrupt. Dari sebuah agama, Islam dilukiskan telah menjadi “suatu kumpulan takhayul, kekacauan, dan sebuah permainan.” Kerusakan ini dituduhkan sebagai kesalahan para ahli agama. Mereka seharusnya menjadi penjaga agama, tetapi mereka telah menjualnya untuk keuntungan duniawi. Sebagai akibatnya, dunia Islam berada dalam kemuduran karena landasan dari peradaban adalah agamanya. Dalam filosofi Al Irsyad, pendidikan mencakup lebih dari penyebaran pengetahuan. Tujuan fundamental utama pendidikan adalah moral.

Natalie Mobini Kesheh memang menunjukkan betapa pergerakan Al Irsyad telah memberikan pencerahan kepada masyarakat. Namun untuk lebih memahami situasi masa itu dan dinamika masyarakat keturunan Arab di awal abad ke-20, para peminat kiranya perlu membaca pandangan-pandangan Bung Karno dan Agus Salim tentang keislaman.

Walhasil, ada pula catatan yang perlu disampaikan menyangkut pengantar Anies Baswedan untuk edisi bahasa Indonesia buku ini. Dalam pengantarnya itu, Anies banyak menyinggung Persatoean Arab Indonesia (PAI), organisasi yang berjuang lewat politik. Ia menulis, Sumpah Pemuda Keturunan Arab pada 1934 yang mengatakan Indonesia sebagai tanah airnya dan sikap mereka yang menempatkan Hadramaut sebagai tanah air nenek moyang merupakan penjelmaan dari pergeseran pemikiran yang drastis dan revolusioner pada masa itu.

Sayangnya, Anies tidak menyinggung peran Al-Irsyad. Padahal, pergerakan Al Irsyad-lah yang telah memungkinkan terjadinya pemikiran drastis dan revolusioner tersebut.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป