Langit Gelap, Tanpa Bintang

Gunawan Budi Susanto
suaramerdeka.com

“BU, Bapak mana?”
Pertanyaan itu terlontar dari bibir mungilmu, malam-malam sebelum tidur.
“Bapak ke surga.”
“Kenapa tak pulang-pulang?”
“Nanti, kalau sudah punya banyak duit. Bapak kerja keras di sana, cari duit buat kamu dan adik-adikmu.”
“Surga jauh, Bu?”
“Jauh, sangat jauh. Tidurlah, sudah malam.”
“Bapak pasti pulang, Bu? Naik pesawat?”
“Iya, naik pesawat. Doakan saja Bapak selamat dan pulang bawa banyak duit.”

Setelah itu, biasanya kamu menggumamkan doa. Entah apa. Aku tak benar-benar mendengarkan karena diam-diam sedang menekap kepedihan. Lalu, agar kamu segera tidur, kudongengkan segala kisah yang kupungut dari tebing ingatan: tentang kamu, tentang adik-adikmu, saat bapakmu masih hidup.
Kamu tak pernah tahu, saat itu aku selalu menangis. Tanpa suara, tanpa isak, sampai kamu terpejam dalam tidur yang tak pernah nyenyak.
Pertanyaan itu kamu lontarkan setiap malam. Tak bosan-bosan. Dan, setiap kali, aku pun mengulang jawaban yang sama seraya menekan kejenuhan. Sampai kamu masuk taman kanak-kanak. Entah kenapa, setiap malam sebelum aku mendongeng, kamu tak lagi menanyakan kenapa bapakmu tak segera pulang dari surga.

Ah, kalau saja kamu tahu, sejak malam itu aku bersyukur tak perlu lagi mengulang-ulang jawaban. Sejak saat itu pula aku meyakinkan diri sendiri: bapakmu memang berada di surga. Harapan itu sesekali berpilin-berkelindan dengan rasa iri. Ya, betapa enak dia: tinggal ongkang-ongkang kaki, tak lagi direcoki segala tetek bengek agar kamu serta adik-adik dan mbakyumu tetap bisa makan dan bersekolah. Dan, terutama, bisa menikmati masa kanak-kanak kalian sebagaimana anak-anak lain. Acap kali, diam-diam, aku menyalahkan bapakmu: kematiannya, entah di tangan siapa, telah membebaskan dia dari tanggung jawab membesarkan kalian, dan menimpakan sepenuh seluruh kewajiban itu kepadaku. Seorang diri. Mengasuh dan membesarkan kalian, lima orang anak, menjalani masa pertumbuhan.

Tanpa sepenuhnya kusadari di dasar hati muncul benih-benih kebencian pada bapakmu. Makin hari benih itu kian besar. Mengecambah, meracuni darah. Membarah. Jika mungkin, ingin kuhapus segala ingatan tentang bapakmu. Namun, tentu saja, itu mustahil. Dia telah maujud pada diri kalian berlima. Kalian sepenuhnya penjelmaan dia. Maka, jika muncul sekelebat kenangan bersama dia, segera kucungkil dari benak. Aku khawatir kebencian yang meruyak beralih pada kalian. Karena itulah aku bersyukur, benar-benar bersyukur, kamu tak lagi nyinyir bertanya apa yang sedang bapakmu perbuat di surga. Sampai sekarang.
***

KAU keliru membenci Bapak. Bapak amat-sangat mencintai Ibu. Begitu besar cinta Bapak sehingga tak pernah melarang apa pun yang diperbuat Ibu dalam organisasi Gerakan Perempuan Indonesia. Dia khawatir, sekali melarang, Ibu bakal pergi. Lantaran Bapak tahu Ibu tak mencintainya. Ibu cuma punya respek, rasa hormat. Perhatian Ibu lebih tercurah untuk mewujudkan cita-cita: membangkitkan kesadaran perempuan agar hidup secara mandiri. Bebas dari penindasan dalam segala bentuk, dalam aneka wujud.

Apalagi Bapak pun sepakat, tak semestinya perempuan dikurung dan ditelikung urusan dapur, kasur, pupur. Justru aktivitas Ibu itulah, antara lain, yang membuat Bapak kesengsem. Dia, lelaki pendiam dan introvet itu, diam-diam mengagumi Ibu ? adik kelas dan kemudian menjadi kawan sekerja sebagai guru. Lama-kelamaan kekaguman itu berubah menjadi rasa kasih, menjadi rasa sayang.

Bapak pun melamar Ibu. Ibu, yang barangkali sudah terlalu capek menolak lamaran beberapa kawan pria, akhirnya menerima pinangan Bapak. Mereka menikah dan lahirlah kita, anak-anak mereka. Kehadiran kita tak pernah menghalangi Ibu untuk tetap aktif berorganisasi. Untunglah Bapak tipe orang rumahan; dialah yang lebih sering momong kita sembari menjalani kegemaran membuat sangkar bagi burung-burung perkutut piaraan.

Menyenangkan bukan? Tak ingatkah kau, sesekali pada malam hari Bapak dan Ibu mengajak kita berjalan-jalan, menyusuri jalanan kota kecil di tepian bengawan, tempat kita tinggal saat itu? Sesekali pula mereka menggiring kita ke pasar malam menjelang lebaran. Amboi, betapa senang, betapa riang!
Lalu, datanglah petaka itu. Prahara membadai. Acap kali, pada malam-malam gelap tanpa bintang, banyak orang menggedor-gedor rumah kita. Mereka berteriak-teriak dengan suara parau penuh amarah. Beringas, berseru-seru bersahut-sahutan, “Bakar, bakar saja! Jangan kasih ampun! Pengkhianat bangsa, penghujat agama!”

Batu-batu pun beterbangan. Menghancurkan genting rumah kita, meremuk kaca jendela.

Bapak dan Ibu mengungsikan aku dan Lilik ke B, ke rumah Eyang. Tinggal kau dan Yoyok. Sri masih dalam kandungan Ibu.

Kau tentu ingat, beberapa kali kalian disembunyikan ke rumah para tetangga ketika orang-orang itu menyerbu rumah kita. Penyerbuan berlangsung berulang-ulang.

Akhirnya, setelah beberapa waktu, tentara menahan Bapak dan Ibu. Mereka membawa Yoyok dalam tahanan karena masih terlampau kecil untuk tinggal di rumah bersamamu dan Mbok Nah, pembantu kita.

Beberapa bulan kemudian, aku tak ingat lagi, Ibu keluar dari tahanan. Aku dan Lilik sangat gembira ketika suatu hari melihat Ibu, kau, dan Yoyok turun dari dokar di depan rumah Eyang. Namun Bapak tidak. Bapak tak pernah kembali. Sampai kini.

Kata orang, tentara membunuh Bapak dan mengubur mayatnya di tengah hutan di kawasan selatan C ke arah N. Orang-orang juga bilang, Bapak mengajukan diri sebagai pengganti Ibu yang jadi target eksekusi. Entah dengan cara apa, Bapak mampu meyakinkan tentara bahwa membunuh Ibu sama saja dengan membunuh tujuh nyawa sekaligus: nyawa Ibu, nyawa Bapak, dan nyawa kita berlima.

Begitulah kejadian sesungguhnya. Kini, tak sepatutnya kau masih menyimpan dendam pada Bapak yang kauanggap telah menelantarkan keluarga kita. Kau keliru menilai Bapak tinggal glanggang colong playu ? lari, meninggalkan gelanggang – dengan memilih kematian ketimbang membiarkan Ibu terbunuh. Kematian Bapak sesungguh benar adalah alas bagi keselamatan kita. Tumbal bagi hidup kita.
***

AKU termangu seusai menonton film The Mass Grave Indonesia (2001) besutan sutradara Lexy Junior Rambadeta. Film itu mendokumentasikan penggalian kuburan korban pembantaian pasca-1965 pada 16 November 2000. Ke-21 jasad korban ditanam di satu liang di bawah pohon kelapa di Hutan Siturup, Desa Dempes, Kaliwiro, Wonosobo, Jawa Tengah.

Penggalian itu difasilitasi YPKP dan Solidaritas Nusa Bangsa atas permintaan Sri Muhayati, ahli waris salah seorang keluarga korban. Dalam film itu, Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang pernah dijebloskan ke berbagai penjara dan diasingkan ke Pulau Buru, menyatakan, “Pers Barat menyebutkan antara 500.000 dan sejuta orang dibunuh. Kata Domo dua juta. Dan Sarwo Edi yang menjalankan pembantaian itu atas perintah Harto mengatakan dengan bangga telah menghabisi tiga juta nyawa.”

Ingatanku melejing ke sosok Bapak, yang samar tergambar dalam benak. Benarkah dia merupakan salah seorang di antara korban pembantaian itu? Bukankah sebaiknya aku meminta tolong pada YPKP dan Solidaritas Nusa Bangsa agar merunut kuburannya? Lalu, berupaya menggali dan memindah kerangka Bapak agar bisa dikuburkan kembali secara semestinya?

“Jangan punya pikiran macam-macam, Mas!” ujar Ita, istriku.
Tiba-tiba saja dia telah berada di belakang punggungku. “Apa kau tak melihat resistensi yang muncul? Orang-orang mengaitkan penggalian jasad itu dengan kebangkitan komunisme segala. Ingat Kinan, Mas. Dia bakal menyandang tiga stigma sekaligus: beribu Cina korban pemerkosaan, berbapak keturunan komunis…”

Cina, pemerkosaan, komunis. Ketiga kata itu mendenging dalam kuping, merujing-rujing. “Kalau kau Cina, lantas kenapa?”
“Lantaran Cinalah yang membuat aku diperkosa bukan?”
“Dan, tuduhan komunis pada bapak dan ibuku? Bukankah tak pernah dibuktikan?”

“Jangan berlagak bodoh! Perlukah semua itu kaujelas-jelaskan pada setiap orang? Omong kosong! Aku bersyukur kau mau menikahiku. Siapa mau mengawini perempuan Cina korban pemerkosaan, jika bukan orang gila pula? Dan, kedua orang gila itu masih dilekati stigma tambahan: anak turun komunis. Anak kita, Mas,… tak perlu memikul beban warisan semacam itu. Terlalu berat bagi kita, terlalu menyakitkan bagi dia…”

Tiba-tiba Ita bangkit dan masuk kamar tidur, membiarkan aku sendirian menatap layar monitor yang berkeredip tanpa gambar. Sekilas kulihat dia menghapus air mata dari pipinya.

Aku tergeragap ketika mendengar tangis Kinan, anakku. Ah, haruskah aku mengubur impian untuk suatu saat bisa menziarahi pusara Bapak? Pusara yang benar-benar kuyakini sebagai persemayaman jasad bapakku? Bukankah penggalian kubur Bapak bakal melengkapi guratan sejarah keluargaku? Meski memang berisiko bakal mempergelap atmosfer kehidupan Kinan untuk tumbuh dan kembang secara sehat. Raga dan jiwa? Di negeri yang terus-menerus mewariskan kebencian, dendam, dan kekerasan ini? Negeri yang terus dibasahi darah yang tertumpah? Darah yang membarah?

Aku bangkit, bersijingkat memasuki kamar. Kulihat Kinan lahap menyusu sang ibu. Mata sipitnya berkedip-kedip lucu ketika aku hendak mencium pipinya. Jemari kecilnya menarik-narik rambutku. Saat itu, jauh di dasar hati, ada sesuatu yang terasa terenggut. Entah apa. Entah oleh siapa.

Aku tersadar, ternyata Ita menyusui sambil menahan isak. Aku tak tahan, keluar, ke pekarangan rumah. Merokok sembari mengeliarkan pandangan. Langit gelap, tanpa bintang. Hawa dingin menusuk tulang. Bakal hujan? Tengah malam?

Aku tergugu, terduduk di rerumputan. Ah, Kinan, Kinanti Gurit Wening, haruskah aku memperlebar kemungkinan bagi orang lain untuk merenggut kemanisan hidupmu? Kemanisan yang sesungguh benar masih berupa kemungkinan pula, Anakku?

Gebyog, akhir April 2009.

Leave a Reply

Bahasa ยป