Melihat Bali dari Dalam

Judul : Bali di Mata Krama Bali
Pengarang : Tri Arya Dhyana K
Tebal : i-viii + 150 halaman
Penerbit : Panakom Publishing, 2009
Peresensi : I Nyoman Tingkat

Beranda

MAKIN banyak orang Bali menulis buku tentang Bali tentu makin baik karena hal itu menunjukkan bahwa orang Bali pun bisa menulis dirinya sendiri. Jika sebelumnya referensi tentang Bali banyak ditemukan melalui buku-buku yang ditulis orang asing yang sebagai pelancong, kini hal itu sudah mendapat tandingan sekaligus sandingan.

Untuk menyebut sejumlah nama orang Bali yang menulis tentang Bali antara lain Putu Wijaya, Fajar Arcana, Darma Putra, Aryantha Soetama, dan Tri Aryana Dhyana K. Para penulis itu berlatar akademik yang berbeda, tetapi menulis dengan objek yang sama: Bali. Sudah dapat dipastikan dari mereka akan lahir pandangan yang berbeda tentang Bali sesuai dengan perspektif dan latar belakang keilmuannya.

Perspektif Ekonomi

Jika mencermati latar akademik Tri Arya Dhyana K yang Sarjana Ekonomi, sudah dapat dibayangkan bahwa bukunya juga melihat Balu dari perspektif ekonomi. Bagaimana persoalan ekonomi Bali di tengah budaya materialistik hedonistik, bagaimana manusia Bali menyikapi pariwisata dari sudut ekonomi — bagaimana dampak Pesta Kesenian Bali terhadap perekonomian Bali, bagaimana prospek perekonomian di tengah membludaknya pendatang, bagaimana solusi menghadapi persoalan ekonomi Bali.

Sejumlah pertanyaan itu dapat ditemukan jawabannya dalam buku ini. Buku yang berisi 20 opini tentang Bali ini, diawali dengan judul “Kemiskinan di Balik Kemewahan Pariwisata Bali” dan diakhiri dengan “Merancang Masa Depan Bali Minus Eksploitasi”. Dari sini sesungguhnya implisit gagasan Tri Aryana Dhyana K. untuk membeberkan persoalan yang membelit Bali sekaligus mencari solusi untuk mengatasi persoalan.

Gagasan demikian hampir merata dalam semua opini dalam buku ini. Hal itu menunjukkan penulisnya, bukan sekadar melontarkan kritik sebagai otokritik, melainkan juga menawarkan solusi bagaimana mestinya pulau ini diselamatkan dari berbagai persoalan. Otokritik yang dilakukan oleh Tri Arya Dhyana K dalam buku ini misalnya berkaitan dengan sektor pertanian yang makin ditinggalkan, pemasaran yang menjadi kendala petani, investor yang hanya memikirkan keuntungan ekonomi dalam investasi, pariwisata yang dominan menguntungkan investor luar Bali, kurangnya kemampuan daya saing SDM Bali, eksploitasi Bali atas nama recovery Bali pascatragedi Bom Kuta, 12 Oktober 2002.

Kritik-kritik itu tidak dibiarkan berserakan dalam buku ini, tetapi dianalisis lalu diberikan solusi oleh penulisnya. Solusi yang ditawarkan pun realistis. Untuk mengatasi kemiskinan misalnya, penulis menyodorkan strategi pembangunan yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar melalui perencanaan yang matang. Di bidang investasi, Tri Arya Dhyana K mengajak investor untuk mempertimbangkan aspek sosial dan budaya serta kelestarian alam lingkungan Bali sehingga investasi bersinergi secara mutualistik.

Terhadap permasalahan ekonomi yang dialami Bali, ia juga mengajak krama Bali untuk tidak saling menyalahkan, tetapi lebih mengajaknya untuk introspeksi, sebab akar masalahnya kita semua mempunyai andil (hal.24). Kita yang dimaksud tentu juga termasuk krama Bali sendiri. Dengan berbagai solusi itu, Tri Arya Dhyana K mengajak krama Bali untuk selalu ngeh dengan berbagai perubahan yang begitu cepat dan tak mungkin dihindarkan.

Fase Kehidupan

Sebagai pulau yang menjadi objek wisata internasional, perubahan yang dialami Bali di mata penulis buku ini, tak ubahnya siklus fase kehidupan seorang manusia (hal.13). Siklus itu dimulai dengan fase lahir dengan analogi Bali tempo doeloe yang masih alami, asri, dan baru. Sebagaimana layaknya menimang bayi, pada fase ini, si kecil selalu disayang, dipuja, dan dipuji yang kelak bisa dijadikan daerah tujuan wisata dunia.

Fase berikutnya, menjadi remaja yang cantik rupawan sehingga Bali tak ubahnya bidadari cantik yang menjadi rebutan sebagai analogi masa booming pariwisata sekitar dekade 1990-an. Namun, pada fase ini, kerupawanan membuat si remaja mabuk (surupa) dengan meminggirkan sektor dasar leluhur kita, yaitu pertanian sehingga tertutup oleh gemerlap industri pariwisata. Fase selanjutnya adalah menjadi manusia tua yang kecantikannya mulai memudar, kulitnya telah keriput, banyak flek bahkan terkena cacar air yang meninggalkan cacat di mukanya.

Analogi yang dipaparkan oleh Tri Arya Dhyana K dalam buku ini amat menarik dan segar untuk menggambar wajah Bali kini. Dengan teknik itu, penulis buku yang kini menjabat Kasi Pengkajian, Peningkatan Mutu, dan Pendidikan Tinggi pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali ini, telah memberikan warna baru bagi upaya melakukan pendekatan pembangunan Bali demi terwujudnya Bali Mandara sesuai dengan visi Gubernur Made Mangku Pastika.

Dengan bercermin pada dunia pendidikan berkearifan lokal, analogi itu pun bisa dipakai untuk mencari solusi terhadap persoalan Bali yang kian kompleks. Dengan analogi Bali sudah mengalami proses penuaan, maka strategi pembangunan yang bisa dilakukan bukan lagi memuji apa lagi bernostalgia terhadap kerupawanan masa remaja yang telah hilang, melainkan selalu introspeksi terhadap masa lalu untuk selalu tegar dalam rangka menatap masa depan memuja Bali jagadhita.

Jalan ke arah introspeksi itu sangat jelas dalam buku ini. Oleh karena itu, buku ini sepatutnya menjadi bacaan wajib bagi krama Bali dan siapa saja yang peduli Bali, entah pelancong, pemerhati, peneliti, dan para ilmuwan.

Khusus bagi manusia Bali, kini saatnya krama Bali melihat Bali dari perspektif Bali. Tidak hanya melihat Bali dari perspektif luar, dengan melihatnya dari permukaan sebagaimana pelancong memotret sebuah objek dengan citra permukaan. Namun, dengan buku ini, krama Bali dapat melihat Bali dari kedalaman analisis orang dalam. Ibarat oleh-oleh, inilah buah tangan dari Bali, oleh Bali, untuk Bali.

Leave a Reply

Bahasa ยป