Membongkar Injil-injil Rahasia

Peresensi: Ahmad Musthofa Haroen
Judul: Menguak Injil-injil Rahasia
Penulis: Deshi Ramadhani, SJ
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: xvi+208 halaman
suaramerdeka.com

AGAMA sering dipahami sebagai sesuatu yang terberi (given). Ada asumsi sederhana yang berkembang dan kemudian diyakini bahwa agama adalah sebuah paket keimanan praktis yang taken for granted alias siap saji. Akibatnya, kitab suci sebagai sumber juga disakralkan melalui pola yang kurang lebih sama. Tak semua orang punya cukup waktu, minat dan kemampuan untuk menelisik lebih dalam asal-usul kitab suci mereka.

Tak ada yang salah dengan pemahaman demikian. Hanya saja, sebagaimana kontroversi novel The Da Vinci Code tempo hari, kegemparan akan segera terjadi begitu khalayak dikejutkan dengan versi-versi lain yang tak lazim dari arus utama aliran keagamaan mereka. Orang begitu mudah terbakar jenggotnya ketika mainstream yang mereka anut coba digoyang oleh aksi-aksi yang menentang kemapanan.

Ini adalah soal pelik yang menimpa hampir seluruh agama-agama besar. Alquran dalam bentuk kitab yang dijilid dengan dua sampul (ma bayna daftayn) dan kodifikasi yang rapi sebenarnya belum terbayangkan pada zaman ketika Nabi Muhammad masih hidup. Saat itu, Alquran lebih banyak dihapalkan atau ditulis secara berserakan di kulit unta atau pelepah kurma. Baru pada masa khalifah Usman Bin Affan, para penghapal utama berkumpul dalam sebuah tim untuk membuat sebuah mushaf Alquran yang tertata rapi dan terstruktur.

Kanon kitab suci orang Yahudi (juga disebut Kitab Suci Ibrani) bahkan baru final pada penghujung abad I Masehi. Waktu itu, beberapa saat setelah Yerusalem jatuh pada 70 M, didirikan sekolah rabinik Beth ha-midrash dan rumah pengadilan Beth-Din di Jamnia (selatan Joppa). Di dua tempat itulah para pemimpin Yahudi menyelesaikan kanon kitab suci mereka. Makan waktu yang lama untuk memperdebatkan wibawa kitab-kitab Pengkhotbah, Ester, hingga Kidung Agung untuk kemudian bersepakat menyatukan pemahaman demi melahirkan kitab suci yang terkenal dengan nama Kanon Palestina itu.

Tersembunyi

Dalam Kristen, teks-teks yang termaktub dalam Perjanjian Baru juga harus melewati serangkaian proses seleksi yang ketat dan panjang. Butuh waktu kira-kira empat hingga lima abad untuk mencapai pemahaman yang bisa disepakati bersama oleh otoritas-otoritas gereja. Proses seleksi yang sangat ketat ini begitu menarik untuk dikaji. Memang, sebagian orang bisa terkejut untuk menghadapi kenyataan ada keterlibatan manusia dalam penyusunan sabda Tuhan ini. Namun, dengan perspektif yang arif, kedangkalan beragama bisa dihindari dan, ujung-ujungnya, tiap kegemparan seperti kontroversi Da Vinci Code bisa ditangkal.

Pada tahun 1945, secara tidak sengaja, seorang Mesir bernama Muhammad Ali Al-Samman bersama saudara-saudaranya pergi ke Jabal Tarif. Ketika sedang menggali di daerah bernama Nag Hammadi, mereka menemukan sebuah guci tua sepanjang satu meter yang berisi tiga belas jilid dan buku dari papirus yang berbungkus kulit. Ringkas cerita, manuskrip-manuskrip kuno itu kemudian sampai ke pasar gelap Kairo. Pemerintah setempat kemudian menyita sebagaian besar manuskrip dan menyimpannya di Museum Kopt. Sebagian lagi diselundupkan ke luar negeri hingga sampai ke tangan Prof Gilles Quispel, seorang ahli dari Belanda. Sang profesor terhenyak dan segera menyadari bahwa yang ia baca adalah Injil Thomas dalam bahasa Kopt. Ia juga mendapati sebuah teks yang disebut sebagai Injil Filipus.

Kisah tersebut mewakili kisah-kisah lain yang serupa. Lantas, terbit pertanyaan di benak kita, mengapa teks-teks itu begitu penting untuk disembunyikan sedemikian rupa? Agaknya penting diingat kembali bahwa sejak pertengahan abad kedua, berbagai ajaran tandingan muncul melawan ortodoksi atau ajaran resmi yang sudah disepakati bersama di wilayah kristianitas saat itu (Philip Jenkins, 2001). Dalam konteks seperti inilah, gereja kemudian merasa perlu menyita banyak tulisan yang dinilai sesat. Banyak manuskrip yang dirampas untuk dilenyapkan. Hal ini tentu saja mendorong disembunyikannya manuskrip-manuskrip yang tidak termasuk daftar atau kanon.

Ya, persoalan utama sesungguhnya bertumpu pada logika penyusunan kanon itu sendiri. Istilah kanon yang juga bermakna daftar membagi secara bikameral dua jenis teks: kanonik dan non-kanonik. Gereja menyusun daftar teks-teks resmi dan itulah yang disebut kanonik. Maka, semua teks lain yang tersortir dari dalam daftar menjadi non-kanonik. Jadi secara fenomenologis, yang disebut kitab suci sesungguhnya adalah nama lain dari daftar teks yang disusun oleh otoritas gereja resmi.

Buku ini berusaha menyoroti jenis teks kedua: non-kanonik. Pada dasarnya, teks-teks non-kanonik bersinonim dengan terma apokrif yakni tersembunyi, disembunyikan atau rahasia. Sejumlah teks tertentu memperlihatkan kecenderungan rahasia (confidential) sebab tak dimaksudkan untuk dibaca kalangan luas.

Sebagaimana diketahui, empat injil kanonik tidak banyak memberi informasi tentang masa kecil Yesus. Informasi tersebut justru lebih banyak diinformasikan oleh teks-teks apokrif semisal Proto-Injil Yakobus, Injil Tomas, Injil Pesudo-Matius dan beberapa manuskrip terpisah dalam bahasa Latin dan Armenia. Bahkan, pada masa berkarya, tidak semua ucapan dan tindakan Yesus direkam seluruhnya dalam empat injil Kanonik. Teks teks semacam Injil Filipus, Injil Maria (Magdalena), Injil Rahasia Markus, Injil Yudas, dan manuskrip-manuskrip terpisah lain melengkapi kisah-kisah dalam periode itu. Sebagian bahan dari teks-teks apokrif tersebut sejalan dengan empat injil Kanonik. Namun, beberapa bagian memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Selain itu, ada pula manuskrip-manuskrip lain yang membicarakan soal kematian dan kebangkitan yang tidak selalu seirama dengan empat injil kanonik seperti teks Pertanyaan-pertanyaan Bartolomeus, Injil Nikodemus, Injil Petrus, Injil Orang Ibrani, Tulisan Rahasia Yakobus, dan lain-lain.

Jika dihitung secara kasar, jumlah teks-teks apokrif jauh lebih banyak daripada yang kanonik. Tentu soal jumlah tidak menjadi ukuran legitimasi. Jantung permasalahan kanonik dan non-kanonik terletak pada perbadaan pendapat mengenai diterima atau tidaknya Gnostisisme dalam pewahyuan. Gnostisisme merupakan keyakinan bahwa ada beberapa orang terpilih yang khusus dianugerahi kemampuan tertentu untuk menerima wahyu secara pribadi.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *