Memotret Jakarta dari Jalanan

Kusti’ah Tanjung*
http://www.jawapos.com/

Dua turis lokal dari Jakarta di Ubud, Bali, celingukan ke kiri-kanan mencari hotel dengan pemandangan sawah. Tapi, tak satu pun hotel mereka temukan. Terpampang di hadapan mereka papan nama Partana Guest House, Arjuna Bungalow, Gusti Home Stay, Wayan’s Guest House, Suweta Bungalow, Rama Bungalow, dan sejenisnya. Tokoh Benny menggerutu, ”Daerah wisata kok nggak ada hotelnya.”

Padahal, sejumlah penginapan tidak menyebut nama sebagai hotel, tapi bungalow, guest house, dan home stay yang dengan jelas menyebut ada fasilitas hot water and fun dan rice field view. Keduanya sok tahu tentang wisata, tapi tidak mengerti bahwa penginapan tidak hanya hotel, tapi juga bungalow, guest house, dan home stay.

Adegan konyol dan lucu di atas adalah cara bercerita Benny Rachmadi dan Muhammad ”Mice” Misrad dengan menggunakan tokoh Benny & Mice dalam kartun-kartunnya. Dengan membaca satu lembar kartunnya, kita akan mudah mengerti cara keduanya menertawakan sikap-sikap sok tahu, sok kota, percaya diri berlebihan, tinggi hati, sok pintar, dan sok-sok lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat kita, terutama kaum urban.

Berbekal teknik drawing yang baik dan daya imajinasi humor yang tinggi, mereka bisa memotret kehidupan dari kelas bawah sampai atas dari jarak dekat. Secara umum, keduanya memotret perebutan ruang di sebuah tata kota yang semrawut untuk kepentingan sendiri-sendiri. Dari ruang bisa berlaku hukum yang berbeda. Satu kartun menampilkan dua adegan makan minum yang sama di kafe yang berbeda, satunya di Legian Bali, dan satunya lagi di Senayan Jakarta. Beberapa turis kulit putih laki-laki bertelanjang dada dan yang perempuan hanya mengenakan bra dan celana minimalis. Di Legian, kostum mereka tidak menjadi masalah, di Jakarta seorang pelayan kafe memanggil petugas security untuk mengusir mereka.

Kartun-kartun kocak itu tampak pada pameran Kartun Benny & Mice Expo di Bentara Budaya Jakarta, pertengahan Maret lalu. Pameran besar tersebut memajang karya-karya duo kartunis populer era sekarang, Benny Rachmadi dan Muhammad ”Mice” Misrad. Keduanya memamerkan semua karyanya yang dibuat pada periode 1997-2010 yang pernah dipublikasikan dalam bentuk buku dan terbitan media massa: Kompas (Benny & Mice), Kontan (Benny), dan Surabaya Post (Mice). Pameran itu juga akan diselenggarakan di Balai Soedjatmoko Solo (21-30 Maret 2010), Bentara Budaya Jogjakarta (6-15 April 2010), CCCL (Pusat Kebudayaan Prancis) Surabaya (6-12 Mei 2010), dan Bentara Budaya Bali (20-29 Mei 2010). Karya-karya mereka direproduksi lagi dalam ukuran yang pantas untuk dipajang di dinding pameran.

Benny dan Mice, lulusan Desain Grafis Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta 1993, itu mengajak penonton untuk menyaksikan coreng-moreng kehidupan urban kita dengan tanpa menggurui. Mengkritik, tapi melahirkan senyum.

Selain dipenuhi kartun, di ruang pameran dihadirkan beberapa instalasi untuk menggambarkan keurbanan Jakarta. Bajaj, kios permen kaki lima, halte bus, tempat cucian dan jemuran pakaian di tepi kali atau kolong jembatan, konter handphone, dan dupa (khusus untuk seri Lost In Bali). Pameran tersebut hendak menunjukkan bahwa sebuah rangkaian kartun yang tadinya diterbitkan pada waktu yang berbeda bila dijejer di sebuah ruang pameran bisa melahirkan banyak cerita yang bisa dirangkai sesuai dengan pengalaman dan referensi yang menontonnya. Isinya menyangkut persoalan sosial, politik, dan budaya di Jakarta.

Kota Jakarta tidak hanya memperlihatkan wajah kota yang modern, tapi juga nalar kampungan yang belum bisa beradaptasi dengan perubahan yang cepat. Penggambaran cerita dengan hiperbolik memudahkan penonton mereferensikannya dalam realitas sosial. Kurator pameran Efix Mulyadi mengatakan, potret kartun Benny & Mice adalah bentuk kegagapan kita dalam menghadapi perubahan di tengah masyarakat yang cepat dan membingungkan. ”Benny & Mice menyimpan rasa prihatin dan simpati dalam bingkai humor dan isi yang kritis,” ujarnya.

Rentang pameran karya lebih dari satu dekade itu menggambarkan dengan baik evolusi pemaknaan ruang di sebuah kota besar bernama Jakarta. Semasa Pemilu 1999, misalnya, Benny menggambarkan Bundaran Hotel Indonesia (HI) sebagai kawasan yang wajib dikuasai peserta kampanye. Peserta kampanye dari partai politik tidak hanya digambarkan berkerumun dengan naik bus di bundaran tersebut, tapi juga beberapa orang naik dengan tali menuju puncak tugu yang berada di tengah air mancur.

Mice pada 2009 mengambarkan narsisme berlebihan dan kejelian menangkap momen seorang politikus yang menggunakan semua hari-hari besar keagamaan dengan memasang ucapan selamat dalam bentuk spanduk. Tentu saja spanduk juga ditempeli foto sang calon anggota legislatif. Ruang-ruang kota tetap menjadi medan perebutan bukan hanya pemodal dan negara, tapi juga antarpolitikus untuk memasang spanduknya agar tambah dikenal dan populer. Di kartun lainnya, bagi calon legislatifnya sendiri yang setelah jadi bukan memikirkan rakyat yang diwakilinya. Tugas pertamanya adalah mengembalikan ”taruhan” dalam kampanye yang sudah habis ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Kisah lainnya adalah menampilkan tabrakan logika ilmiah-modern dengan klenik. Saat terjadi pencurian uang lewat kartu ATM, Benny mengantar seorang dukun membawa dupa di depan mesin ATM untuk mengusir babi ngepet di mesin ATM. Katanya, uang kami sering hilang secara misterius. Sungguh sebuah solusi yang layak mengundang tawa. Juga tren di kalangan remaja dan artis menggunakan kawat gigi, di kartun kita mendapati sang tokoh menggunakan kawat ”beneran”. Kawat itu pun berebut ruang tidak hanya untuk dipasang di atas tembok pagar rumah atau penghalau demonstrasi, tapi juga menelusup di balik mulut.

Di seri 100 ”Tokoh” yang Mewarnai Jakarta perebutan ruang kota semakin sengit terjadi antartokoh yang digambarkan Benny & Mice. Mereka bukan tokoh besar, tapi ”para tokoh” sehari-hari: pekerja seks komersial, pedagang kerak telor, banci Taman Lawang, seniman jalanan, babysitter, sopir bajaj, dan orang-orang kecil lainnya yang dengan mudah kita temukan di setiap sudut Jakarta. Jika pengusaha berebut ruang untuk memasang iklan bisnisnya, ”para tokoh” Jakarta berebut ruang untuk mencari uang recehan yang terkadang tidak cukup untuk membeli makan dan minum sehari-hari dan sewa kamar kos.

Di luar ruang pameran, kartun-kartun yang menyuarakan pemanasan global dilukiskan dekat dengan kehidupan sehari-hari, tapi dengan nada satir. Sindirannya terhadap perilaku kaum urban yang boros listrik ditampilkan gambar Mice di mana ruang keluarganya berisi tiga televisi, dua DVD player, dua kipas angin, dan satu mesin AC, tape, dan Mice bingung dengan tiga remot control di tangannya. Ini toko elektronik atau rumah?

Kekurangan pameran tersebut, terutama kartun yang berbau momentum, adalah hanya beberapa kartun yang menyertakan waktu pembuatannya. Selebihnya, waktu pembuatan tidak tercantum sehingga penonton harus mengira-ngira sendiri konteks lahirnya sebuah kartun. Bisa jadi, itu tidak penting bagi kartunisnya, tapi penonton yang awam bisa berpandangan bahwa penanda waktu adalah cara mudah untuk merujuknya kepada konteks sosialnya. Selain yang berbau momentum, kartun-kartunya bisa jadi selalu relevan sepanjang musim.

*) Pekerja media tinggal di Jakarta.

Leave a Reply

Bahasa ยป