Menginterogasi Nietzsche

Binhad Nurrohmat*
http://www.jawapos.com/

SIAPA Nietzsche? Filsuf Jerman ini -menurut filsuf Inggris Bertrand Russell- lebih merupakan sastrawan ketimbang filsuf akademik. Gaya penulisan karya filsafatnya bergaya literer dan kerap berbentuk aforisme, bahkan puisi.

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken, Prussia, 15 Oktober 1844. Orang tua dan kakeknya penganut Lutheran. Sejak remaja dia menggemari karya pujangga Johan Wolfgang Goethe (1749-1832), musikus Richard Wagner (1813-1883), dan filsuf Arthur Schopenhauer (1788-1860). Karya para tokoh besar kebudayaan Jerman itu memberikan pengaruh besar dan penting bagi pemikiran Nietzsche.

Nietzsche belajar filologi dan teologi di Universitas Bonn, kemudian pindah ke Universitas Leipzig khusus untuk studi filologi. Dia menjadi bintang filologi di kampusnya. Selama sepuluh tahun dia mengajar di Universitas Basel. Profesor filologi Yunani klasik dan Latin itu terpaksa pensiun lantaran kesehatannya buruk. Dia bergulat menghadapi penyakitnya dengan mengembara dari kota ke kota di Jerman, Italia, dan Swiss untuk mencari cuaca yang bagus bagi kesehatannya. Dalam pengembaraan itu, dia menggarap karya-karya utama filsafatnya.

Nietzsche meninggal di Weimar pada 25 Agustus 1900. Secara biologis, Nietzsche sudah mati. Tapi secara filosofis, pemikirannya masih eksis.

***

Apa pemikiran filsafat Nietzsche?

Nietzsche kondang, antara lain, lantaran pernyataannya ”Tuhan sudah mati” maupun konsep nihilisme dan Kehendak untuk Kuasa. Filsuf fenomenologi Eugen Fink menilai Nietzsche sebagai fenomenolog pertama dan filsuf posmodernis Jacques Derrida mendaulatnya sebagai inspirator filsafat posmodernisme.

Nietzsche mengagumi para filsuf Yunani klasik (pra-socratik) dan kebudayaan zaman itu. ”Metode” filsafat Nietzsche berbeda dengan tradisi filsafat Barat. Tulisannya melawan sistem filsafat (baginya sistem adalah penjara), bergaya aforistik yang contoh utamanya adalah buku Als Sprach Zarathustra (Demikian Petuah Zarathustra) dan kental watak kontradiksinya (yang terilhami pandangan dunia Herakletian).

Filsafat Nietzsche ”mendiagnosis” kebudayaan Barat yang menurutnya dekaden (merosot) sejak masa Socrates dan berlanjut sampai ke kebudayaan Barat pada masa hidup Nietzsche. Socrates dinilai menularkan tradisi rasio yang berperan paling utama untuk memahami dunia. Nietzsche mengkritik peran rasio semacam itu.

Menurut Nietzsche, rasio yang diagungkan kebudayaan Barat membuat dunia ditatap berat sebelah karena membuat dunia tak diterima apa adanya. Rasio tidak menemukan dunia apa adanya, namun menaklukan dunia sesuai dengan kehendak manusia, sesuai isi kepala manusia belaka. Rasio tak utuh memandang dunia, bahkan juga mengelirukannya.

Rasio meringkus dunia melalui bahasa, konsep, atau ide sesuai kehendak manusia, dan bukan menerima kehadiran dunia apa adanya. Bagi Nietzsche, dunia adalah bauran segalanya (baik-buruk, benar-salah, jahat-baik) dan terus berubah. Menurut Nietzsche, dunia adalah chaos (bauran kenyataan-kenyataan) yang menurutnya diterima saja apa adanya. Amor fati (cintailah nasib), katanya.

Menurut Nietzsche, manusia adalah Kehendak untuk Kuasa (der Wille zur Macht). Maka, dunia dan kebenaran adalah sesuai yang dikehendaki manusia. Rasio menyeleksi dunia sesuai yang dikehendaki manusia, dikuasai seturut kehendak manusia, dan manusia memilah-milah dunia ke dalam kategori moral (baik-buruk, benar-salah). Bagi dia, yang terpenting adalah kuat-lemah manusia menghadapi dunia yang chaos itu.

Nietzsche menolak kebenaran yang melawan sifat alam yang terus berubah. Segalanya terus berubah (intuisi ini dijumput dari filsuf pra-socratik Heraklitus). Mendogmakan kebenaran adalah melawan kenyataan, melawan alam. Mendogmakan kebenaran berarti memberhalakan kebenaran. Kebenaran tak pernah fixed, terus bergerak, dan perspektivis. Tak ada kebenaran, melainkan kebenaran-kebenaran.

Nietzsche melancarkan Penilaian Ulang Nilai-Nilai (Umwerthung aller Werte) untuk melawan rezim atau dogma nilai-nilai yang melatari dekadensi kebudayaan Barat yang melahirkan manusia lemah, manusia bermoral budak, bukan manusia bermoral tuan.

Pemikiran filsafat Nietzsche mengguncang filsafat dan kebudayaan Barat pada akhir abad ke-19 dan menggelorakan kabar dekadensi filsafat dan kebudayaan Barat. Menurut dia, tak ada manusia-manusia agung yang lahir dalam kebudayaan Barat yang dekaden itu. Dia mengangankan kebudayaan Yunani klasik (pra-socratik) yang memandang dunia apa adanya, menciptakan kebudayaan ascenden (meninggi), dan melahirkan manusia-manusia agung.

Nietzsche menciptakan sosok ideal untuk menghadapi senjakala kebudayaan Barat itu: ubermensch (uber: melampaui; mensch: manusia), yaitu makhluk yang melampaui (bukan menolak) tata moral baku (baik-buruk, benar-salah). Watak ubermensch mencipta moral baru, melampaui moral umum. Ubermensch adalah sang pelampau. Bagi dia, manusia berada di antara satwa dan ubermensch.

Pemikiran-pemikiran Nietzsche bergaung jauh hingga ke masa sesudah masa hidupnya. Gerakan filsafat fenomenologi dan posmodernisme yang berderap sejak awal abad ke-20 hingga kini mengakui telah menimba banyak ilham dari pemikiran Nietzsche dan mengelaborasinya. Contohnya, Martin Heidegger, Jacques Derrida, Michel Faucoult, Gilles Deleuze, dan Jacques Lacan. Ini sebagian bukti kebesaran dan daya pengaruh pemikiran Nietzsche bagi pemikiran filsafat sesudahnya.

***

Penulis buku ini mencurigai pemikiran-pemikiran Nietzsche dan menginterogasinya dengan mencecarkan pertanyaan-pertanyaan dan sekaligus memberikan penyimpulan-penyimpulan bagi -menurut Akhmad Santosa-ketidakkonsistenan pemikiran Nietzsche.

Penyimpulan-penyimpulan Akhmad Santosa itu sering berbeda dan bahkan berlawanan dengan pendapat para komentator Nietzsche dari dalam dan luar negeri maupun dengan (teks) Nietzsche sendiri. Contoh, Akhmad Santosa menafsirkan pernyataan ”Tuhan sudah mati” adalah ramalan Nietzsche. Pernyataan terkenal itu pertama muncul dalam buku Nietzsche Die Frohliche Wissenschaft (Pengetahuan yang Riang), terbit 1882. Konteks pernyataan itu sudah jelas dalam buku itu: bukan ramalan.

Pemikiran Nietzsche tentang ”kematian Tuhan” menggemparkan karena menusuk jantung kebudayaan Barat ketika itu yang lekat dengan tradisi religius Kristen. Pernyataan Nietzsche bukan sensasi belaka. Tuhan, bagi Nietzsche, merupakan konsep yang dibuat manusia untuk mendapat kepastian dalam hidup yang sarat ketidakpastian. Konsep itu membuat manusia ”tak menghargai kehidupan” karena memandang ada dunia lain, “dunia di seberang sana” (Hinterwelt), yang lebih sejati dan lebih mulia seperti surga, akhirat, dunia idea, dan yang sejenisnya. Konsep tersebut membuat manusia bersandar pada sesuatu ”di luar dirinya” sehingga melembekkan potensi ”manusia kuat”.

Selain itu, Akhmad Santosa sering mengacu buku Will to Power untuk menilai konsistensi pemikiran Nietzsche. Padahal, buku atas nama Nietzsche itu -terbit setelah dia meninggal-berdasar catatan-catatan Nietzsche yang disusun dan ditambahi teks di sana-sini oleh saudari Nietzsche sehingga karya itu tak bisa disebut sebagai karya Nietzsche lagi.

Buku ini merupakan kejemawaan yang mengagumkan meski belum dari segi mutu kritik yang dihasilkannya. Sebagai rangsangan, buku ini perlu diapresiasi dan ditanggapi melalui kritik-teks seperti upaya oleh A. Setyo Wibowo di bagian akhir buku ini. Kritik-teks bukanlah hantam-cerca atau tafsir tanpa dasar yang jelas. Kritik-teks merupakan tinjauan kritis terhadap teks, bukan mendesak-paksakan pemikiran sendiri kepada teks orang lain.

Buku Akhmad Santosa ini merupakan contoh langka dalam hal keberanian ”mengkritik” filsafat Barat yang memang belum menjadi tradisi publik filsafat di Indonesia. (*)

Judul: Nietzsche Sudah Mati
Penulis: Akhmad Santosa
Penerbit: Kanisius, Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: 284 halaman
*) Penyair, civitas academica Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *