Alwi Shahab
http://www.republika.co.id/
Jangka waktu penguasaan Fatahillah atas Jakarta memang tidak lama (1527-1610), namun telah berhasil mengubah masyarakat Jakarta menjadi masyarakat Muslim. Salah satu peninggalan kekuasaannya atas Jakarta antara lain berupa adanya kawasan yang dihuni masyarakat Muslim yang kita kenal dengan nama Jatinegara Kaum yang ada sejak masa Pangeran Jayakarta.
Tempat tersebut terletak di Pulogadung, Jakarta Timur. Di tempat tersebut terdapat sebuah perkampungan yang hingga kini menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulan antar penduduknya. Di sana juga terdapat sebuah pemakaman yang oleh penduduk diyakini sebagai makam keturunan Pangeran Jayakarta yang melarikan diri setelah tidak mampu melawan VOC.
Menurut Prof Dr Muhajir, ahli sejarah dari UI yang banyak menulis tentang sejarah Jakarta, Fatahillah dan keturunannya berhasil membina masyarakat Betawi di Jayakarta menjadi masyarakat Islami. Betapa meresapnya ajaran Islam pada masyarakat Jayakarta yang dibinanya. Hal ini dapat kita lihat bahwa masyarakat Betawi sekarang, yang sebagian berasal dari pendatang dengan berbagai penganut agama, ternyata sampai sekarang menjadi Muslim.
Peninggalan-peninggalan bersejarah lain yang merupakan perwujudan keislaman masyarakat Betawi antara lain berupa masjid-masjid tua yang hingga sekarang masih berdiri tegak. Termasuk Masjid As-Salafiyah, yang diyakini didirikan oleh Pangeran Ahmad Jakerta saat dia dan para pengikutnya diusir oleh VOC ketika menaklukkan kratonnya di sekitar bandar Sunda Kalapa.
Sampai tahun 1940-an, masyarakat Betawi lebih memilih putra-putrinya bersekolah di madrasah karena khawatir sekolah yang didirikan pemerintah kolonial melakukan kristenisasi.
Meski tidak pandai membaca huruf Latin, sebagian besar masyarakat Betawi pandai tulis dan baca huruf Arab. Sampai-sampai, pada mata uang Belanda terdapat tulisan dalam bahasa Arab-Melayu atau huruf Jawi yang memperingatkan mereka yang memalsukan akan dihukum berat.
Di Jakarta, menurut Prof Dr Muhadjir, pada saat sastra cetak dengan huruf Latin belum menguasai dunia sastra, terdapat sejumlah naskah tulis tangan dengan bahasa Arab. Baik berupa karya asli, terjemahan maupun saduran dari berbagai karya sastra yang tersebar di Indonesia saat itu.
Di daerah-daerah, seperti Kerukut, Pecenongan, Kampung Sawah, Jembatan Lima, Peluit, Tambora, Sawah Besar, Kampung Sawah, Jembatan Lima, dan Tanah Abang, banyak tempat persewaan buku (taman bacaan) yang menyediakan naskah-naskah tulisan tangan Arab-Melayu untuk umum. Kebanyakan para pemilik naskah kaum wanita, biasanya janda, yang mengandalkan penghasilannya dari menyewakan naskah-naskahnya (T Iskandar).
Pada umumnya naskah tersebut tidak dibaca sendiri, melainkan dibacakan keras-keras oleh seseorang di hadapan publiknya. Kebiasaan ini juga merupakan kebiasaan di tempat lain. Menurut Bunga Rampai Sastra Betawi yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Permuseuman Pemproov DKI, publik yang termasuk menikmati pembacaan naskah terbagi atas tiga kelompok: penduduk asli yang tinggal di kampung itu, keturunan Indo dan Cina.
Menurut penelitian C Salmon yang banyak mengungkap sastra Tionghoa, penduduk keturunan Cina pada akhir abad ke-19 banyak yang masih dapat membaca dan menulis huruf Arab-Melayu. Akan tetapi juga jelas bahwa dari akhir abad ke-19 dan selanjutnya, huruf Latin cenderung menggantikan huruf Arab dan banyak Cina peranakan yang tidak dapat lagi membaca huruf Arab-Melayu.
Sebuah contoh adalah Hikayat Sultan Ibrahim, edisi Arab-Melayu. Hikayat tersebut sangat populer, tetapi banyak orang Cina minta hikayat itu dibacakan, karena mereka tidak dapat memahami huruf Arabnya. Lalu pada tahun 1891 hikayat tersebut diterbitkan dalam huruf Latin. Dalam buku itu diumumkan pula bahwa sebuah cerita lain, yaitu Hikayat Amir Hamzah, akan terbit pula dalam bahasa Latin. Supaya, “moedah toewan-toewan bangsa Olanda dan Tjina yang koerang paham atgas hoeroef Arab itoe toeroet membatja.”
Usaha penyalinan naskah ke bahasa Latin dilakukan dalam masa pemerintahan Gubernur Jenderal van der Capellen di Batavia, dengan mendirikan sebuah badan yang dinamakan Algemeene Secxretarie. Tugas badan itu melakukan penyalinan naskah-naskah bagi para pejabat pemerintah Hindia Belanda untuk keperluan mempelajari bahasa Melayu.
Di atas disebutkan bahwa tempat-tempat perpustakaan rakyat cukup banyak jumlahnya. Namun, naskah karya sastra yang dapat diindentifikasi oleh para penelaah sastra naskah Betawi belum banyak. Juga baru ada tiga penelaah yang serius, di antaranya Muhammad Bakir yang aktif menyalin dan mengarang sejak 1884 sampai 1906. Dia adalah putra Betawi dari Pecenongan, Jakarta Pusat.
Selama masa aktifnya itu sekurang-kurangnya terdapat 60 judul naskahnya. Dan bila ditambahkan naskah-naskah yang disimpan di Leiden dan Leningrad mencapai 76 naskah yang dimililiki keluarga Fadli, termasuk saudara-saudara Bakir.