I Wayan Seriyoga Parta *
balipost.com
PERKEMBANGAN seni rupa kini atau yang lebih akrab disebut sebagai kontemporer ditandai dengan meluasnya kembali wilayah dan cakupan bidang seni rupa, setelah sebelumnya dispesialisasikan dan dibuatkan sekat-sekat yang memisahkan antara satu dengan lainnya.
Seperti pemisahan seni murni dan seni terapan, kedua bidang seni rupa ini diletakkan dalam posisi biner dan kerap dipertentangkan secara dikotomis. Seni seni murni antara lain meliputi seni lukis dan patung, pada perkembangan berikutnya juga seni grafis, sementara seni terapan mencangkup desain dan kriya.
Seni modern kemudian tumbuh menjadi sebuah lingkaran institusi, yang di dalamnya terdapat museum sebagai kuilnya, seniman individual-genius-kreatif yang umumnya laki-laki berkulit putih dengan ras barat, ada kritikus dan kurator, serta galeri dan balai lelang, juga kelas menengah atas yang menjadi apresiator untuk karya-karya seni modern. Kesemuanya itu berjalan dengan baik menjadikan seni modern sebagai satu-satunya bentuk kesenian yang universal, melalui kolonialisme kemudian disebarkan dari Eropa menuju Asia, Amerika Latin, Timur Tengah dan bahkan Afrika.
Dikotomi seni murni dan desain ternyata tidak berlangsung lama, ketika muncul arus besar yang disebut post modern, menyangsikan dan bahkan secara radikal mengumandangkan dekonstruksi atas modernisme meratas semua batasan dalam seni rupa sehingga menjadi sama semua, tidak ada lagi perbedaan seni murni dan desain atau dengan kriya. Gerakan ini menjadi sangat kuat karena muncul pada semua lini, dalam kekaryaan tahun 1960-an muncul seni pop yang membawa pengalaman dan citra-citra keseharian dalam ekspresi seni Andy Warhol membuat kaleng sup dalam kanvas dengan teknik cetak saring (sablon), Roy Lichtenstein mengangkat komik menjadi karya seni.
Pada ranah filsafat, gerakan ini menjadi diskursus yang secara terus-menerus dibedah dan dibahas terutama oleh kaum post strukturalis. Secara sederhananya dapat kita temui dalam pengalaman empiris kehidupan sosial budaya sehari-hari, pada kenyataannya entitas kehidupan termasuk seni di dalamnya tidak dapat dengan tegas dipisah-pisahkan, selalu ada wilayah abu-abu. Sebuah kenyataan empiris yang tidak dapat ditolak modernisme.
Kekuatan Kapitalis
Kini, dalam wilayah yang disebut seni kontemporer, sulit bagi kita untuk membuat batasan-batasan antara seni dan desain. Ketika teknologi berkembang begitu pesat kini, banyak seniman berkarya dengan dengan bantuan teknologi fotografi dan komputer. Begitu juga halnya dengan desain kredo “form follow function” sudah tidak lagi menjadi acuan, visual desain kini telah berkembang jauh — fungsi mungkin merupakan aspek yang kesekian dari wujud itu sendiri.
Pada karya-karya seni rupa modern, kontrol atas artistic value sejajar dengan economic valeu, namun dalam seni rupa kontemporer kekuatan kapitalis sangat berperan di dalamnya. Kekuatan pasar begitu besar dalam menopang perkembangan karya-karya seni rupa kontemporer. Sejak tiga tahun belakangan, puluhan balai lelang bertumbuhan di Indonesia, seperti Masterpiece, Borobudur, Heritage, Cempaka, Denindo, dan lain-lain. Melalui balai lelang itulah harga karya-karya seniman muda didongkrak seperti dijelaskan Silvana Silveira dalam tulisan berjudul “Collecting Contemporary Art: A Cultural or Economic Capital?”.
Salah satu yang paling fenomenal adalah Nyoman Masriadi dalam acara lelang di Hongkong pada 2008, harga salah satu karyanya bisa menembus angka penjualan sekitar Rp 6 milyar. Harga yang cukup fantastis melewati seniman senior seperti Affandi, padahal jam terbang Masriadi masih jauh, bahkan masih belum bisa dibandingkan perupa Agus Suwage. Kondisi ini bisa terjadi karena mekanisme pasar dalam perkembangan seni rupa kontemporer ini.
Para apresiator dalam hal ini umumnya dari golongan menengah atas, yang menyadari mengoleksi karya seni rupa adalah sebuah prestise, dan juga telah menjadi bagian dari gaya hidup kaum menengah atas di Indonesia. Dalam tulisan Ilham Koiri pada sebuah koran nasional, wawancaranya dengan narasumber Rachel Ibrahim, pemilik Sigi Arts Gallery di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, mengungkapkan; “Perluasan apresiasi seni itu juga ditandai dengan tumbuhnya kolektor baru dari kalangan profesional muda kota. Bagi mereka, karya seni bukan lagi sekadar gengsi, melainkan kebutuhan gaya hidup yang bisa dinikmati dengan cara masing-masing”.
Bak gayung bersambut, seiring dengan seni sebagai gaya hidup, seni juga menjadi investasi yang tak kalah seperti investasi saham. Su Mei Thompson, “Seni sebagai Investasi”, dalam sebuah majalah seni menguraikan; “Pandangan bahwa karya seni bisa menjadi investasi yang baik, jika dibandingkan dengan saham dan obligasi, didukung oleh makin banyaknya studi akademis, seni bisa dilawankan dengan laba dari saham dan obligasi, dan bahwa karya seni punya korelasi yang sangat lemah dengan pasar ekuisitas, yang berarti bahwa karya seni punya potensi yang amat berguna dan bernilai”.
Komoditi Empuk
Seni rupa khususnya (seni lukis di Indonesia) dalam perkembangan seni kontemporer telah menjadi komoditi yang empuk bagi golongan menengah atas, menjadi sebuah gaya hidup dan sekaligus juga investasi yang baik. Sebuah perkembangan yang begitu massif dan tidak mungkin dalam era seni modern.
Jika seni modern melahirkan gaya/aliran (isme), maka kini dalam seni kontemporer muncul fashion, trend yang tidak berdasarkan sebuah ideologi artistik seperti halnya dalam isme seni rupa modern. Dan sebagaimana halnya sebuah trend, tentunya dapat dengan cepat berubah.
Di Indonesia, tradisi mengoleksi karya seni rupa sejak awal kemerdekaan dimulai oleh presiden Soekarno, seorang teknokrat dan politikus yang memiliki kecintaan yang mendalam terhadap seni. Soekarno adalah presiden yang sangat dekat dengan seniman, ia bahkan membayar dengan mencicil untuk membeli karya Affandi, Hendra Gunawan, Sudjojono dan lainnya. Berkat jasa Soekarno-lah istana negara memiliki koleksi karya seni lukis dari para maestro Indonesia yang bernilai sejarah, diwariskan hingga saat ini.
Pada 1990-an muncul kolektor yang cukup berpengaruh asal Magelang Oei Hong Djien, yang mempunyai koleksi cukup lengkap dan mampu menggerakkan para pengusaha tembakau untuk mulai mengoleksi karya seni rupa terutama karya-karya seni lukis.
Kecenderungan untuk mengoleksi karya seni rupa semakin meningkat pada tahun 2000-an yang ditandai dengan tumbuhnya kolektor-kolektor muda, umumnya mereka adalah para eksekutif muda dari golongan menengah atas yang memiliki basik pendidikan dari luar negeri. Dalam ulasan perihal sepak terjang kolektor muda di Indonesia di sebuah majalah seni, Yusuf Susilo Hartono menguraikan, “dalam praktik mengoleksi seni rupa kontemporer, sekurang-kurangnya terdapat aspek kesenangan adventurer, risiko, kompetisi dan gaya hidup”.
Para kolektor muda inilah yang menopang perkembangan apresiasi karya-karya seni rupa kontemporer, didukung oleh sikap adventurer untuk menemukan dan lebih lanjut nantinya membuktikan bahwa pilihan mereka adalah karya dan seniman yang memiliki perkembangan karir bagus.
Pengoleksian karya seni dalam hal ini merupakan aktivitas konsumsi, seperti dijelaskan Yasraf Amir Piliang dalam buku “Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan”, “konsumsi tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia tertentu, akan tetapi kini berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu”.
Adalah sebuah kepuasan yang tidak saja bersifat materi (karena seiring dengan senimannya harga karya tentunya melonjak naik), namun juga merupakan sebuah kepuasan batin karena telah menemukan sesuatu yang berharga. Motivasi ekonomi berjalan sejajar dengan sebuah prestise yang dijanjikan dalam pengoleksian karya seni rupa, menjadikan para kolektor muda ini makin semangat. Karena “yang dikonsumsi tidak lagi sekadar objek, tetapi juga makna-makna sosial yang tersembunyi di baliknya” seperti ditegaskan oleh Yasraf Amir Piliang.
***
________________
*) Penulis adalah Staf Pengajar di Universitas Negeri Gorontalo, dan kini sedang menyelesaikan studi Magister Seni Rupa di ITB.