Perginya Sang Maestro Topeng Malang

Abdi Purmono
http://www.tempointeraktif.com/

Empat bocah bertopeng menyibak tirai warna merah jambu dan memasuki arena seluas 110 meter persegi. Mereka mewakili empat penjuru angin: timur, selatan, barat, dan utara. Lalu mereka bergerak dengan arah yang cenderung tidak beraturan.

Gerakan kedua kaki terbuka lebar keluar. Kaki kanan agak ke depan dan kaki kiri lebih menumpu berat tubuh. Kaki kanannya terus-menerus menggetarkan genta-genta kecil pada pergelangan kakinya.

Beberapa kali mereka mengganti topeng sesuai dengan peran pada setiap adegan. Tapi dandanan pokok, seperti kain, celana, dan sampur, tidak berubah. Penari hanya berganti topeng dan irah-irahan (hiasan kepala).
Minggu malam lalu, mereka dan 11 bocah penari–dua di antaranya perempuan–menarikan wayang topeng Sayembara Sodolanang atau Sayembara Lidi Jantan di Padepokan Seni Topeng Asmorobangun, yang biasa disebut Padepokan Panji Asmorobangun, di Dusun Kedungmonggo, Desa Karangpandan, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Lakon itu merupakan pertunjukan kedua, setelah kisah Adege Kediri, yang dipentaskan lebih dulu pada 11 Januari lalu.

tari topengKedua lakon itu dipentaskan sebagai bagian dari “Gebyak Topeng Malem Senin Legian 2010”. Semuanya ada sembilan lakon yang dipentaskan sepanjang tahun ini. Tujuh lakon berikutnya adalah Umbul-Umbul Mojopuro (28 Maret), Jenggolo Mbangun Candi (2 Mei), Rabine Gunungsari (6 Juni), Baderbang Sisik Kencono (11 Juli), Laire Panji Laras (19 September), Gajah Putih Mata Sanga (24 Oktober), dan Rabine Maesosuro (28 November). Durasi setiap lakon rata-rata 3 jam.

Para pemain di tiap lakon bergantian antara penari topeng anak-anak dan penari topeng dewasa. Hanya di lakon Laire Panji Laras dan Rabine Maesosuro yang dimainkan bersama penari topeng dewasa dan anak-anak. Kesembilan gebyak atau gebyar topeng digelar untuk melestarikan kesenian topeng, sekaligus sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta dan leluhur pencipta kesenian topeng Malang.

Sebelum Sayembara Sodolanang dihelat, pembawa acara mengumumkan kepada para penonton yang berada di tiga sisi panggung untuk mengheningkan cipta sejenak bagi Karimun atau Mbah Karimun (almarhum), sang mahaguru topeng Malang sekaligus pendiri padepokan itu. Karimun meninggal tepat pada Hari Valentine, 14 Februari malam, dan dimakamkan sehari kemudian.

Karimun meninggal dalam kepapaan dan kesepian di atas kasur kumal setelah bertahun-tahun menanggung komplikasi penyakit yang menggerogoti tubuh rentanya. Ia hanya ditemani istri ketujuhnya, Siti Maryam; Yani dan Sri (anak tiri kedua dan ketiga dari Siti); serta kursi roda tua, yang setia menemaninya selama 15 tahun terakhir.

Tujuh hari setelah Karimun meninggal atau sehari sebelum Sayembara Sodolanang dilangsungkan, keluarga, murid, sahabat, dan warga sekitar melakukan ziarah tabur bunga ke makam Karimun di punden Sumberkurung, Dusun Kedungmonggo, sekitar 300 meter arah utara dari dusun. Punden ini dikeramatkan warga setempat karena menjadi asal lahirnya kampung mereka.

Karimun, yang lahir pada 9 Juni 1919, meninggal dalam usia 91 tahun. Jenazahnya dikawal Pasukan Grebeg Panji (pasukan perang dalam kisah Panji) dan prosesi pemakamannya diiringi tari topeng Klono. “Tari ini kesukaan Mbah Karimun saat beliau masih muda,” kata Saini, bekas murid yang dinikahi Handoyo, cucu Karimun.

Sebelum meninggal, Karimun berpesan kepada anak-cucu dan murid-muridnya agar tetap menjaga dan melestarikan kesenian topeng. “Itu pesan terakhir Mbah Mun. Saya tidak dibolehkan bekerja selain membuat topeng. Gebyak Malam Senin Legian itu juga atas permintaan Mbah Mun,” kata Handoyo. Pesan serupa diterima Jumadi, cantrik Karimun.

Karimun mulai menari, mendalang, dan membuat topeng sejak 1930-an. Keahlian ini diturunkan dari Serun, ayahnya, petani yang juga seniman. Pada saat senggang, Serun mengajari Karimun menari topeng dengan suara gamelan yang ditirukan lewat mulut. Karimun muda sangat suka menarikan Topeng Bapang, Klono, dan Panji.

Reputasinya bersinar pada masa awal 1970-an hingga 1990-an. Ketika itu Karimun getol membuat sendiri topeng-topeng yang hendak dipentaskannya. Ia pun sering ditanggap di banyak tempat, termasuk di hadapan Presiden Soeharto. Keahliannya pernah ia tularkan di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya dan IKIP Surabaya.

Karimun lumpuh sejak peristiwa tabrak lari pada 1995. Dia bahkan harus berutang sana-sini untuk membiayai pengobatan kakinya. Kepada Tempo, sekitar tiga tahun silam, Karimun mengeluh soal kesetiaannya pada seni topeng Malangan, yang seakan tak pernah berbuah nasib baik. “Saya tak menuntut siapa pun untuk peduli dan membuat saya jadi kaya, meski kadang saya merasa sudah pantas mendapat hadiah mobil merek Karimun seperti nama saya,” katanya ngakak.

Karimun adalah seniman topeng Malang yang dinobatkan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik sebagai satu dari 27 maestro seni tradisi di Indonesia pada 2007. Penobatan itu disertai penetapan pemberian santunan kepada mereka.

Para seniman topeng Malang mengakui keteguhan dan ketekunan Karimun, baik sebagai penari maupun pembuat topeng. Dwi Cahyono, Ketua Dewan Kesenian Kota Malang dan Ketua Yayasan Inggil, menilai konsistensi dan totalitas merupakan kelebihan Karimun. Dwi telah mengoleksi seratusan topeng karya Karimun sejak 1996. Sebagian koleksi itu ia pajang di ruang restoran Inggil.
Secara teknis, kata Dwi, pahatan topeng Karimun tak semuanya berkualitas tinggi. “Anak atau murid-murinya mungkin bisa menciptakan yang lebih berkualitas, tapi belum tentu karya mereka memiliki karisma dibanding buatan Mbah Mun,” katanya.

Seni tari topeng Malang telah kehilangan maestro dan pengasuhnya. Siapa penerusnya masih jadi pertanyaan. “Sekarang belum ada seniman tari topeng yang bisa menggantikan beliau. Tapi kami yakin suatu saat ada maestro baru setara Mbah Mun atau malah melebihinya,” kata Chattam Amat Redjo, bekas murid Karimun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *