Judul: Di Jawa, Petualangan Seorang Antropolog
Judul Asli: Doing Java An Anthropological Detective Story
Penulis: Niels Mulder
Penerjemah: Sofia Mansoor
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Peresensi: Aris Darmawan
http://suaramerdeka.com/
PERJALANAN itu telah dimulai sejak Januari 1969. Niels Mulder, padri Katolik berkewarganegaraan Belanda ini membulatkan tekad pergi ke Indonesia, tepatnya ke Yogyakarta. Kendati sejak 1957 Indonesia merupakan wilayah terlarang bagi bangsanya lantaran kebencian pada segala sesuatu yang serba Asing yang terjadi pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Soekarno, namun hal ini tak menyurutkan langkah Mulder. “Pokoknya, aku harus mengunjunginya,” katanya bersemangat (halaman 11). “Justru karena ketakterjangkauan ini semakin memperbesar daya tarik negeri tersebut.”
Mulder pun lalu mempersiapkan segala sesuatu. Termasuk mengikuti kuliah bahasa Melayu yang diberikan oleh Profesor CC Berg. Alih-alih mempelajari bahasa Melayu, mereka malah lebih banyak belajar tentang keajaiban dunia Timur, terutama Jawa. Bagaimana melalui Berg, mereka dikenalkan pada babad-babad Jawa kuno, pentingnya warisan budaya India bagi kebudayaan Jawa berikut perkembangan Islam selanjutnya, lalu soal kedudukan perusahaan Belanda-Hindia Timur (VOC), serta tentang rahasia simbolisme Jawa. Mulder terpikat dengan pengajaran yang diberikan Berg. Kepada Berg, ia bercerita soal keinginannya untuk ke Indonesia, namun Berg menyarankan Mulder untuk ke Bangkok terlebih dahulu, sebuah tempat yang sangat kuat dipengaruhi budaya India yang tidak banyak diketahui orang, sebelum ke Indonesia.
Mulder mengikuti saran Berg. Di kota ini, ia lalu menjalin kontak dengan
Program Asia Tenggara dari Northern Illinois University (NIU), dan malah direkrut sebagai “pakar Muang Thai”. “Meskipun aku dianggap pakar soal Muang Thai, namun tujuanku masih tetap Indonesia,” ujarnya.
Di kota ini pula, Mulder membeli sepeda motor merek Honda, yang nantinya ia gunakan untuk menempuh perjalanan darat menuju Yogyakarta.
Tiba di Jawa
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Profesor Koentjaraningrat yang ketika itu berkunjung ke NIU mengatakan, Indonesia sekarang telah terbuka lebar terhadap dunia luar. Bahkan Dekan Soegondo dari Yogyakarta (demikian Mulder menyebutnya, tanpa menjelaskan dari universitas mana sang dekan berasal) yang datang ke NIU pada kesempatan berbeda menganjurkan Mulder untuk berkunjung ke Yogyakarta dan melakukan penelitian di sana. Mulder tertarik, setidaknya ini tercermin dari keseriusannya untuk mengikuti kuliah bahasa Indonesia di NIU dan usahanya membaca bahan-bahan tentang Jawa dan berbagai partai dan aliran politik agama seperti diuraikan Clifford Geertz dalam bukunya, The Religion of Java.
Mulder lalu menabung, mengajukan permohonan cuti tanpa dibayar, dan menyusun proposal penelitian. Ia pun juga telah meminta LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) untuk memberinya visa penelitian melalui Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur. Namun, KBRI malah memberinya visa turis dan surat pembebasan sepeda motor yang terdaftar di Muang Thai. Pada akhir Januari 1969, Mulder menuju Indonesia melalui Singapura. Karena kapal reguler milik PT PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia) telah berlayar meski ia telah dijanjikan keberangkatannya sesuai keterangan yang tertera pada tiket yang diperolehnya, Mulder lalu menumpang kapal milik perusahaan minyak Caltex yang berlayar menuju Dumai. Dari Dumai, dengan berkendara sepeda motor, Mulder menuju Pekanbaru lalu Bukit Tinggi, Padang, Jambi, Palembang dan menyeberang menuju Merak dengan menumpang kapal feri. Dan tiba di Jawa (Jakarta) pada April 1969. Di kota ini ia bertemu kolega-koleganya, beristirahat, dan mengurus segala keperluan administrasi penelitiannya sebelum kembali melanjutkan perjalanan melalui rute Bogor, Bandung, dan berakhir di Yogyakarta. Ia tiba di Kota Gudeg itu pada Mei 1969.
Selama tiga kali masa tinggalnya di Yogyakarta, dari 1969-1993, melalui serangkaian wawancara dan pengamatan lapangan, Mulder hendak melihat dari dekat tentang dunia kebatinan orang Jawa. Yogya dipilih Mulder karena pertimbangan istimewa: bagaimana daerah itu diperlakukan sebagai daerah istimewa dan juga karena penegasannya sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Dunia kebatinan, menurutnya, mengalihkan perhatiannya dari dunia, menemukan kepuasan dalam usaha merenungkan alasan mistis untuk menjelaskan bagaimanakah alam semesta berjalan sembari mengagung-agungkan keutamaan dan kebijaksanaan tentang sikap nrima (menerima) dunia sebagaimana adanya dengan tenang dan penuh syukur. Mulder melihat dunia kebatinan bersifat dinamis; ia senantiasa mengalami perubahan di setiap zamannya. Mulder menemukan hal itu dalam diri Mas Hartono, salah seorang respondennya. Pada 1969, saat kali pertama bertemu, Mas Hartono memutuskan untuk beristirahat dari keterlibatan aktif dari dunia dengan cara bersemadi dan bermati raga. Namun, ketika berjumpa lagi pada 1979, Mas Hartono yang dikenalnya “sudah berubah”. Kepada Mulder, dia bercerita jika sudah menikah lagi setelah istri sebelumnya meninggal, lalu bercerita pula soal Singapura dan Jakarta, tempat dia biasa berlibur seminggu sekali. Mulder melihat Mas Hartono yang sekarang adalah pribadi yang begitu leluasa mengejar kesenangan duniawi (halaman 261).
Tak Hitam-Putih
Atas fakta ini, Mulder pun tidak hendak menghakimi dan melakukan penilaian secara hitam-putih, benar-salah, baik-buruk, tetapi ia mencoba merefleksikan bagaimana jarak pemisah antara dunia batin dan dunia sosial dewasa ini sudah sangat pendek. Orang mulai lebih terbuka pada bujuk-rayu kehidupan, tetapi sebenarnya mereka rapuh dan kurang mampu masuk kembali ke dalam dunia batinnya.
Apa yang telah dilakukan Mulder sejak 38 tahun yang lalu kini bisa kita simak dalam buku ini. Ia mengaku sungguh senang bisa menuliskan kisah-kisah petualangannya di sini. Tidak hanya secara khusus soal penelitiannya tetapi juga soal tutup tangki bensin motornya yang raib di depan Toko Buku Gunung Agung di Jalan Diponegoro, Yogyakarta. Atau cerita lain bagaimana sewaktu di Pekanbaru, dengan harapan bisa menemukan kamus Indonesia-Inggris, eh, satu-satunya buku yang ia jumpai di kota itu hanyalah komik, seperti Pembalasan Dendam Kesumat Tarzan dan Arwah Kuburan (halaman 16). Mulder boleh dibilang piawai dalam menggambarkan setiap peristiwa yang dijumpai dengan begitu detail, khas seorang antropolog. Namun demikian, ia tetap seorang manusia biasa. Ketika tiba di Jakarta, ia mulai bimbang dan bertanya dalam diri: mengapa kulakukan semua ini? Apakah yang menarik diriku ke sini atau yang membuatku meninggalkan tempat asalku? Apakah ini hanya perjalanan yang tak pernah berakhir yang mendorongku menuju ke horizon yang tidak pernah bisa dicapai?
“Aku pernah ke San Francisco, Honolulu, Tokyo, Manila serta sejumlah tempat lain, namun ke mana pun aku berjalan, aku hanya bertemu dengan diriku sendiri. Kota hanyalah menegaskan kesendirianku, kujalani perburuan sunyiku untuk meraih apakah yang sebenarnya?.”