Psikotik dan Penyair Psikotik

Tanggapan untuk K.Y. Karnanta

Muhammad Aris
http://www.jawapos.com/

Masih perlukah sebuah workshop penulisan sastra? Pertanyaan K.Y. Karnanta (JP, 25 Mei 2008) tersebut merupakan klaim yang gegabah. Klaim yang tak ubahnya sebuah kekesalan, rasa sakit hati, melihat sesuatu dari satu sisi saja. Karnanta kurang begitu memahami apa yang dinamakan dengan workshop.

Sejak dulu, workshop penulisan sudah ada. Perbedaan dari workshop saat ini hanya soal ruang. Pada era 70-an, Umbu Landu Paranggi di Jogjakarta mempunyai kelompok workshop yang terkenal dengan Persada Study Klub. Kelompok workshop tersebut melahirkan sastrawan-sastrawan berbobot seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi A.G., Ashadi Siregar, dan banyak lagi.

Umbu dalam kelompok tersebut melakukan workshop secara langsung dan intens. Umbu menjadi seorang ”guru” dan kemudian dikenal dengan gelar ”Presiden Penyair Malioboro”. Sebab, komunitas para penyair itu biasa mangkal di emperan Jalan Malioboro.

Era 80-an di Batu, yang saat itu masih bagian dari Malang, terdapat komunitas bernama HP3N dengan pelopor Putu Arya Tirtawirya. HP3N bergerak secara intens melakukan workshop internal. Proses penulisan, bagaimana strategi menembus media, adalah beberapa materi workshop yang digarap. Hasilnya, nama-nama sastrawan bermutu pun diakui. Misalnya, Heri Lamongan, Aming Aminuddin, Diah Hadaning, Wahyu Prasetyo, Tan Tjing Siong, dan banyak lagi.

Era 90-an di Surabaya, Komunitas Luar Pagar yang melahirkan genre puisi gelap pun demikian. Secara intens, komunitas Luar Pagar mengadakan workshop secara langsung dan terbuka. Tiap hari, setiap anggota seperti wajib berkarya, baik puisi maupun cerpen. Perbedaan dari kelompok yang digulirkan Umbu, di komunitas Luar Pagar tidak ada yang menjadi ”guru”. Semua anggota komunitas berhak bersuara, bahkan cenderung menghakimi karya dari sesama anggota. Lahirlah nama-nama Indra Tjahyadi, Imam Muhtarom, dan lain-lain.

Era 2000-an, workshop penulisan berganti lagi. Era itu ditandai gencarnya karya cyber sastra. Karya yang lebih terbuka untuk diapresiasi atau dihakimi. Karya sastra dengan berbagai genre berkelibat di alam maya. Semua berhak menulis. Semua berhak menjadi sastrawan. Meski terjadi perdebatan tentang karya sastra di media cyber, ternyata juga melahirkan sastrawan-sastrawan yang tak kalah berkualitas dari media cetak (baca: surat kabar atau majalah).

Beberapa contoh uraian tentang workshop itulah yang tidak dipahami Karnanta. Dia hanya memahami bahwa workshop adalah kegiatan seremonial resmi. Workshop hanya ada di ruang-ruang ber-AC dengan mikrofon dan slide. Workshop hanya diadakan jika bertepatan dengan momen-momen tertentu atau tertata dengan agenda yang jelas.

Workshop adalah pembelajaran. Pembelajaran adalah sebuah proses. Dalam proses pembelajaran tidak ada yang salah. Pembelajar atau yang sedang belajar berhak dan boleh berlaku menjadi narsistik, bersahaja, atau bahkan rendah diri. Karnanta sekali lagi kehilangan pemahaman tentang hal itu. Dia bersikap naif, seolah-olah workshop penulisan, khususnya seni sastra, adalah kerja tanpa hasil, sia-sia, hanya karena jengah dengan sekian workshop ”resmi” yang selama ini amat minim dikenalnya.

Psikotik dan penyair tentu berbeda. Untuk psikotik, meski bisa berkarya atau menulis sejenis puisi, tidak dengan serta-merta tulisan yang dibuat psikotik tersebut bisa disebut puisi. Puisi dengan media kata-katanya bergerak pada tataran kesadaran akan bahasa. Pikiran, meskipun ditekan sedemikian rupa sampai batas ambang atau yang sering disebut sebagai alam bawah sadar, tetap saja mengendalikan tulisan.

Di sinilah peran media bahasa yang tidak bisa dikesampingkan. Dan hal itu tidak dimiliki psikotik. Kesadaran akan bahasa perlu diragukan. Kemunculan kata-kata dari goresan tangannya cenderung tidak beraturan, tanpa konsep, dan ngawur.

Berbeda dari penyair psikotik. Kesadaran bahasa, konseptual penulisan oleh penyair psikotik telah dikuasai dan tidak terlepas. Kerja menuju alam bawah sadar, entah dengan pengaruh alkohol, obat-obatan, atau sejenisnya, disadari betul guna menekan kesadaran pikiran. Kata-kata yang kemudian muncul bukan sekadar kata-kata mana suka, tapi hasil trance terhadap penggalian alam-alam mimpi dan/atau alam bawah sadarnya. Hal itu bisa ditengarai pada kaum penyair surealis semacam Mallarme, Rimbaut, dan sebagainya.

Ketika pemahaman terhadap hal itu salah kaprah, yang terjadi seolah-olah seorang psikotik bisa dengan mudah kita sebut penyair, seperti yang diungkapkan Karnanta yang dengan rela mau belajar padanya. Padahal, dalam uraiannya, dia sempat berujar, psikotik adalah orang gendheng. Dan klaim itu dijadikan acuan yang menggelikan Karnanta sebagai upaya penolakan workshop sebagai media pembelajaran.

Kalaupun Karnanta bergerak dari workshop ”resmi”, semacam seminar yang diadakan di ruang-ruang tertentu, asumsi dia tidak beralasan. Dia hanya melihat beberapa workshop yang baginya amat merugikan. Padahal, hal tersebut hanya karena faktor pemahamannya yang terlalu dini serta terburu-buru.(*)

*) Penyair Luar Pagar Surabaya.

Leave a Reply

Bahasa ยป