Puisi-Puisi Dea Anugrah

oase.kompas.com

A HIMSA

/1/
tibatiba cermin menukar wajahku dengan wajah gandhi!
yang jelek dan malang
lantaran terus mengapung dalam benak seribu orang

yang mengemis sedikit saja pelajaran
tentang cinta dan rasa manis di pelataran
sajakku

yang terkapar dan membusuk

di depan kios binatu
sebelum sempat membasuh abu
yang selama ini kami raupkan di wajah-wajah dan kuku-kuku

“o ahimsa,
ahimsa?”

/2/
–timor-timor, aceh, sampit
lalu apalagi yang harus kami isikan
kedalam cangkirmu?
tempat seharihari kami tumpahruahkan
darah usang pemberian ibu, sebagai pelarian dari rasa bosan yang terus memburu

Jogjakarta, Mei-Juni 2009

AKU INGIN
persembahan kecil buat mama, papa & aam di rumah

/0/
kueja namamu pada bulan
yang meneteskan malam bersama hujan
.
tersebab balada-balada cengeng
dan drama-drama murahan
dada kita gerimis
wajahmu meringis
dan engkau menangis
memelukku
dan mengiris
dalam sajakku

/0/
aku mencintaimu.

tapi dengan apa kupeluk dirimu?
sedang tak kupahami katakata itu
sedang tak kumengerti bahasa yang menyusunmu*
maka aku memintamu dengan diamku.

aku
ingin
mencintaimu

dalam
diamku.
izinkan
aku menge-
cupmu
dengan
diamku.

Jogjakarta, april 2009
*) digubah dari sebaris puisi Rozi Kembara

BENARKAH SEBUAH SAJAK CENGENG?

/1/
kau tampak lelah
sehabis menempuh hujan di sepanjang malam
memeluk dinginnya padang rumputan
dimana nafas-nafas kita tertanam

ah, hampir saja aku lupa
mari kubuatkan segelas teh hangat m?lange quartier untukmu.

/1/
ya, segeralah diminum, tapi jangan lupa berdoa.

.sayang.

/2/
jangan pergi lagi, ya.
sudah bosan aku kau tinggalkan
dalam ribuan kata

dan malam-malam bisu.
kini saatnya kau dan aku. bersama sepanjang waktu
membakar rindu. menertawai rindu.

Jogja, April 2009

BOCAH BELANG

di dalam sebuah rumah beratap serabut hitam
berdinding lapuk dan berlantai lumpur
yang juga hitam

seorang bocah berkulit belang
yang wajahnya legam.
telanjang, dan menangis dengan kencang
seolah tak peduli
pada lalat-lalat yang mengerubungi
koreng di lengan, kaki serta pantatnya
yang mulai membusuk

menebarkan bau menusuk
pengundang lalat-lalat datang

o bocah itu menjerit lirih
mengantarkan suaranya pergi
meninggalkan dirinya sendiri
di dalam gubuk nestapa
yang reyot dan bakal roboh di atas mayat keluarganya

namun entah di hari keberapa
suatu pagi
bocah itu tibatiba berhenti menangis
tapi juga tak bergembira
ia melamun
membuang jauh tatapannya ke luar jendela
membayangkan ibu memanggil namanya seperti biasa
seraya mengatakan kalau semua ini tak nyata
kalau semuanya baik-baik saja

“ya, semuanya baik-baik saja sayang! seperti biasa!”,
suara seseorang bergema

bocah itu kaget
ia melihat sekeliling
namun tak ada siapa-siapa, selain tubuh ayah-ibu beserta saudara-saudaranya
yang telah membiru

dan genangan darah yang berkerak
mengotori dinding lapuk yang belum lama di cat ayahnya
barang-barang berserakan
vas bunga pecah, foto keluarga remuk kacanya, mainan yang berhamburan, pisau?
pisau yang penuh bercak darah yang telah mengering
digenggamnya pisau itu

ah, sekarang ia ingat semuanya

seberkas sinar matahari pagi yang masuk melalui celah-celah atap menerangi pondok itu seperti biasa
bocah itu tersenyum
pisau itu tersenyum
mayat-mayat itu tersenyum
semua yang ada di rumah itu tersenyum

/2/
penonton dan pemain bertepuk tangan
tertawa, berkekehan senang.
tetapi dramanya belum usai. drama ini belum usai. sayang.

aku menangis. airmataku tertawa.

Jogja, Mei 2009

*) Dea Anugrah, lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 27 Juni 1991. Aktif menulis puisi. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Fakultas Filsafat UGM. Memilih untuk menjadi penyair karena gemar mabuk puisi dan berbulat tekad untuk meminangnya. Setelah menikah, belakangan semakin memantapkan diri berada di jalur poligami, hidup dengan istri-istri terkasih: bulan, malam, buku dan puisi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *