demikianlah
demi arak api di harmonika harry roesli
demi pinggul pinggul kecil bulat para dewi kayangan yang menari di pelangi pelangi alangkah indahmu merah kuning hijau di langit yang biru lebam dihajar popor m-16 anjing anjing kapitalis pascakolonial
demi tetes keringat tukang becak di sebelahmu di jalan polusi menunggu lampu merah kuning hijau
demi birahi istrimu pada tampax bau di akhir meditasimu
demi sejengkal sorga yang kau perebutkan dengan doa doa para tetangga
demi sms yang tiba tiga hari setelah kau dikuburkan bukan di taman para fascis yang pahlawan
demi asap tembakau di puting susu abg smp di bis kota di sebelahmu yang sedang mimpi jadi artis jadi selebriti
demi handphone yang tak henti berdering dalam acara baca puisimu
demi puisiku ini yang tersesat dalam labirin empat musim sebelum mekar di rambut di sisirmu
demi pengemis perempuan tua dalam sajak rendra yang kau dengar sambil setengah mabok dulu
demi cinta pertama yang menguap bersama embun pagi alun alun selatan seribu tahun yang lalu
demi kerling sebuah nama yang selalu menggoda tiap kali kau geser satu botol bir kosong di trotoar tak bernama
demi kumis saddam hussein yang menghantui george bush di belahan dada istrinya yang keriput tua
demi dr strangelove yang berkhayal nikmatnya sebuah rudal yang pecah di lobang duburnya
demi beribu dubur yang terbakar hangus tak terkubur di padang pasir ubur ubur
demi cintaKu padaMu wahai sepasang kaki tak bertubuh tapi bersepatu hitam hak tinggi di monitor pc pembelian istriku
demi kereta api yang keluar masuk lemak tergantung di leher alfred hitchcock
demi borobudur di duaribu obat nyamuk terbakar di rambut made wianta
demi ktp yang membuatmu jadi saut jadi situmorang
demi buah pantat megawati yang katanya simbol negeri ini yang sekelam awan sore kota jogja tak nyaman di hati
demi ikan mas yang mati mengapung di lobang kakus demam berdarahmu
demi bukek siansu yang tak pernah muncul di lorong lorong gelap kotamu di tengah malam gerhana bulan 17an
demi lidah pelo wiji thukul yang hilang di hutan simbol janggut karl marx tua
demi sepasang mata pengungsi afghan yang menikammu dari sampul national geographic keparat itu dulu
demi apalagi demi moore mau tidur semalaman dengan seorang jutawan kalau bukan demi jutaan yang dihambur hamburkan george bush di kepala jutaan anak afghan anak irak jutaan yang dihambur hamburkan megawati di kepala jutaan anak aceh lewat jutaan keping logam api yang membakar hangus jutaan puisi yang tertulis di jutaan gemeretak gigi gigi panas dingin demam marah pada langit biru kosong tanpa tuhan tanpa apa apa tanpa makna demikian perih kehidupan bagi manusia manusia yang bernasib sedemikian rupa tak mengerti mengapa
demikianlah seonggok taik anjing kering mengejek kita yang konon lebih mulia dari para malaikat di biji biji tasbih para alim ulama pemenang poligami award obladi oblada
demikianlah, guernica, demikianlah
jogja, 17 agustus 2003
buat Fikar
-melebihi Belanda
itulah Jakarta!
aku tak percaya tuhan membuat
bencana itu, seperti kata para nabi nabi palsu itu,
karena aku tak percaya segala tuhan itu ada.
aku cuma percaya
tak akan begitu banyak saudara kita
binasa sia sia
kalau Jakarta bisa seperti Belanda
menyayangi anak anaknya.
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi penderitaan saja yang diciptakannya
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi ketakadilan saja yang dikembangbiakkannya
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi penjara dan bukit tengkorak saja yang diberikannya
pada setiap keluh kesah kita.
seperti yang kau katakan sendiri,
puluhan tahun Jakarta, seperti lintah,
menghisap segalanya,
gas alam,
minyak,
emas,
hutan,
sampai akar rumput bumi
sambil mengutip kitab suci!
wahai Fikar,
tak ada negeri yang tak punya bencana alam
di bumi ini, bahkan tsunami
tak jarang terjadi di kepulauan ini. Flores
sudah biasa dengan tsunami, sudah
berpengalaman dengan tsunami
tapi Jakarta tidak mau menyimpan memori ini,
Jakarta tak peduli pengalaman Flores ini,
Jakarta lupa kepulauan negeri kita, nusantara nama kita,
walau diwajibkannya kita untuk menghapalnya:
?dari barat sampai ke timur berjejer…?
Jakarta pinjam uang beli teknologi canggih luar negeri
cuma untuk memata matai kita
cuma untuk menindas kita
cuma untuk keamanannya sendiri
dan kita juga yang harus melunasinya nanti!
wahai sahabatku Fikar,
bukan bencana itu benar yang menusuk kalbu
tapi jumlah saudara kita yang binasa sia sia
terlalu tinggi buat kota kampung kita
yang bertahun sudah dinista moncong senjata tentara.
kalau Jakarta, bisa seperti Belanda,
menyayangi anak anaknya,
sudah lama kita akan diberi tahu
apa arti gelombang yang jauh menyurut,
meninggalkan batas pasir pantai, setelah bumi menggeliat di perut laut.
bahkan bangsa asing menolong kita pun mereka curigai!
itulah Jakarta, begitulah Jakarta.
Jogja, 2 Feb 2005
*) Sumber: otobiografi ([sic] 2007)