Sang Waskito R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)


Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=427

R. Ng. Ronggowarsito (15 Mar 1802 – 24 Des 1873), Bagus Burham nama kecilnya. Sang pemilik jiwa waskito;

nasibnya menyerupai batuan kali dijadikan jalan, bebatuan krucuk yang dipukuli, sebelum dibangun tempat berteduh.

Menerima waktu-waktu kebodohan diri, menguliti bathin menemukan kebuntuan hingga mempuni.

Seorang pujangga menangkap rintihan pertiwi, berdendang angin bermusik hewan-gemewan.

Mentaati perubahan masa-masa pelajaran, ke tapal batas pengetahuan, demi menjejakkan kaki di padang pengembaraan.

Dalam usia lima tahun, dididik Tanujaya memasuki lorong alam gaib, memperoleh pengalaman di balik wujud kebendaan.

Yang tampak tersenyum tidak segelora dada, pula kebencian tiada sanggup diukur sampiran kalimah.

Di sini hati timbangannya, meraup tempaan demi tempaan, tidak silap pandangan mata-mata sekilas.

Menginjak umur dua belas tahun, beserta Tanujaya menuju Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Demi menimba keilmuan agama kepada Imam Besari.

Namun dasar anak bangsawan, menganggap remeh perjalanan nasib, seolah telah melihat kegemilangan akan takdir di hari kemudian.

Yang diperbuat di Gebang Tinatar, tidak sesuai harapan kakeknya R. T. Sastonagoro. Tak mau mengaji, namun beradu ayam jantan berjudi.

Berfoya-foya serta akrab para warok, bandit, begal sebangsanya. Ya, seorang keturunan darah biru, tergilas tipu daya keduniawian.

Bathin Besari sungguhlah letih, dan suatu masa bersama Tanujaya diusir dari Tegalsari. Berbalik ke Surakarta tak mungkin, sebab belum peroleh keilmuan sama sekali.

Berjalanlah mereka ke Madiun untuk menimba budhi pekerti di kota Kediri. Namun sebaik insan merencanakan, Tuhanlah menentukan.

Kesedihan Burham dari pengusiran, mempengaruhi alam raya; geramnya melayukan bunga-bunga. Air matanya membekukan masa, menjelma kutukan tidak disengaja.

Sang Imam pun merasakan dalam mimpi, maka sebelum sampai Kediri, disuruhnya pulang lewat seorang utusan, untuk kembali ke Tegalsari.

Tetapi Burhan tetap bengal, hingga umpat kyai menggelegar. Bathinnya bersedih, tertunduk pasrah menghadap Ilahi, bersimpuh menginsafi kebodohannya selama ini.

Datanglah Tanujaya menghibur kepiluannya; bahwa seorang berdarah biru takkan peroleh keilmuan tinggi, kecuali bertirakat terlebih dulu.

Seketika itu Burham melangkahkan kaki, bertapa di kali Keyang tepatnya Kedung Watu. Selama 41 hari tidak makan nasi, seharian hanya sebuah pisang atas kerendahan hati.

Malam terakhir tirakatnya. Turunlah cahaya kapujanggaan, pada periuk menjelma ikan matang, bersama bubur yang ditanak Tanujaya dari padepokan Besari.

Selepas itu berubahlah sikapnya, rajin mengaji pandai berkhotbah, seolah mendapati ilmu laduni, sehingga sang Imam menyebutnya Bagus Ilham.

Kabar ini tersiar sampai pelosok Ponorogo, Tuhan berkehendak atas usaha manusia;

kepedihan, penderitaan, mematangkan lelaku. Purnalah sebulan sabit purnama, pulang mereka ke Surakarta.

Kemudia hari menikahi R. A. Gombak, putri Kanjeng Adipati Cakraningrat, Bupati Kediri.

Namun dirasa keilmuanya belum tuntas, kembaralah ke Banyuwangi, dilanjutkan ke Giri menuju Tabanan Bali, kepada seorang waskito bijaksana, ki Ajar Sidalaku.

Dari sanalah peroleh keilmuan Serat Rama Dewa, Bimasuci, Baratayudha, Dharmasarana, serta buku paramasastra Budha lainnya.

Di bawah inilah rekamanku, mengenai kali Keyang Kedung Watu. Saat menelusuri jejak-jejak sang Pujangga di desa Tegalsari, Jetis, Ponorogo, Jawa Timur:

PERCAKAPAN DI KALI KEYANG

Gemericik arus sungai melantunkan fatwa
membawa ketenangan pejalan kaki
langkah demi langkah
daun-daun melambai
terdengar air membisik pada angin
serpihan cahaya matahari
menerobos dedahan.

Menyusuri bibir kali bersimpan kesaksian
ikan-ikan mungil berlomba melawan arus
demi kesenangan tiada tara.

Tak seharusnya berlalu
sebelum menapak tilas kebenaran sejarah
jasad bersentuh sukma di ketinggian uap
was-was dan ketakutan membumbung.

Kali Keyang Tegalsari
tak sejengkal membisu arusmu
terus menjelajahi lika-liku kehidupan
sampai ujung tlatah peraduan:

Apakah di sana
lenyapnya muara kedamaian?
Wahai tuanku, Ronggowarsito.

2002, Lamongan.

Leave a Reply

Bahasa ยป