Sastra Demak Masa Kini

Muhajir Arrosyid
http://www.suaramerdeka.com/

OTONOMI daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan aturan perundang-undangan. Otonomi daerah menuntut kejelian daerah dalam melihat potensi-potensi daerahnya agar dapat mengangkat tingkat kesejahteraan daerah.

Kesejahteraan adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat berupa pangan, papan, pendidikan, dan ruhani. Selama ini yang dianggap potensi untuk memenuhi kesejahteraan adalah sesuatu hal yang berpengaruh langsung dengan nilai ekonomi seperti pertanian, kelautan, pariwisata, dan industri.
Potensi kesenian cuma dimasukkan dalam kategori pariwisata. Sastra dianggap tidak mempunyai peran, sehingga belum pernah digarap. Padahal, dalam sejarahnya, sastra memiliki peran yang dominan dalam perikehidupan masyarakat Demak.
Peninggalan Wali Sastra mempunyai fungsi sebagai sarana penyampai gagasan oleh para wali yang dikenal sebagai Wali Sembilan kepada masyarakat. Sastra juga berfungsi menanamkan nilai-nilai secara halus, menciptakan mitos-mitos baru, pandangan hidup baru. Secara tidak langsung, sastra juga berpengaruh terhadap etos kerja, falsafah hidup, dan segala tata nilai masyarakat.

Kita dapat melihat Demak dulu dengan membaca karya sastranya. Demak dalam sejarah peradabannya memiliki pujangga-pujangga andal yang menggunakan sastra sebagai media pembentukan masyarakat yang berbudi pekerti, mengatur masyarakat secara halus melalui cerita-cerita, lakon-lakon pewayangan dan tembang-tembang. Salah satu contoh adalah tembang Ilir-ilir yang sampai sekarang masih populer di telinga kita:

Lir-ilir, lir-ilir tandure wus semilir /
tak ijo royo royo dak sengguh temanten anyar /
cah angon cah angon penekna blimbing kuwi /
lunyu lunyu penekna kanggo mbasuh dodod ira /
dodod ira dodod ira kumitir bedah ing pinggir /
dondomana jumetana kanggo seba mengko sore /
mumpung padhang rembulane /
mumpung jembar kalangane /
ya suraka…. surak /.
Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih: ??Lihatlah kini waktu menanam bibit semai telah datang / begitu hijau segar laksana pengantin baru / wahai anak gembala tolong panjatkan pohon (petik) belimbing / walau licin tolong panjatkan untuk bebersih baju kebesaranmu / baju kebesaranmu telah terkoyak / jadi jahitlah tambal kembali untuk bertahta sore hari ini / Selagi terang bulan / selagi luas tempatnya / dan bersoraklah gembira??.

Makna dari tembang ini kurang lebih mengambarkan ajakan Sunan Ampel kepada masyarakat untuk melaksanakan salat lima waktu. Belimbing yang bergigi lima bisa dimaknakan salat lima waktu, dapat pula ditafsir sebagai rukun Islam. Juga ajakan berjuang sekuat tenaga untuk membersihkan iman ketika waktu dan tempat masih tersedia. Setelah kita meraihnya, maka bergembiralah.
Kitab-kitab yang terbit pada zaman peradaban Demak antara lain Suluk Sunan Bonang, Suluk Sukarsa, Suluk Malang Sumirang, Koja-Kojahan, dan Niti Sruti. Ajaran Sunan Bonang terdapat dalam suluk Wijil yang berisi tentang ilmu kesempurnaan hidup.

Karya Sunan Drajat adalah tembang Pangkur. Adapun Sunan Kalijaga menyumbang beberapa karya seperti gamelan Nagawilaga, Guntur Madu dan Nyai Sekati, wayang kulit purwa, tembang Dhandanggula, dan Syair-syair Puji-pujian Pesantren.

Sunan Giri menciptakan Cublek-cublek Suweng, serta tembang Asmaradana dan Pucung. Sunan Kudus hadir dengan karyanya, tembang Maskumambang dan Mijil. Sedangkan Sunan Muria hadir dengan karyanya yaitu tembang Sinom dan Kinanthi (Purwadi; 2005)
Bagaimana Sekarang? Kita dapat melihat Demak sekarang dengan membaca karya sastra masyarakatnya. Selain sebagai media penyampai gagasan, sastra dapat memiliki fungsi untuk membaca kondisi dan spirit masyarakat pada zamannya.
Dalam kumpulan puisi dan geguritan Demak Kinasih: 504 Lilin Cinta Untukmu, sebuah kumpulan puisi yang disusun dan dibukukan Dewan Kesenian Demak (DKD) dari seluruh unsur masyarakat Demak (2007), kita dapat melihat bagaimana daerah dan masyarakat Demak menyikapi keadaan tersebut.

Ramatyan Sarjono dalam pengantar buku ini mengatakan, usia Demak yang sudah lebih dari lima abad masih menjadi objek olok-olok dari warga sekitarnya. Ini tergambar dalam puisi Arum dalam buku ini: ??nDemak? Ono apane …. / Adus, ngumbahi, ngising …./ Kabeh kok dilakoni ning kali / Kemproh ….// Kau mendengar apa kata mereka ??? / Mereka menghina kita….??
Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih demikian: ??Demak? Ada apanya? Mandi, mencuci, buang hajat?./ Semua kok dilaksanakan di kali / Jorok?../ Kau mendengar apa kata mereka ??? / Mereka menghina kita….??
Dalam puisi lain, Fastabiq Hidayatullah mengambarkan kondisi perilaku masyarakat Demak seperti ini: ??Mekong, sebuah nama ironis / Mepe bokong, kata nenek / Yang duduk di sebelahku / Saat melongok ke jendela / Di dalam bus yang kami tumpangi??.

Sastra Demak kini mampu menunjukkan kepada kita kondisi perilaku masyarakat Demak. Menurut Ketua Reater Rakit Demak, Sutikno SMd (2008), Demak di era otonomi daerah sekarang ini membutuhkan orang-orang sejati, yang mampu membawa daerah ini setara dengan daerah lain dan tidak lagi menjadi olok-olok daerah sekitar. Mereka adalah guru sejati, pemimpin sejati, abdi sejati, dan pewarta sejati!

Hadirlah pula seniman dan sastrawan sejati. Seniman dan sastrawan yang mampu memotivasi masyarakat nelayan, petani pemimpin yang memiliki spirit membangun, bekerja karas, dan berdisiplin tinggi.

*) Muhajir Arrosyid SPd, penulis cerita pendek dari Kabupaten Demak.

Leave a Reply

Bahasa ยป