Membaca, Memahami dan Memaknai…
IBM. Dharma Palguna
balipost.com
SAYA membulak-balik halaman demi halaman sebuah buku tua, berjudul: Taman Sari: Papoepoelan Gending Bali. Di bawah judul itu ada keterangan berbunyi: ”Kapoepoelan Antoek I Wajan Djirne miwah I Wajan Roema.”
Dari segi isi, buku ini luar biasa. Memuat berbagai lagu-lagu Bali jaman dahulu yang tidak banyak lagi diketahui oleh masyarakat umum. Seluruh syair lagu ditulis dalam aksara Latin, dilengkapi dengan nang-ning-nung-neng-nong dalam aksara Bali. Tapi keadaan fisik buku itu sangat memperihatinkan. Lusuh. Semua halaman terlepas. Warna kertasnya sudah menyerupai warna tanah. Beberapa lempirnya lengket karena kelembaban udara. Yang masih terbaca adalah lempir mulai halaman 2 sampai dengan lempir halaman 70. Cover belakang buku sudah tidak ada. Saya tidak berhasil menemukan angka tahun buku itu diterbitkan. Entah karena bagian lempir yang memuat angka tahun itu sudah hilang, entah karena angka tahun itu memang tidak dicantumkan sebagaimana umumnya buku-buku terbitan jaman dahulu. Tapi dari ejaan lama yang dipergunakan, dan sejumlah tulisan tangan yang ada di balik cover depan, dapat diperkirakan buku ini sudah setengah abad lebih.
GENDING KETUJUH dalam kumpulan itu, pada halaman 11, berjudul Sekar Emas. Lagu itu dimulai dengan syair pendek yang tertulis seperti berikut ini: ”Sekar di sekar emas ngara rontje. Sekar agoeng di sangga langit. Sojor kangin sojor kaoeh lajak-lajak”.
ISI SYAIR itu tentang setangkai atau beberapa tangkai bunga yang terbuat dari bahan emas yang terselip di gelung seorang atau beberapa orang penari, mungkin anak-anak, mungkin dewasa. Bunga emas itu bergerak-gerak sesuai dengan gerakan badan si penari, miring ke timur, miring ke barat, dan melengkung ke belakang.
Ketika membaca syair itulah saya berhenti cukup lama pada frase sekar agoeng di sangga langit. Apakah sekar emas itu yang imaksudkan dengan Sekar Agung? Barangkali! Saya tidak menemukan petunjuk yang meyakinkan. Saya juga tidak memiliki pengetahuan yang memadai dalam hal klasifikasi sekar emas yang biasanya dipakai menghias gelung para penari, apakah salah satunya ada yang bernama Sekar Agung. Mudah-mudahan orang yang berkompeten dalam bidang ini kelak dapat menjelaskan.
Sebagai seorang pembaca saya merasakan bahwa frase itu seperti sebuah selipan yang terpisah dari konteksnya. Namun demikian, justru pada frase itu saya merasa tertantang untuk menemukan apa kira-kira yang disembunyikan di baliknya. Jangan-jangan itulah inti yang ingin disampaikan oleh pencipta gending itu.
Saya tidak bisa menyetop pikiran yang langsung bertanya: apakah ada sejenis bunga alam yang bernama Sekar Agung, selain Sekar Agung itu adalah istilah untuk wirama kakawin, yang dibedakan dengan Sekar Alit, dan Sekar Madhya?
RASANYA tidak ada jenis bunga alam bernama atau disebut Sekar Agung sepanjang yang dapat dilacak dari berbagai sumber. Namun demikian, saya juga tidak berani langsung menyimpulkan bahwa Sekar Agoeng yang dimaksud dalam frase di atas adalah klasifikasi metrum (wirama) dalam seni suara tradisional. Jika bukan nama jenis bunga, dan jika bukan nama jenis metrum, lalu apa?
ADA BAIKNYA terlebih dahulu kita lanjutkan menyimak frase itu. Kata di dalam frase di atas, bukanlah awalan, tapi kata depan yang menunjukkan lokasi, atau tempat di mana Sekar Agung itu ada. Dengan sangat lugas kita diberitahu bahwa Sekar Agung itu ada di suatu tempat bernama Sangga Langit.
Dari keseluruhan syair yang membangun gending itu, kita tidak mendapatkan petunjuk di mana tempat bernama Sangga Langit itu. Baik dalam bahasa Bali maupun dalam bahasa Kawi, kata sangga berarti ”sesuatu yang memiliki fungsi menyangga”, atau ”disifatkan sebagai penyangga sesuatu yang ada di atasnya”, yaitu langit dalam kasus ini.
Dari arti kata sangga langit itu kita mendapat sedikit keterangan bahwa tempat itu kemungkinan ada di daerah gunung yang kokoh dan tinggi. Atau di bebukitan di pinggir laut. Tidaklah aneh bila gunung dan bukit itu dibahasakan oleh para penyair dan sastrawan sebagai penyangga langit. Apalagi jika gunung dan bukit itu dipandang dari kejauhan. Tidak ubahnya gunung-bukit itu seperti sendi besar yang menjulang tinggi. Ibarat tiang pancang penyangga langit, agar langit tidak ”runtuh”.
Lalu, apa yang dimaksud dengan ”Sekar Agung di Sangga Langit?” Kita tidak tahu apa yang dimaksud oleh pencipta lagu itu. Karena jangankan maksud yang disembunyikannya, kita pun tidak tahu siapa yang menciptakan gending tua itu. Kita juga tidak tahu di mana gending itu diciptakan. Tak tahu juga dalam suasana hati yang bagaimana gending itu terlahir.
Oleh karena itu, pertanyaannyalah yang mesti diubah. Bukan apa yang dimaksud, tapi bagaimana kita memaknainya. Ada beberapa pemaknaan yang bisa kita berikan pada frase itu. Jika Sekar Agung itu adalah Sekar Emas itu sendiri, maka frase itu bisa kita baca seperti ini: ada setangkai bunga emas yang disebut Sekar Agung terselip di gelungan penari yang bentuknya tidak ubahnya seperti gunung penyangga langit.
Jika Sekar Agung itu bukan Sekar Emas, maka kita bisa membaca seperti berikut ini: ”Ada sekuntum bunga yang agung, mulia, suci, indah tumbuh di pelosok gunung atau bukit yang tak ubahnya sebagai penyangga langit”.
BACAAN ini menyebabkan frase itu menjadi terpisah sama sekali dengan konteksnya. Memisahkan sesuatu dari konteksnya, bukanlah cara yang bagus dalam membaca dan memahami. Oleh karena itu kita perhatikan bacaan berikutnya ini:
”Terdengar alunan wirama Sekar Agung dari penyangga langit”. Bacaan ini tidak jauh dari konteksnya, karena pada bait ketiga gending itu ada disebutkan bahwa sambil meliak-liukkan tubuhnya, penari itu berkali-kali menoleh ke arah juru kidung.
Pertanyaan Tanpa Jawaban…
SANG(G)A LANGIT…
DI SALAH satu pelosok Buleleng bagian barat ada sebuah desa yang entah sejak kapan bernama Sanga Langit. Entah mengapa pula tetua desa itu jaman dahulu menyebut wilayahnya Sanga Langit, satu kata yang misterius.
Tulisan ini tidak serta merta tentang desa itu. Karena tidak banyak yang penulis ketahui tentang seluk beluk dan problematik desa itu. Dan penulis sendiri hanya ingat samar-samar, sekali atau mungkin beberaapa kali pernah melintas di desa itu dalam sebuah perjalanan meletihkan entah dari mana ke mana. Tidak ada yang membekas secara khusus tentang desa itu. Oleh karena itu, pembicaraan kali ini adalah tentang konsep yang ?terbaca? samar-samar dari nama Sanga Langit itu: sebuah nama yang berarti ?sembilan langit?.
Gagasan apa yang terbaca di balik kata sanga langit itu? Paling tidak ada tiga konsep yang terlintas dari kata itu. Pertama, kata sanga langit mengindikasikan sembilan penjuru langit. Tafsirnya, satu bagian langit yang ada di atas kepala, ditambah delapan bagian langit yang ada di delapan penjuru mata angin. Dalam konsep itu, langit dipandang sebagai sebuah lingkaran besar. Bagian langit yang ada tepat di atas kepala adalah pusatnya. Pusat langit itu dikelilingi oleh belahan langit di timur, tenggara, selatan, barat daya, dan seterusnya. Dengan pembacaan seperti ini, langit tidak selalu disebutkan ada di atas. Ada juga sebutan langit di timur tempat matahari terbit. Langit di barat tempat matahari tenggelam. Dan sebagainnya.
Memang ada konsep tentang delapan penjuru yang mengelilingi titik pusat. Misalnya, jagat diibaratkan sekuntum bunga Padma dengan delapan kelopak menghadap delapan penjur, dengan sari-sari bunga ada di titik tengah. Pembacaan sanga langit di atas meminjam konsep bumi untuk dipasangkan di langit. Jika bumi adalah sekuntum bunga mekar menghadap ke atas, maka langit dipahami sebagai sekuntum bunga mekar menghadap ke bawah, alias sungsang. Konsep bunga Sumanasa dalam Sastra Kawi adalah sekuntum Ongkara Sungsang yang turun dari langit ke bumi. Sedangkan sekuntum Ongkara Ngadeg yang ada di bumi konon bergerak naik menyongsong yang sungsang itu. Pada satu titik yang Sungsang dan yang Ngadeg itu bertemu seperti pertemuan dua ujung duri. Pada pertemuan kedua ujung kuntum bunga mstis itulah terjadi apa yang dicita-citakan oleh para yogi, yaitu kebebasan terakhir!
Seperti itulah bacaan pertama dari kata sanga langit. Ada pula bacaan yang kedua. Langit itu dipandang bertingkat-tingkat dan berlapis-lapis secara vertikal. Dari langit yang paling dekat dengan bumi terus ke atas sampai langit ke tujuh, dan kemudian ditambah dua lapis langit lagi di atasnya. Sehingga menjadi sembilan tingkatan langit.
Kita memang sering mendengar konsep tujuh tingkatan langit yang berhubungan dengan konsep tujuh tingkatan alam atas [sapta loka]. Bumi adalah alam paling bawah disebut Bhurloka. Angkasa yang menghubungkan bumi dengan matahari disebut Bhwahloka. Alam antara matahari dengan bintang Polar disebut Swahloka. Di atasnya lagi ada alam Mahaloka, Janaloka, Tapaloka. Dalam konsep itu langit ketujuh disepakati sebagai yang tertinggi. Langit atau alam tertinggi itu disebut Satyaloka.
Lalu apa kira-kira langit kedelapan dan langit kesembilan itu? Sampai di sini belum ditemukan sumber terpercaya yang dapat dirujuk. Yang ada hanya dugaan bahwa Satyaloka itu terdiri dari tiga lapis. Yang pertama adalah Satyaloka itu sendiri yang dihubungkan dengan alam Shiwa. Lapis kedua adalah alam Sadashiwa. Dan lapis tertinggi adalah alam Paramashiwa. Menurut dugaan ini, langit Sadashiwa dan langit Paramashiwa itulah yang kedelapan dan yang kesembilan.
Itulah bacaan yang kedua. Ada pula bacaan ketiga. Baik kata sanga maupun kata langit, sama-sama menunjuk pada yang tertinggi. Dalam sistem bilangan, sembilan disepakati sebagai bilangan tertinggi. Demikian pula langit dipandang sebagai yang tertinggi. Tidak ada yang lebih tinggi daripada langit. Karena di atas langit konon masih ada langit. Begitulah, kata sanga dan langit sama-sama menunjuk pada yang tertinggi.
Itulah tiga bacaan yang terlintas dari kata dan konsep sanga langit. Bacaan ini tidak serta merta bisa dihubungkan dengan nama desa Sanga Langit di Buleleng. Karena tetua desa Sanga Langit barangkali punya penjelasan lain mengapa menyebut tanahnya dengan nama seperti itu.
Saya teringat nama desa Sanga Langit justru ketika membulak-balik halaman buku tua yang berjudul Taman Sari: Papoepoelan Gending Bali, seperti yang telah dibicarakan dalam tulisan yang ada di kolom sebelah. Seperti yang diuraikan dalam tulisan itu, salah satu gending dalam kumpulan itu memuat syair yang berbunyi ?Sekar Agoeng di Sangga Langit.?
Ketika membaca frase itulah saya tiba-tiba teringat desa Sanga Langit. Saya tercengang sendiri ketika pikiran menghubungkan kedua kata yang memiliki kemiripan fonetis itu, yang dibedakan hanya oleh satu fonem, yaitu – g.
Lalu muncul sejumlah kecurigaan, mungkinkah dulunya desa itu disebut Sangga Langit dan dalam perkembangannya akhirnya menjadi Sanga Langit karena masalah pelafalan? Jika kemungkinan ini benar, maka desa Sanga Langit tidak mesti dihubungkan dengan sembilan langit seperti di atas, tapi desa Sangga Langit itu diasosiasikan sebagai penyangga langit. Sangga Langit inikah yang dimaksudkan dalam frase ?Sekar Agung di Sangga Langit??
Saya memahami bahwa syair gending itu belum tentu berhubungan dengan desa Sang(g)a Langit yang ada di salah satu pelosok barat Buleleng itu. Tapi memang kata itu yang membuat saya mengalami ?loncatan pikiran.? Dan loncatan pikiran seperti itu sangat umum terjadi. Yang jelas, karena syair itulah saya tergerak menulis pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban seperti ini.
***