Kadek Suartaya
balipost.com
SENIMAN bertubuh tambun, Slamet Gundono, yang dikenal sebagai dalang Wayang Suket, tampil menggugah dan menggelitik dalam sarasehan seni pertunjukan kontemporer, Kamis (5/11) siang di ISI Denpasar. Di tengah perbincangan yang sarat gairah itu, Gundono didaulat untuk menunjukkan aksi pentasnya. Sembari memetik sebuah gitar kecil, celoteh dan alunan vokalnya yang improvisatoris membuat penonton terpana.
Aksi dadakan alumnus STSI Surakarta tersebut direnspons oleh koreografer Miroto dan komposer Agus Santosa. Sementara Miroto bergerak ekspresif di sisi-sisi tubuh Gundono yang duduk di tengah, Agus berjinjit-jinjit di bagian belakang sembari mengeksplorasi bunyi sebuah gong. Kolaborasi dalang, penari, pemusik yang sudah cukup dikenal secara nasional itu seakan menunjukkan bahwa seni komporer adalah ruang berkesenian yang keberadaannya tak bisa dipisahkan dari kebudayaan kontemporer masyarakat kita.
Kendati bergulir hanya sekitar tujuh menit, ketiga seniman itu tampak berhasil menggedor apresiasi dan hasrat-hasrat sukmawi para peserta sarasehan terhadap nilai estetik dan kandungan pesan dari ekspresi seni kontemporer tersebut. Gundono, Miroto, dan Agus Santosa yang dalam sarasehan itu diundang sebagai narasumber, tak hanya berungkap secara verbal menuturkan eksistensi seni kontemporer di luar dan di dalam negeri namun juga menawarkan gagasan-gagasan sarat inspirasi dengan presentasi estetis eksploratif yang berdaya gugah.
Selain sebagai pembicara seminar, ketiga seniman Indonesia yang telah merambah forum seni internasional itu juga diusung sebagai juri Lomba Cipta Seni Kontemporer (LCSK) yang digelar oleh Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, Rabu (4/11) malam. Hasil pengamatan mereka itulah, diantaranya, diperbincangkan dalam sarasehan yang dihadiri oleh para peserta lomba dan peminat seni pertunjukan. Gundono, Miroto, dan Agus Santosa tampak bersemangat mengisahkan dan membagi pengalamannya dalam kancah seni kontemporer.
Ditimba Langsung
Slamet Gundono menuturkan pergulatannya dengan seni kontemporer lebih banyak ditimbanya langsung di tengah masyarakat komunal pedesaan. “Seorang seniman harus mau bermandi lumpur untuk mengasah dan merangsang kepekaannya menemukan gagasan dan penuangan karya seninya,” ujar Gundono. Menurutnya, di tengah masyarakat tradisional Indonesia, seorang seniman seni kontemporer akan banyak bisa menyerap kearifan lokal untuk dipresentasikan menjadi ungkapan artistik. “Pementasan wayang atau teater saya banyak mendapat inspirasi dan disangga oleh pergulatan saya di tengah lingkungan kultur alamiah pedesaan,” ungkapnya polos.
Miroto yang seorang penari Jawa tangguh dan sebagai seorang koreografer tari kontemporer berharap seni pertunjukan kontemporer digairahkan di tengah masyarakat. Menurutnya, esensi kebebasan kreatif yang menjadi roh seni kontemporer sangat memungkinkan bertumbuh di Bali dengan karakteristik seniman Bali yang kreatif, lebih-lebih didukung masyarakat penyayang seni. Agus Santosa memberikan masukan kepada para seniman yang mengenyimpungi seni pertunjukan kontemporer untuk memiliki landasan jelas dalam mepersiapkan konsep karyanya. “Konsep matang akan memungkinkan untuk mewujudkan seni pentas kontemporer yang komunikatif,” paparnya.
Empat Karya
Gundono, Miroto, dan Agus Santosa mengaku sangat bangga dengan sajian empat karya seni pertunjukan kontemporer yang ditampilkan dalam LCSK itu. Keempat karya mahasiswa ISI tersebut adalah “Kara Perkara”, “Di Atas Waktu”, “Kursi-kursi”, dan “Karenamu” ditimbang dan ditimang dalam sarasehan itu sebelum diumumkan peringkatnya. Dilandasi oleh agumentasi yang analitis-konpresensif, ditetapkan sebagai juara I adalah seni pertunjukan kontemporer “Karenamu”, karya mahasiswa semester VII gabungan jurusan tari, karawitan, dan pedalangan.
Secara konsepsi artistik, keempat karya seni yang disodorkan dalam lomba itu menghargai keseteraan tiga disiplin seni (tari, musik, teater) tanpa sekat. Pun secara tematis, keempatnya mengguratkan arah pesan moralistik yang lazim menjadi muatan seni kontemporer. “Kursi-kursi” (juara II) misalnya secara simbolik satiristik menyajikan makna kursi dalam perspektif masyarakat kekinian. Jika saja makna kursi sebagai sebuah kekuasaan diberi aksentuasi estetik yang lebih menukik, karya seni ini akan lebih menghentak dan menggetarkan hati nurani penonton.
Seperti etimologi namanya, “co” bersama dan “tempo” waktu, seni kontemporer adalah seni masa kini yang di dalam ekspresi instrisik dan ekstrinsiknya mencerminkan wajah kekinian, bebas dari orientasi dan referensi seni yang telah mempola. Dalam perjalanan di Indonesia, di Bali khususnya, seni kontemporer belum menunjukkan eksistensi yang melegakan. Tahun 1970-an adalah periode penting bagaimana masyarakat Bali menanggapi kehadiran seni pertunjukan kontemporer. Sardono W. Kusomo yang menawarkan elemen-elemen seni kontemporer pada seni pentas Cak di Banjar Teges Kanginan, Ubud, pada 1972, tak diperkenan oleh unsur pemerintah Bali untuk pentas di Jakarta.
Tahun 1977, tari kontemporer karya I Wayan Dibia, “Setan Bercanda” juga mengundang polemik seru di surat kabar lokal. Namun ketika menguak garapan gamelan kontemporer “Gema Eka Dasa Ludra” karya I Nyoman Astita, 1979, tak ada sikap kontra yang menyongsongnya. Sejak itu dan hingga kini, toleransi masyarkat Bali terhadap ekspresi seni pertunjukan kontemporer tetap kondusif.
Hanya, sayang, seni tradisi yang relatif kuat eksistensinya di tengah masyarakat Bali yang mungkin mengebiri dan memarginalkan aliran kesenian ini seperti tampak di arena PKB. Kiranya, diperlukan strategi dan pembacaan yang lebih tajam dalam memposisikan seni pertunjukan kontemporer di tengah dinamika budaya kekinian Bali.
***