Djoko Pitono *
jawapos.com
MENGAPA banyak pemimpin tidak adil, korup, dan lebih memikirkan kepentingan sendiri? Salah satu jawaban atas pernyataan itu, mereka tidak membaca karya-karya sastra yang baik. Tidak percaya? Anda lihat sendiri di sekeliling Anda. Amati mereka. Kalau perlu, buat semacam penelitian secara sederhana.
Sebaliknya, banyak pemimpin terkemuka yang merupakan pembaca sastra yang baik. Entah sejarah, biografi, surat-surat, puisi, atau cerita-cerita fiksi.
Mengapa sastra sangat penting? Menurut novelis Inggris C.S. Lewis (1898-1963), sastra menambahkan (sesuatu) pada realitas, tidak hanya melukiskannya. Sastra memperkaya kompetensi penting yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, sastra mengairi kehidupan kita yang telah berubah menjadi gurun pasir. Pujangga terkemuka Jerman Johann Wolfgang von Goethe secara tersirat menyalahkan para pemimpin ketika sebuah bangsa mundur. “Mundurnya sastra menunjukkan mundurnya sebuah bangsa,” kata Goethe.
Alexander Solzhenitsyn, pengarang Rusia pemenang hadiah Nobel Sastra 1970, mengatakan, hanya ada pengganti pengalaman yang tidak kita punyai, yakni seni dan sastra. Sementara itu, Alfred North Whitehead (1861-1947), filsuf dan ahli matematika Inggris, menegaskan, “Hanya dalam sastra pandangan konkret tentang kemanusiaan memperoleh ekspresinya.”
Tetapi, itu kan omongan para sastrawan? Mari kita ambil contoh salah seorang pemimpin terkemuka Amerika Serikat, Jimmy Carter. Selain dikenal sebagai presiden ke-39 AS, Carter adalah pemenang hadiah Nobel Perdamaian 2002. Dia juga pensiunan laksamana.
Bila kita perhatikan kehidupan Carter 30 tahun terakhir, betapa besar perhatiannya pada isu-isu keadilan. Saat militer Amerika menyerang Iraq, Carter sangat sedih. Dia bahkan marah atas kebijakan keras Amerika di bidang keamanan setelah serangan terhadap WTC, New York, pada 11 September 2001.
Sejak menjadi presiden AS pada 1976, Carter dikenal sebagai pemimpin yang gigih memperjuangkan perdamaian di berbagai negara yang dilanda konflik. Adalah Carter yang memungkinkan perdamaian antara Mesir dan Israel setelah para pemimpin kedua negara berunding berhari-hari di Camp David. Namun, Carter justru dimusuhi lobi Israel yang merasa dirugikan sehingga dirinya tersingkir dalam pemilu 1979 oleh Ronald Reagan. Meski begitu, semangat Carter tak pernah surut dalam memperjuangkan perdamaian.
Berita besar terakhir yang menyangkut Carter terjadi pada 2006, saat dirinya menerbitkan buku Palestine: Peace Not Apartheid. Dalam buku yang diterbitkan Simon and Schuster itu, Carter mengkritik keras berbagai kebijakan Israel atas rakyat Palestina. Buku tersebut dikecam keras oleh Israel dan lobi Israel. Tetapi, pendirian Carter tetap kukuh.
Orang-orang mungkin bertanya, apa yang membuat hati Carter begitu halus dan peka? Jawabannya ternyata terkait dengan kedekatan Carter dengan dunia sastra, terutama karya penyair Dylan Thomas. Rasa kagum Carter pada sajak Dylan Thomas bermula di sebuah karung pupuk. Pada 1954, di bengkel belakang pabriknya, pengusaha kecil di Plains, Georgia duduk di atas karung itu dengan penuh perhatian.
Sebenarnya, laki-laki yang juga dikenal sebagai petani kacang tersebut agak iseng. Saat itu pembeli tidak banyak dan dia sendirian, lalu membaca sebuah kumpulan karya penyair modern. Tiba-tiba dia tertarik oleh sebuah nama yang sebelumnya tidak dikenalnya, Dylan Thomas, yang hidup mulai 1914 hingga 1953.
Seperti ditulis Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 11 Februari 1978, Carter sebenarnya tidak memahami puisinya. Tapi, sebuah baris sajak tersebut memukau dia. “After the first death, there is no other (Setelah kematian pertama, tak ada lagi yang lain).”
Sejak saat itu, Carter sangat ketagihan membaca puisi-puisi Thomas, menelaah, dan mendiskusikannya. Pada 1974, saat menjadi gubernur Negara Bagian Georgia, petani kacang tersebut bahkan menggelar beberapa pertemuan di gedung legislatif. Sekitar 12 senator negara bagian itu diundang untuk mendengarkan rekaman suara Thomas yang membacakan puisinya.
Goenawan menulis, aneh memang. Thomas, penyair Welch yang sakit-sakitan serta dibelit utang dan alkohol, yang kemudian mati di New York pada usia 39 tahun, bukanlah penyair untuk para senator. Puisinya bukan puisi politik, juga tak ada protes sosial. Namun, puisinya memukau karena kata-katanya secara simultan menggetarkan bunyi dan melontarkan kekayaan gambaran ke dalam hati.
“Sulit menghubungkan sajak-sajak Dylan Thomas dengan pemerintahan praktis,” kata Carter, yang saat itu menjadi presiden AS, kepada penyair Harvey Shapiro, editor The New York Times Book Review yang menemuinya di Gedung Putih pada 15 Mei 1977.
Carter terus mengingat sebaris sajak Thomas yang fenomenal, “Hands have no tears to flow…(Tangan tak punya air mata yang akan mengalir…)”
Bagi Carter, apa arti baris itu? Apa pula arti kata-kata Thomas yang dia kutip dalam kata pengantar otobiografinya?
Great to the hand that holds dominion over.
Man by a scribbled name.
Carter mengatakan, “Bagi saya, itu berarti seorang kuat dengan daya terobos yang kukuh terhadap sebuah bangsa… dapat bersifat tak sensitif (kepada perasaan orang lain).”
“Terpisahnya kekuasaan dari rakyat kadang tak diketahui para pemimpin yang kuat. Sifat tak peka yang memang sudah terkandung dalam uap kekuasaan seharusnya merupakan peringatan bagi kita…” kata Carter pula. Hands have no tears to flow.
Goenawan benar. Salah satu potensi baik dalam diri Carter adalah kecenderungannya bertanya tentang keadilan. Mengutip ahli teologi Kristen Reinhold Niebuhr, Carter mengatakan bahwa tugas sedih politik adalah harus membangun keadilan di dunia yang penuh dosa. “Kapasitas manusia untuk berbuat adil mengakibatkan demokrasi mungkin; kapasitas manusia untuk sewenang-wenang mengakibatkan demokrasi perlu,” ucapnya.
*) Jurnalis dan editor buku.