Sabrank Suparno *
Hari ini aku ingin lelah.
Dan memijit-mijit punggungku. Terasa memang ada gumpalan, benjolan cinta terkurung salju.
Di lorong rimbun melesat gelap, giat mengayuh sejarah, meski serpihan bongkah berkelebat.
Di pusat sulfur ternyata ribuan cacing hidup makmur. Ouw… di titik beku es saja penguin hidup di kutub kok… Tapi dia… lelaki setengah renta itu keluar kampung, menyeret bangkai sapi. Sang pemuda malah berteriak! Aku selalu membuat dinding fitnah di setiap face book dan internet saya…!’’
“Kamu ingat cewek berkacamata itu?’’ Dia mengaku keluar dari persembunyiannya. Langkahnya hanya menghunus amarah. “Mas! Kenapa sih setiap orang merasa bangga, kalau aku lagi kena marah? Mereka puas ya dengan kesalahanku..!” Seru tanya wanita itu. Merytcomplex… yahh… merytcomplex. Memamah-pamah, mengumbar benci di sekalian saja.
Itu lho..gundukan sampah! Dan lalat berkerubung berterbangan. Weng..! weng..! Apakah secanggih lalat kecepatan take of pesawat tempur Amerika. Laba-laba lebih cerdik menagkap bau narkoba ketimbang mesin detector.
Hitung jenis cara hidup di bumi. Ada hewan melatah, selebihnya terbang di angkasa. Keduanya sama-sama memakai empat reseptor otak. Namun karena terlalu lama melatah, terlalu sengsara, terlalu didesak ekosistem alam, terlalu terhimpit kepentingan, dan terlalu berjuang dengan kontemplasi jiwanya sendiri, maka mereduplah, pudar, lemah dua bagian reseptor otaknya. Yang ia lakukan tinggalah melihat dan merasa untuk memahami makna. Sedangkan yang terbang tidaklah menurun kapasitas merawat kelebihan dirinya. Burung masih mengerti ilmu spectrum warna, yang tak dapat dilihat lagi bagi kawanan melata. Burung mengetahui kalau di balik daun ada seekor ulat. Camar super pra peka di beberapa menit lagi ikan nenggak ke permukaan meski sejenak. Hingga incaran bidiknya, penyergapannya, jarak tempuhnya tepat.
Aku ingin lelah saja…
Mandi berbalur keputusasaan
Sebatang sabun bleng-bleng
Dengan busa kerancuhan.
Tiba tiba a menjadi i, dan o menjadi u. Tiada lagi atap langit, atas bawah, karna di bolak-balik atas bawah sama saja. Bukankah setiap karya harus”bilboril..! Ditarik ke kanan~obsesi dunia. Ditarik ke kiri~bertemu di puncak sufi. Ataukah hilang lebur di nol. Angka dengan nilai tinggi dari sembilan. Apa? Apa yang terasa, jika sudah tak lagi laki-laki, dan tak lagi wanita. Setelah beberapa detik lalu telanjang di ruang cinta.
Saat kerikil jatuh bergulir ke kubang telaga. Sepasang mata mencurinya dari balik dedaunan. Clungg…, riak gelombang melingkar-lingkar. Dari bulatan kecil menjadi lebar.Berkali-kali dan hilang di tepi.Yang mana?..kecil, kengah, atau besar? Tentu saja yang besar… paling kasar sebagai tampilan wajah. Meskipun yang kecil terus dapat dibagi dan dibelah. Gelombang transfersal hilang menjadi wajah. Satu lingkaran gelombang satu wajah. Dan hanya ada satu lingkaran besar dari ribuan tak terbatas lingkaran kecil.
Waktu terus mengajari kita bertepuk tangan. Melunasi hutang tujuh musim. Kemarau, hujan, gugur, semi, musim gempa, stunami, dan demonstrasi.
Setiap saat selalu ada yang datang mengunjungi sejarah. Meski tak pernah faham, lega juga rasanya. Kehausannya terhadap waktu membuat mereka menggerogoti sebungkul memori. Cucu imut itu berseru tanya. ”Ada apasih Kek dengan alang-alang dan sumur tua ini. Kok Kakek sering mengajakku ketempat ini?”.”Ooo… ditempat ini dahulu Kakek bertemu Nenek” Meski setengah faham si mungil segera melipat jawaban kakeknya di balik lembar permainan.
Kala mata menatap angkasa, tidaklah tercatat di langit dan kitab suci, yakni rindu kampung halaman. Rindu ingin pulang.
Aku ingin lelah saja
Sebab kuat tak lagi menyangga.
Betapa tidak lelah! Kolom-kolom harian surat kabar tak cukup memuatnya. Dimana rumus dibikin buntu. Gerak dibikin kaku. Ruang dibikin kerucut. Imajenasi, edial, jenial absurt. Padahal di belahan sana, atom berputar semakin cepat, semakin aus pula suatu benda.
Bimsalabim habragadabra.
Apa yang bisa kau hasilkan dari puisi dizaman yang tidak menentu ini? Aabragadabraa.Ribuan kolang-kaleng berubah menjadi emas. “Ambil semua jika inginmu jarah dunia”. “Tida…kk! Betapa tolol jka kuambil emas itu. Tidakkah aku gaet yang bisa ubah kolang-kaleng. Bukankah yang bisa segalanya Maha Kaya dari seluruh inginku.”
Ambradoozz… Ambradoozz
Sebuah mesin usai dirancang. Tinggal terap, tinggal pasang. Dari sebuah bilik kecil ditengah hutan Amazone. Sambil berguru pada tingkah harimau, si raja rimba. Stiegholder… yah stiegholder. Bukan sejenis anjing bengis. Hanya otak yang anjing bengis. Desain miniature file komputernya. Tuhan diacak lakonkan games. Desir lirih bibirnya. ”Tuhan sibuk urusi alam semesta, biar aku bantu bentangkan benua dan tujuh samudra. Negara A bermain petak umpet. Negara B obak shoutdoor, dan C ongkong-ongkong bolong.”
“Indonesai bagaimana tuan?”. Ha ha ha..Indonesia itu bagai wanita gemulai, bermata binal, pantat bahenol, tidur terlentang tak pakai BH. Dan enjoinya..! Beredia disetubuhi siapa saja dan kapan saja ha..ha..ha..Pejabat dan para pelaku sejarah di Indonesia sana memang ingin bangkit. Tapi dari lingkungannya. Dan bukan dari negaranya. Mereka adalah anak-anak yang lahir dijaman susah. Dan ketika besar kemiskinan menghantuinya. Kelaparan yang mereka tanam berpuluh puluh tahun dipanen dengan keranjang keserakahan.
Kumparan kutub. Gerakan hidup, hanyalah microkosmos. Berputar diujung remote. Dalam ruang mikro bersemayam makro. Daaan..saat makro memusat ..jadilah mikro.
Aku ingin lelah saja
Larut bersama putaran roda.
Ambillah titik! Tarik garis diagonal, ke-atas bawah, dan samping. Seberapa tinggi dari titik, sedalam itu pula jatuh. Apakah benda benda bisa tidur? Bukankah hanya bersiap untuk tertidur. Sebelum di tidurkan untuk selesaikan telah. Titik kuntum energi pusat. Nol itu bukan bulat. Tetapi kosong tak berlingkaran. Imajinasi terka mulai meramba? Makluk kah itu? Bukan jin, syaitan, malaikat, dewa bahkan manusia. Ia bersemayam di lempengan bumi dan daya gravitasi.
Ia lahir sedetik kemudian, saat kuantum terpecah bersamaan dengan gagang cambuk di tangan perkasa. Ujungnya meliuk di angkasa.daan! “cetheearr, jedhearrr berkilauan-kilatan cahaya. Menyambar- nyambar pyung… pyung… pyung kertip- kertip, kertip- kertip. Bertaburan di sekitar pusat jegleran. Ke arah itu sang Semorobumi angkat telunjuk. Nuding menunjuk, tapi bukan pada siapa- siapa. Hanya pada dirinya. Yahh pada dirinya sendiri.
Itulah cakrawala dan jagat raya.Membekunya pyung… pyung… menjadi benda.Alam semesta itu luaass, tapi masih jauhh. Bahkan masih sangat jauuhh dari gagang pecut. Apalagi pemegangnya. Titik pusat cetheeran itu berbentuk alsion. Alsion adalah suatu ruang gelap di tengah ganesa yang ruangnya tak selesai di tembus dalam perjalanan berjuta tahun cahaya. Bulatan ruang hitam itu dilapisi suasana kabut. Yang luasnyapun tak selesai di ukur. Arus deras arus dahsyat. Tak satupun kekuatan mengelak. Seluruh energi gravitasi pergerakan cakrawakla terserap padanya. Satu titik ke hanya satu titik . yakni pusat ketidak berdayaan. Keruang ini setiap ruh di sadap.
Berterbangan dan berseliweran. Ruh mikroba. tengu, cacing, gugusan ganesa, super classter, tak ada yg tersisah. Rancangan besar tersusun sempurna. Agar ada alasan untuk berkilah, meskipun aku bangun alam semesta ini dengan main- main, tetapi aku tak main-main silahkan hidup semaumu, termasuk surga atau neraka.
Berguru dari burung terciptalah pesawat terbang. Melihat angsa jadilah kapal. Kreta api menyerupai kluding. Satu benda satu wajah. Replikasi prototype. Manusia dan peradabannya meniru siapa? Tidak lain dan tidak bukan, tidak salah dan mungkin benar, tidak curiga dan pasti nyata hanyalah semata meniru Alloh Sang Maha Mereferentasi. Hanya saja yang perlu kita ragukan adalah apakah yang kita tiru selama ini benar dan tepat seperti yang kita inginkan? Ataukah masih salah dan bahkan penuh kecacatan.
Dari abad nol hingga kini, telah kita temukan gelaran mode, dekaden, zaman, sejarah, dan peradaban. Namun pentas panggung yang diperankan manusia penuh dengan kenakalan, padat dengan kecacatan. Sehaingga yang kita temukan adalah manusia manusia yang mengalami kegagalan replikasi dari Tuhan ke peradabannya,sehingga yang sanggup kita bangun adalah manusia cacat, masyarakat cacat, Negara cacat, pemerintahan cacat, hati cacat, akal cacat, mental cacat, moral cacat, kebatinan cacat, thoriqoh cacat.
***
*) Sabrank Suparno, petani, pencetak bata, cerpenis, kolomnis dan pemerhati budaya. Aktif di Komunitas Padhang mBulan dan bergiat di Lincak Sastra Dowong. Beralamat di Dowong, Desa Plosokerep, Sumobito, Jombang, Jawa Timur.