Buku Kumpulan Budak Setan

: Melacak Jejak Horor Abdullah Harahap

Akhmad Sekhu
suaramerdeka.com

Masih ingatkah Anda pada Abdullah Harahap? Bagi Anda yang menyukai cerita-cerita horor sekitar tahun 70-80-an tentu ingat betul Abdullah Harahap yang selalu bercerita seputar balas dendam, seks, pembunuhan, serta motif-motif cerita setan, arwah penasaran, objek gaib (jimat, topeng, susuk), dan manusia jadi-jadian.

Tapi bagi Anda yang tidak ingat karena tidak tahu, jangan khawatir karena Anda sekarang akan diajak tiga penulis muda berbakat; Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad untuk melacak jejak cerita-cerita horor yang diusung Abdullah Harahap dalam sebuah buku berjudul Kumpulan Budak Setan.

Dari membaca judul bukunya dan tampilan sampulnya menampakkan perempuan berwajah seram dengan berceceran darah, kita dibuat merinding, apalagi untuk membaca cerpen-cerpen di dalamnya. Tapi kembali saya mengingatkan Anda untuk tidak khawatir karena ketiga penulis itu tidak sekadar mengulang cerita-cerita horor, melainkan dengan penuh kesadaran mengambil sudut cerita yang aktual dengan keadaan sekarang.

Semakin penasaran bukan? Seperti apa cerpen-cerpen horor di dalamnya yang dikatakan aktual dengan keadaan sekarang? Lalu apa yang sebenarnya ditawarkan dari buku kompilasi cerpen ini?

Membaca Ulang, Menakar Kebebasan

Meski penulisan buku ini berangkat dari membaca ulang karya-karya Abdullah Harahap, tapi serta-merta terjebak tema cerita-cerita horor yang diusungnya, karena ternyata ketiga penulis tersebut sepertinya mencoba menuntaskan dahaga penasarannya untuk kemudian menakar kebebasan bercerita yang tentu sesuai dengan daya kreatif mereka masing-masing. Mulai dari Eka Kurniawan yang pada 2004 menulis cerita horor Manusia Harimau itu tidak melulu mengangkat perihal mistiknya, seperti pada cerita “Jimat Sero” (hal 31-41), tapi ia mencoba sesuatu yang baru dengan gaya khas berceritanya untuk menguji kekuatan gaib jimat itu.

Ada logika yang Eka pakai dalam bercerita untuk tidak serta-merta langsung menyimpulkan bahwa benda bernama jimat itu memang memiliki kekuatan ghaib, tapi lebih pada keadaan psikis tokoh utama aku yang dialaminya ketika berhadapan dengan lawan cerita di dalamnya yang membuat jimat kemudian punya “kekuatan”. Akhir cerita bahkan dibuat sangat mengejutkan karena yang memberinya jimat, istilahnya “memberi kekuatan lebih pada dirinya”, justru kemudian berkhianat dengan meniduri kekasihnya, tapi ia tidak dendam, tapi hanya membiarkannya. Anehnya bahkan ia senang-senang saja.
Akhir cerita seperti ini mungkin “menjadi lain” kalau di tangan Abdullah Harahap.

Begitu juga dengan Intan Paramaditha yang pernah menulis kumpulan cerita horor Sihir Perempuan (2005). Salah satu cerpennya “Goyang Penasaran” (hal 43-58) yang mengangkat cerita keseharian di masyarakat kita, yaitu tentang tokoh utama Salimah, penyanyi dangdut yang mati tragis sekali karena digebuki massa. Sebuah cerita yang sebenarnya kental mengenai seksualitas dengan dibumbui adanya intrik-intrik politik, tapi dikemas dengan cara berbeda karena di akhir cerita Intan sekilas “membangkitkan” Salimah dengan pesona cerita yang tetap menampilkan Salimah menggoda dengan goyangan erotis sehingga membuat orang akan selalu penasaran.

Gaya bercerita seperti itu tampaknya pengaruh dari cerita film horor ala Barat yang tidak serta-merta berhenti pada seorang tokoh antagonis mati, tapi pada pesona kisah tokoh yang menarik perhatian penonton agar penonton penasaran.

Meski sekilas tapi akan tetap membekas sehingga terbuka peluang untuk sambungan cerita berikutnya. Mungkin karena Intan pernah melakukan penelitian dan kemudian dibukukan tentang film terkait dengan wacana politik, seksualitas, dan (trans)nasionalisme.

Keinginan Bebas

Adapun Ugoran Prasad tampak mengangkat fenomena sadisme yang sekarang semakin menggejala terjadi di masyarakat kita. Simak saja cerpennya “Hidung Iblis” (hal 153-170). Simak pula tokoh utama Mirna yang narsis begitu dingin dengan suaminya hingga sampai pada kematian sang suami ia tidak bersedih karena suami dianggapnya sebagai seorang budak.

Seperti pada pengantar buku ini, ketiga penulis menyadari sebagai budak sejati, mereka juga berada di tengah-tengah: antara keinginan untuk merdeka dan kesetiaan tak terjelaskan. Kita tentu cukup mengerti, sebagai penulis kreatif tentu mereka ingin kebebasan dalam mengunakan imajinasi dan kemudian menuangkannya dalam tulisan, meski mereka harus tetap mengacu pada karya-karya Abdullah Harahap.

Nama Abdullah Harahap memang tidak menjadi bagian dari kanon sastra Indonesia, tapi karya-karyanya meski dinilai sebagai novel horor “picisan” tampak melekat di hati masyarakat. Ini memang kasus serius yang tetap menghinggapi dunia kepenulisan kita di Indonesia sehingga masih muncul dikotomi antara pop dan sastra. Ada yang masih tetap di wilayah pop karena dengan begitu masyarakat pembacanya tetap banyak, tapi ada juga yang tetap “serius” di wilayah sastra meski karyanya tidak dilirik masyarakat karena memang ia n menyakini jalan ditempuhnya adalah “jalan sunyi” .

Penerbitan buku ini semoga bisa menjembatani kedua kubu itu. Bisa disebut sebagai karya pop yang sastra atau sastra yang pop. Bahkan bisa juga punya kubu sendiri karena seperti keberanian mereka memilih tema cerita horor. Begitu juga dengan karyanya karena ceritanya realitas terjadi di tengah masyarakat, tapi tidak melulu menceritakan hal-hal yang ada di permukaan, melainkan lebih ke dalam lagi pada perenungan mereka yang mendalam tentang hidup dan kehidupan.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *