Buku Tuhan ke Mana Cinta

Pertanyaan Lembut Perihal Cinta

Mukti Sutarman Espe
http://suaramerdeka.com/

Sekitar 30 tahun silam, saat memulai karier di dunia penulisan kreatif, Hendrio Utomo atau yang populer dengan nama pena Handry TM, lebih banyak menulis cerita pendek daripada puisi. Saat itu, ada dua orang penulis usia muda yang malang-melintang di jagad kepenulisan Semarang; yakni Timur Sinar Suprabana dan Handry TM. Masing-masing kondang sebagai penyair dan cerpenis.

Pada proses perkembangannya, kemudian Handry melebarkan langkah merambah ranah penulisan kreatif esai remaja, novel bahkan skenario film.
Dalam ukuran penulis, di ranah itu Handry berhasil mengibarkan benderanya. Terbukti dengan diterbitkannya beberapa buku kumpulan esai remaja dan sejumlah novel serta skenario film yang diikutsertakan dalam lomba mendapat penghargaan sebagai juara.

Maka bila kemudian penyair bertubuh tambun itu mendadak menerbitkan buku kumpulan puisi pribadi, Tuhan ke Mana Cinta, penulis merasa kaget sekaligus cingak. Benar, bahwa dalam perjalanan karier kepenulisannya Handry juga menulis puisi, tetapi itu dilakukan sesekali dan dengan sekadarnya. Cuma sebagai selingan, pengusir penat dan jenuh di tengah kesuntukkannya menulis prosa.

Terlepas dari serius atau tidaknya saat menulis puisi, Tuhan ke Mana Cinta adalah bukti konkret bahwa Handry bisa menulis puisi bagus. Buku bersampul dominan warna hijau teduh, bergambar perempuan bersayap dan bergaun putih –entah sosok bidadari atau peri itu memuat 98 puisi, yang terbagi dalam tiga kurun waktu penulisan. Tahun 1981-1990: 30 puisi, tahun 1991-2000: 17 puisi, tahun 2001-2009: 41 puisi.

***

Dalam 30 puisi yang tercipta dalam kurun waktu 1981-1990 Handry mengabadikan kenangan yang sarat kesepian dan kesendirian tatkala usianya beranjak remaja.
Bacalah puisi pendek ini, bulan berlayar/tanpa desau,tanpa igau/angin semilir di ingatan/tanda masa/lepas di belantara//di semak perdu/aku tertidur, melayang jauh/menunggu cintamu//(?Bulan Berlayar?).
Atau bait ini, bermain-main sabun/di kamar mandi/terasa sunyi kian menepi/kanakkanak terampas/di saaat kurindu// (?Jl Abimanyu IV?). Juga kuplet ini, maafkan aku//tujuan kita sungguh berbeda/kau alam yang bernyanyi/aku desah sepi sendiri//

Nuansa sepi sendiri itu, meski samar, masih mewarnai puisi-puisi Handry yang tercipta dalam kurun waktu 1991-2000.
Perbedaannya dengan puisi-puisi yang dicipta sebelumnya, latar sentuhan puitik peristiwa yang mengilhami penyair lebih variatif dan digarap secara ?dewasa?.

Artinya, dalam kurun waktu itu Handry sudah mulai tertarik untuk merenungkan peristiwa atau perjalanan jiwaninya. Menjelajah tempat-tempat yang indah dan menawarkan rasa rindu, yang mampu membangkitkan ingatannya akan hakikat iman bahkan Tuhan.
Hal itu bisa dibaca dalam puisi berjudul ?Mainsteram?, ?Lembah Anai?, ?Mighrab Nabawi?,?Tawaf Malam?, ?Tuhan yang Kulupakan?, dan ?Tuhan Mengajakku?.

Selain itu Handry juga berani bicara soal ajal dan sakit dengan jujur dan bernyali. Bacalah bait puisinya ini, berikutnya: batu nisan yang papa/penguburan yang lama/kematian yang tak kentara/di mana ujung pangkalnya//(?Partitur di Atas Makam?). Masih soal kematian ia menulis lagi, sepucuk surat/kutulis untukmu/bersama deru sakitku/barangkali ajalku/menunggu/tak sanggup lagi/puisiku/menenangkan/panik/hidup penuh debumu//(?Surat Segi Empat?).

Puisi-puisi yang tercipta dalam kurun waktu 2001-2009 kebanyakan tak jauh beda dengan puisi-puisi yang tercipta sebelumnya. Tema yang melatarinya masih soal personalitas penyair manakala merasakan sentuhan estetik dari cinta, kasih sayang, kesendirian, dan kerinduan. Semua itu ditulis dengan, pinjam istilah Sitok Srengenge, gaya ungkap yang bersahaja. Kuyub dengan romantisme khas Handry.

Akan tetapi benarkah sama sekali tak ada perbedaan antara puisi-puisi yang dicipta Handry pada tahun 2001 hingga 2009 ini dengan puisi-puisi sembilan tahun bahkan delapan belas tahun sebelumnya?

Meskipun tak banyak, perbedaan itu ada! Bila dicari secara cermat perbedaan itu terdapat dalam diksi dan metafor yang digunakannya. Pada beberapa puisi yang dicipta belakangan Handry terkesan ?main-main? dalam menggunakan diksi dan metafor.
Simaklah baris ini, ninggalin rumah.
Diksi ninggalin di baris ini sungguh serampangan. Pasalnya kata itu digunakan nirfungsi, tidak untuk mengejar rima atau daya ungkap. Kalaupun Handry berkeinginan agar puisinya berdaya bahasa gaul, kiranya penggunaan yang cuma satu kata itu sungguh kurang berarti.

***

Lalu perihal penggunaan metafor.
Dalam puisi berjudul Donat, Handry menulis begini, di mal kuingat kamu/wajah gembul serupa donat/.
Terasa lucu dan segar memang, tetapi manakala kita bicara bahasa standar etika dan estetika konvensional, tentu metafor donat untuk wajah gembul itu kurang kena.

Satu lagi perbedaan yang dijumpai, yakni daya ungkap Handry yang begini: sebuah desember mencair di segelas es// (?Hanya Sunyi?). Pun dalam bait ini, sebatang pensil di meja belajar/ujungnya sungguh terluka/tatkala kemarin kutulis berbaris marah/tentang cinta//(?Pensil?). Demikian bernas dan imajis. Jauh dari citarasa bersahaja.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, lewat Tuhan ke Mana Cinta, Handry mau bersapa dengan dirinya, kenangan dan masalalunya.
Pun dengan masalalu kita, yang barangkali memiliki suasana cerita yang tidak berbeda.

Terakhir, buku kumpulan puisi karya Handry TM ini perlu dibaca sekaligus diapresiasi oleh mereka yang berjiwa romantis. Pribadi yang selalu merindu dendam terhadap warna-warni masalalu yang indah sekaligus manis.

Leave a Reply

Bahasa ยป