Teguh LR
suarapembaruan.com
Ny Hajah Sulistina Sutomo, ketika menerima potongan tumpeng dari Kepala Stasiun RRI Programa I Surabaya, Drs HM Natsir Isfa MM di gedung RRI Surabaya, Senin (10/11), dalam rangka syukuran gelar Pahlawan Nasional.
Pertempuran heroik antara Arek Suroboyo melawan tentara Inggris dan Sekutu, mencapai puncaknya pada 10 November 1945. Perang lokal tidak seimbang, untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno (Bung Karno), 17 Agustus 1945.
Tentara Inggris menggunakan pesawat tempur lengkap. Mereka membombardir dari udara, laut, dan darat. Masih dilengkapi juga dengan senjata laras panjang semi- otomatis, bom, dan granat. Sementara Arek Suroboyo, menggunakan peralatan perang seadanya, berupa bambu runcing, ketapel dan batu.
Dengan hanya bondho nekat (modal tekat), tidak ingin kaum penjajah menjajah kembali bangsa dan negara kita. Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan harga mati, yang harus tetap di- kawal, serta dipertahankan.
Semboyan Merdeka atau Mati, menggelorakan semangat juang mempertahakan kedaulatan negara. Ribuan warga yang meninggal, men-jadi simbol keberanian yang tiada taranya.
Karena itu, Pemerintahan Bung Karno, menetapkan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya sebagai Hari Pahlawan. Surat penetapan bernomor 9/Um/1946 tanggal 31 Oktober 1945 ditandatangani Bung Karno dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin, mulai berlaku.
Ironisnya, meskipun pertempuran 10 November 1945 ditetapkan sebagai Hari Pahlawan, tetapi sampai 63 tahun usia kemerdekaan bangsa kita, Surabaya belum mempunyai Pahlawan Nasional. Baru pada Hari Pahlawan 2008, kota yang warganya gagah berani melawan penjajah ini, resmi memilikinya.
Dari sekian banyak tokoh pejuang, terdapat nama Bung Tomo (Sutomo). Perannya dinilai besar dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Di depan mikrofon Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia di Mawarstreat, pidato Bung Tomo, beberapa kali membakar semangat perjuangan Arek Suroboyo melawan tentara Inggris dan Sekutu.
Nama Bung Tomo, populer dan begitu melekat di hati warga kota. Karena itu, wajar jika pemerintah menetapkan Bung Tomo sebagai Pahlawan Nasional. Meskipun pemberian anugerah dinilai terlambat, tetapi paling tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah.
Berikut petikan wawancara SP dengan, Ny Hajah Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo, seusai mengikuti acara syukuran gelar Pahlawan Nasional di gedung Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya, bertepatan dengan Hari Pahlawan lalu.
Bagaimana komentar ibu Sulistina tentang pemberian gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah kepada Bung Tomo?
Saya menyampaikan terima kasih kepada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Tomo.
Rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada warga kota, lembaga swadaya masyarakat, dan RRI Surabaya, yang memprakarsai upaya perolehan gelar Pahlawan Nasional untuk Bung Tomo, akhirnya datang juga. Yang saya dengar, sudah dua kali elemen masyarakat mengajukan gelar Pahlawan Nasional kepada pemerintah, tetapi selalu gagal. Baru tahun ini gelar tersebut terwujud. Bung Tomo lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920, meninggal di Padang Arafah, saat menunaikan ibadah haji, 7 Oktober 1981.
Apakah keluarga Bung Tomo pernah mengusulkan gelar Pahlawan Nasional kepada pemerintah?
Bung Tomo selalu menekankan kepada saya dan anak-anak agar tidak minta gelar sebagai Pahlawan Nasional. Biar pemerintah berinisiatif, layak-tidaknya seseorang bisa mendapat anugerah dari pemerintah. Selama ini, keluarga besar Bung Tomo juga tidak pernah mempermasalahkan gelar tersebut. Bagi sebagian orang, gelar Pahlawan Nasional bisa menjadi sesuatu yang berprestise, tetapi tidak bagi Bung Tomo. Dia menginginkan dirinya menjadi pahlawan rakyat, biar rakyat yang menilai kepahlawanannya.
Rakyat sudah mengakui Bung Tomo sebagai pahlawan, tetapi pemerintah begitu lama memberikan anugerah. Bagaimana menurut Ibu Sulistina?
Sekali lagi, kami tidak mempermasalahkan diberi atau tidak diberi Gelar Pahlawan Nasional. Yang saya dengar, tidak mudah seseorang bisa mendapatkannya. Usulannya dilakukan secara berjenjang.
Dari sekelompok masyarakat diusulkan pada pemerintah kabupaten (pemkab) atau pemerintah kota (pemkot), diteruskan kepada pemerintah provinsi (pemprov). Persyaratan lainnya, tokoh yang diusulkan harus pernah diseminarkan.
Setelah itu, diusulkan pada Departemen Sosial (Depsos) di Jakarta. Derpartemen ini meneruskan pada tim pemberi anugerah jasa-jasa nasional untuk dikaji. Jika dianggap layak, maka sese- orang tadi bisa menerima anugerah. Karena prosedurnya rumit, pemkab/pemkot memegang peranan penting mengusulkan warga untuk menerima anugerah.
Apa yang membanggakan Ibu Sulistina, terhadap sosok Bung Tomo?
Saya mengaguminya. Bung Tomo orang cerdas, pandai berpidato, dan bertanggung jawab. Pada puncak pertempuran melawan tentara Inggris dan Sekutu, 10 November 1945, saya belum menikah dengannya. Saya menikah pada 19 Juni 1947. Kecerdasan dan jiwa kepemimpinannya sudah nampak sejak muda. Siapa pun saat itu bangga bisa ber-temu dengannya. Saya pun, bangga, bahkan beruntung bisa hidup berdampingan dengan Bung Tomo. Saya tercatat sebagai relawan Palang Merah Indonesia (PMI. Pertama kali bertemu Bung Tomo di markas Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya.
Sebagai pejuang mempertahankan kemerdekaan, benarkah Bung Tomo “kutu buku”?
Tiada hari tanpa membaca buku. Itulah Bung Tomo. Kepandaian yang dimiliki secara otodidak, karena kebiasaannya membaca buku. Buku apa saja dibaca, terutama soal-soal politik, Ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang dikerjakan sekarang. Belajar dan terus belajar prinsip hidupnya. Bung Karno, Presiden Pertama Republik Indonesia, beberapa kali memberi buku kepada Bung Tomo. Di samping “kutu buku”, Bung Tomo banyak menulis buku-buku tentang perjuangan dan politik. Berkat karyanya tadi, ia mendapat Satya Lencana Kemerdekaan dan Bintang Kemerdekaan.
Sikap yang diajarkan kepada putra putrinya?
Keras, tetapi bersolusi. Pendidikan kepada anak-anak menjadi prioritas utama. Keempat anak saya alhamdulillah sudah memiliki gelar kesarjanaan. Kepada anak-anak sering dikemukakan, angan selalu mementingkan diri sendiri, tetapi bebuatlah kebajikan yang bermanfaat bagi lingkungan masyarakat, bangsa dan negara. Ajaran tersebut selalu diingat anak-anak saya.
Perjuangan Bung Tomo, penuh pengabdian. bagaimana menurut Ibu Sulistina?
Pengabdian dan tanpa pamrih, menjadi pilihan utama ketika Bung Tomo, bersama tokoh dan warga kota lainnya berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa kita. Kiprahnya dalam perpolitikan nasional bukan sebagai bentuk dan ambisnya meraih kekuasaan, tetapi untuk mengabdikan diri bagi kepentingan bangsa dan negara.
Surabaya telah ditetapkan oleh Pemerintahan Bung Karno sebagai Kota Pahlawan. Bagaimana menurut Ibu Sulistina?
Penetapan Surabaya sebagai Kota Pahlawan, wajar diberikan untuk kota ini. Perjuangan Arek Suroboyo, dalam usahanya mempertahankan kemerdekaan, banyak memakan korban jiwa. Gedung-gedung penting peninggalan Belanda banyak yang hancur berantakan dibombardir tentara Inggris dan Sekutu.
Bagaimana dengan Surabaya sekarang?
Saya melihatnya sudah banyak kemajuan. Gedung bertingkat dan pusat-pusat per-belanjaan terus tumbuh di mana-mana. Tetapi, sedih, ketika ada bangunan bersejarah berubah menjadi pertokoan. Seperti gedung di Jalan Biliton 27, merupakan markas BPRI.
Sekarang berubah menjadi rumah toko (ruko). Yang harus dipikirkan Pemkot Surabaya, bagaimana kesan masyarakat agar penetapan sebagai Kota Pahlawan, di-imbangi dengan menjadikan gedung-gedung bersejarah sebagai cagar budaya. Tumbuhkan kreativitas, agar kesan Surabaya sebagai Kota Pahlawan berjalan beriringan dengan perkembangan zaman.
Kekompakan dan kebersamaan warga Kota Surabaya, apakah masih terjaga?
Saya berharap masih tetap terjaga. Tetapi, perkembangan zaman berjalan dinamis. Jika dulu pada masa penjajahan dan awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tidak banyak partai politik. Tetapi sekarang, jumlah partai politik terus bertambah, sehingga banyak kepentingan untuk menjaga kekompakan dan kebersamaan warga.
Bung Tomo sebagai tokoh pejuang, tetapi tidak bersedia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, mengapa?
Keinginan Bung Tomo sejak masih muda turun berjuang. Ia ingin selalu dekat dengan rakyat. Begitu sederhanya pikirannya, bahkan sampai meninggal pun Bung Tomo, tidak bersedia dimakamkan di taman makam nasional (TM), tetapi, minta dimakamkan di pemakaman umum agar tetap bisa dekat dengan rakyat.
***