Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=469
https://www.youtube.com/watch?v=BmKee0qAex8
Johannes Brahms (7 Mei 1833 – 3 April 1897) seorang komponis dan pianis Jerman, salah satu musisi utama zaman Romantik. Lahir di Hamburg, Jerman, namun banyak berkarya serta meninggal di Wina, Austria. Masa hidupnya sangat populer juga berpengaruh dalam dunia musik. Brahms membuat komposisi musik piano, ansambel musik kamar, orkestra simfoni pun untuk penyanyi pula paduan suara. Sebagai pianis mahir, sering menampilkan sendiri karya-karyanya secara perdana. Bekerja sama dengan penampil utama di masanya, termasuk pianis Clara Schumann (istri komponis Robert Schumann). Banyak karyanya bagian dari repertoar standar konser klasik hingga kini. Yang paling terkenal Wiegenlied, Op. 49 No. 4 (“Lagu Nina Bobo” dalam bahasa Inggris dikenal Brahms’ Lullaby) {dari http://id.wikipedia.org/wiki/Johannes_Brahms}
Brahms makin lama harum namanya. Orang-orang Jerman menyamakannya dengan Bach dan Beethoven, dengan bangga mereka mengemukakan ketiga B mereka. Seperti juga Bach pula Beethoven, Brahms tetap menjulang sebagai puncak karang di atas pasang, serta surut air dalam pujaan dangkal. Brahms mengalami tragedi hidup lain daripada Beethoven, Goethe, Schumann. Kalau ketiga seniman belakangan ini mengambil zat-zat seninya dari hidup penuh. Pada Brahms, musik mendapatkan resonansinya yang sedih kadang halus oleh kekosongan hati. Dante mempunyai Beatrice, Beethoven memiliki Unsterblich Geliebte, Rubens Helene Fourment. Dan Brahms? Tidak, tidak mengabdikan seorang kekasih. Orang tidaklah suka membicarakan yang menyelubungi hidupnya. Suatu misteri besar mengenai perasaan halus. Brahms dalam seluruh hidup mencintai istri kawannya paling akrab, cinta yang tragis dan sia-sia. {Ringkasan pendapat J. Van Ackere, di buku Musik Abadi, terjemahan J. A. Dungga, Gunung Agung Djakarta, tahun lenyap, judul buku aslinya Eeuwige Muziek, diterbitkan N.V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie}.
***
Musik Brahms selalu menyayat raga bathin sukma pendengar. Ada lengkingan jauh bergaung abadi di lereng lembah ke padang lara.
Tangisan terdalam mengirisi daging jiwa, mewaktu berhenti dalam kepulan emosi tak tertandai nan sulit dimaknai.
Jikalau sekuntum bunga sumekar, tidak dengan kefitrohan musti. Ada yang tertahan dari pancaran damai.
Hembusan langut mencekam kalbu, menggelepar perasaan pada amukan badai kecemasan.
Rintihan memegang pintu kayu, kadang bergelayutan malas di jendela waktu.
Seakan menarik-narik di tiang rumah berbatang bambu. Bersimpuh di lantai marmer bersimpan harum melati, melewati cela-cela wangi bencah tanah pertiwi.
Di rerongga nafas ingatan tersengal, tersedaklah kenangan kepada bayang-bayang kekasih lama.
Aku teringat film bertitel “Before Sunrise,” membayangkan Brahms berjalan-jalan ke sesudut kota Wina dalam proses kreatifnya.
Sambil mencatat sesuatu di lelembaran kertas usang, serupa foto Beethoven kerap nampang.
Atau duduk di atas batu pinggiran sungai, menikmati lelampu malam puitis, sesayu melantunkan musik kesendirian.
Iramanya pelahan setarikan sakaratul maut kasih sayang, ditinggal pergi kekasih pujaan.
Ditiup ribuan pilu, rindu paling dulu terngiang, menggebu sulit dihentikan. Tapi apa daya, realitas berlaku tak sama.
Terus melangkah memegang dada perih mengusap air mata, memasrahkan nasibnya dalam kesunyian lama.
Hanya jerit bathin menemani dendang ganjil penghibur hati. Sentuhan itu melestari, dari penggalan masa-masa dipukuli mata waktu paling keji.
Atas kuntuman lekuk tubuh wanita, Brahms menghadirkan irama musik penuh aura.
Kesakralan harum bunga, diruapi ruh puja kefitrian kodrat. Juga wewarna terpantul fitroh keindahannya.
Ada terkoyak dari segenap bathin suka, teriris kenangan purba.
Perpaduan nada-nada membetot akaran jantung, dihidangkan di cawan tragedi.
Menjelma suatu drama, kisah mengharukan mata memeras seluruh jiwa, demi diuntahkan ke pelbagai pesona.
Suara-suara lembut jauh memecah keheningan, ke ujung-ujung kedewasaan sedari dinaya penyesalan.
Lengkingan nada-nada menujah bencah rindu, mengirisi sepi menjelma sayatan detakan nadi.
Kisah kasih sayang sia-sia menemui muaranya, getir pahit dirasa, cemas langut menghantui jiwa insani.
Brahms memendam kayungyung kian pedih, setangisan para dewa yang dimurkahi Sang Kuasa.
Melayarkan tangis sejauh sungai di kota Wina, lembut tersapu angin dihantarkan daun-daun terjatuh guguran musim.
Musiknya melukiskan semua penuh sahaja, jiwa lestari atas kepahitan abadi.
Simfoninya membumbung dari ketinggian tanjung karang paling terjal, oleh hempasan ombak bathin menerjang lantang.
Pecahan bulir-bulir cahaya pasir, uap naik, asap dupa kecewa, berkabar ke negeri awan-gemawan.
Menyenggol hati sama-sama diterbangkan kepahitan. Atau tangisan bidadari, butiran air matanya dihantar geraian percumbuan halus.
Bumi-langit tiada beda. Brahms tak hendak berharap-harap, nyata jiwanya melampaui yang diwariskan kecewa.
Elusan peri dengan sendirinya menggarami perasaan. Seyogyanya insan saling berkasih, karena keberadaan jiwa-jiwa rumpil makluk di hadapan Sang Pencipta.