Djoko Pitono *
jawapos.com
”Jangan ada kegaduhan di sekitar makam. Presiden mengimbau masyarakat tidak termakan isu,” kata Habib Ali Habib Ali Zaenal bin Abdurrahman Alaydrus.
Habib Ali adalah salah seorang ahli waris Al Habib Hasan Muhammad Al Haddad atau yang dikenal sebagai Mbah Priok di Koja, Tanjung Priok, yang makamnya menjadi ajang sengketa hingga memicu insiden berdarah, Rabu pekan lalu.
Bersama Habib Salim bin Umar Al Attas, Habib Ali bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hanya berselang sehari setelah terjadi bentrokan antara anggota Satpol PP dan massa yang mempertahankan kawasan makam yang dikeramatkan itu.
Tiga anggota Satpol PP tewas dalam bentrokan itu, sekitar 150 orang lainnya terluka, tapi PMI masih menyelidik soal ini. Ketua Umum PMI Jusuf Kalla menegaskan harus ada tindakan hukum yang tegas dan adil terhadap siapa saja yang melakukan penganiayaan, pembakaran, maupun pembunuhan pada kerusuhan Priok.
Sudah lama Pemkot Jakarta Utara berencana menertibkan kawasan makam tersebut, yang sebagian tanahnya milik PT Pelindo II. Tetapi, ahli waris makam Mbah Priok menolak dengan alasan tempat itu adalah situs sejarah yang harus dirawat.
Presiden sebelumnya bereaksi atas terjadinya kekerasan itu dengan menyerukan agar rencana penertiban itu distatusquokan untuk dicari cara terbaik penyelesaiannya dengan melibatkan banyak pihak yang terkait.
Kedekatan SBY dengan masyarakat etnis Arab boleh jadi juga menjadi salah satu faktor di balik turun tangannya presiden dalam masalah ini. Juga diterimanya ahli waris Mbah Priok, yang disebut sebagai ulama penyebar Islam abad ke-18 di Betawi itu. Seperti diketahui, ada dua menteri keturunan Arab dalam kabinet SBY. Keduanya berasal dari golongan Alawiyin (habib atau sayid). Mereka adalah Menteri Sosial Salim Segaff Al-Jufri dan Menteri Perikanan dan Kelautan Fadel Mohammad..
Beragam komentar berseliweran setelah terjadi insiden berdarah itu di TV, koran, situs-situs internet, Facebook, dan sebagainya. Jusuf Kalla sebagai ketua umum PMI meragukan apa yang disebut sebagai ”ahli waris makam” karena tidak ada silsilahnya. Selain itu, status tanah makam itu adalah tanah wakaf. ”Ini tanah wakaf yang dipakai untuk kuburan dan di dalamnya ada 24.000 makam. Makam ini kemudian dipindahkan di Semper,” kata Kalla.
Menurut Kalla, jika benar ada ahli waris dari makam Mbah Priok tersebut, tentu jumlahnya akan banyak sekali karena makamnya sudah ada sejak 250 tahun lalu.
”Kalau benar ada ahli warisnya, ini tanah makam sudah diwakafkan. Jadi, kalau ada yang mau mencabut wakaf tersebut, berarti itu dosa besar karena mencabut wakaf dan seketika pahalanya putus,” kata Kalla.
Namun, terlepas dari itu, ada satu topik yang tampaknya makin menarik dibicarakan, yakni eksistensi orang-orang etnis Arab di Indonesia. Siapakah Al Habib Hasan Muhammad Al Haddad atau Mbah Priok itu? Mengapa makamnya dikeramatkan? Pertanyaan ini bisa dilanjutkan lagi, ada berapa banyak habib di Indonesia? Apa beda mereka dengan orang-orang Arab yang bukan habib?
Dari sejarahnya, orang-orang peranakan Arab di Indonesia umumnya berasal dari Hadramaut, bagian selatan Jazirah Arab yang dikenal sebagai Yaman. Dalam bahasa Ibrani, Hadramaut disebut Havermavt, sementara dalam Alkitab (Injil) disebut sebagai Hazarmaveth (Kejadian: 10-26-28).
L.W.C. van den Berg dalam bukunya Le Hadhramout et. Les Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien yang terbit pada 1886 mengupas panjang lebar tentang Hadramaut dan kota-kota di Indonesia yang berpenghuni orang-orang etnis Arab pada akhir abad ke-19.
Tetapi, hanya sedikit orang keturunan Arab yang pernah berkunjung ke Hadramaut. M. Anis, Pemred portal Kemenegpora adalah salah seorang di antaranya yang pernah berkeliling di tanah asal kakek moyangnya itu
”Hadramaut terdiri atas dua kata, yaitu hadra berasal dari kata hadir dan maut. Siapa hadir ke sana akan menemui maut,” tulis Anis dalam bukunya, Hadramaut (1996), mengutip penjelasan Saleh, sopir yang mengantarkannya di Hadramaut.
Teori lain menyebut Hadramaut adalah nama seorang tokoh legendaris yang tak diketahui asal usulnya. Hanya tokoh itu dipercaya sebagai keturunan Ya’kub, cucu Nabi Hud yang babat alas di selatan Jazirah Arab yang kering kerontang itu. Karena alamnya yang tak bersahabat itulah orang-orang Arab di Hadramaut menjadi pengelana ke mana-mana. Mereka berlayar ke Ethiopia, Zanzibar, Kenya, India, Singapura, dan Indonesia.
Ada beberapa argumen tentang kapan mereka mulai datang di Indonesia. Tetapi, gelombang besar imigran Arab diperkirakan tiba di negeri ini setelah abad ke-17. Mereka tinggal di kantong-kantong permukiman kota-kota pantai Jawa seperti Batavia (Jakarta), Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya, Bangil, dan sebagainya. Di antara mereka juga tinggal di kota pedalaman seperti Solo dan Jogjakarta. Sebagian kecil dari mereka bahkan sampai ke Maluku Utara, seperti Ternate, Tidore, dan juga di NTT dan Timor (dulu Timor Timur). Mereka datang tanpa istri, kemudian kawin dengan perempuan setempat hingga beranak-pinak. Sebagian mereka, khususnya yang berasal dari golongan sayid, bisa kawin dengan putri-putri raja atau bangsawan sehingga mereka bisa menjadi penguasa di beberapa kerajaan seperti di Sumatera, Kalimantan, dan Maluku. Sejumlah orang lainnya menyiarkan agama, seperti Habib Al Haddad, yang keluarganya tinggal di Ulu, Palembang.
Di masa lalu, umumnya orang-orang Arab di Indonesia adalah para pedagang dan sebagian kecil ulama. Namun, profesi mereka kemudian beraneka ragam. Pandangan politiknya juga aneka warna. Dulu ada tokoh kiri seperti D.N. Aidit dan Sam Kamaruzaman, tetapi juga ada tokoh warna lain seperti A.R. Baswedan. Zaman berikutnya ada Abubakar Baasyir dan Habib Rizieq, tetapi negeri ini juga punya tokoh seperti Ali Alatas, Fuad Hassan, Anies Baswedan, sebagainya. Di bidang lain, ada tokoh LSM Munir, tapi juga ada Shireen Sungkar, Ahmad Albar, dan Muchsin Alatas,
Banyak buku mengulas komunitas etnis lain. Kapan etnis Arab sebagai bagian dari pelangi kehidupan bangsa ini lebih banyak digali?
***
*) Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku.