Amang Mawardi*
http://www.jawapos.co.id/
SUATU hari Cak Kadar bertemu kenalannya, seorang dokter. Terjadilah dialog kangen-kangenan:
”Cak Kadar, ibu Anda sehat kan?”
”Ibu? Ibu yang mana?”
Mendapat pertanyaan balik, dokter tadi mengernyitkan dahi. Barangkali tebersit di benaknya, ini guyon atau serius. Atau jangan-jangan Cak Kadar punya dua ibu?
”Itu lho Cak, ibu yang pernah Sampeyan antar ke tempat praktik saya,” lanjut si dokter.
”Oh… itu Mak saya. Saya nggak punya ibu,” kata Cak Kadar seraya tersenyum.
”Ah, Sampeyan bisa-bisa saja…,” timpal si dokter.
Tentu saja, arti mak dan ibu sama. Tapi, orang-orang Surabaya asli banyak menyebut mak daripada ibu. Memang, jawaban Cak Kadar tersebut sekadar guyon, sebagaimana diakuinya. Namun, siapa tahu itu spontanitas dari alam bawah sadar Cak Kadar yang begitu bangga akan jati diri budaya Surabaya.
Begitulah Cak Kadar, sesuatu yang berhubungan dengan persoalan sosial-budaya kota ini senantiasa dikonstruksi menjadi cagar lestari. Cak Kadar terus konsisten menjaga nilai-nilai tersebut.
Maka, ketika sebuah bangunan kuno di depan Tugu Pahlawan berubah menjadi ”antik” berarsitektur ala Romawi, Cak Kadar meradang. Maka, ketika sebuah perumahan elite di kawasan Surabaya Barat membangun Patung Raffles, Cak Kadar mbengok. ”Kalau mau meniru Singapura, tirulah kebersihannya. Ambil sesuatu yang positif dari negara itu. Jangan lantas seenaknya mendirikan patung penjajah!”
Cak Kadar terus mencoba menjaga nilai-nilai budaya kota ini, baik ketika berada di luar sistem maupun setelah menjadi anggota Tim Cagar Budaya, meluruskan yang bengkok-bengkok. Termasuk anggapan salah kaprah tentang arek Suroboyo yang dipersepsikan tidak tahu tata krama oleh sebagian kalangan.
Disadari atau tidak, Cak Kadar telah menjadi ikon kota ini. Dia menjadi jujukan para jurnalis dan peneliti. Sebagai narasumber, dia enak diajak bicara dan bersedia kapan saja diwawancarai.
***
Cak Kadar lahir di Kampung Maspati, Surabaya, dengan nama Kadaruslan 79 tahun lalu dari seorang ayah bernama Abutomo, pegawai kantor lingkungan (kelurahan), dan ibu bernama Ameniyah. Dia merupakan sulung di antara 12 bersaudara. Di keluarga, dia dipanggil Cak Lan.
Meski bangga dengan budaya Surabaya, bukan berarti Cak Kadar menerima 100 persen segala yang berbau Suroboyo. “Yang baik silakan ambil. Yang buruk tinggalkan,” pesannya.
Misalnya, dia tidak setuju dengan salah satu kebiasaan lama orang Surabaya yang suka minum-minum. Ketika Cak Kadar masih remaja, warung towak (tuak) bertebaran di Kaliasin Gang Pompa, Gersikan, Benowo, dan sebagainya. Di warung itulah, warga ngobrol ngalor-ngidul sambil meneggak tuak.
Dia pun memimpin Pusura (Putera Surabaya), sebuah peguyuban yang komit terhadap perkembangan konstruktif sosial-budaya Surabaya mulai 1999 hingga 2009. Berbagai diskusi, seminar, penerbitan buku dihadirkan Pusura. Juga berbagai pentas ludruk, keroncong, dan seni tradisi lainnya.
***
Bagi Cak Kadar, mendekatkan anak-anak kepada dunia kesenian adalah sebuah upaya untuk mengenalkan nilai-nilai kemanusiaan. ”Saya tidak mengarahkan anak-anak untuk jadi seniman. Kalaupun nanti ada yang jadi seniman, ya ndak apa-apa, asal sesuai keinginannya. Tetapi, paling tidak saya telah mengenalkan mereka sisi lain indahnya kehidupan. Kesenian itu indah. Orang yang mengenal arti keindahan tidak bakal melakukan kekerasan yang bertolak dari prinsip-prinsip kemanusiaan,” kata Cak Kadar.
Di antara tujuh anaknya, semua pernah dekat dengan dunia seni. Endi (Roosyadi, alumnus arsitektur ITS), Tommy (Roostamtomo, alumnus perkapalan ITS), Rini (Rooswarini, alumnus HI Fisipol UGM), dan Yudi (Roosyudhi, alumnus HI FISIP Unair), saat masih remaja tergabung dalam Teater Aksera (Akademi Seni Rupa Surabaya) pimpinan almarhum Hari Matrais.
Selain itu, si sulung Roosyanto (alumnus FH Unair) pernah bergabung dengan Teater Keliling. Sedangkan, Elly (Roosita, alumnus IPB) adalah murid Sekolah Melukis (Minggu) Aksera dan anggota Teater Kelinci pimpinan Hardjono W.S. Sementara itu, anak bungsunya, Roosyana (Erna), lulusan seni tari ISI Jogja.
Pada 1970-an, selain menjadi penasihat Teater Aksera, Cak Kadar mendirikan Teater Remaja Yudha di bawah naungan harian Berita Yudha. Di sana dia menjadi kepala perwakilan Jawa Timur. Teater tersebut digawangi Niki Kosasih yang kelak terkenal sebagai penulis naskah sandiwara radio. Selain itu, Cak Kadar menjadi promotor berbagai pertunjukan Teater Keliling Jakarta yang dimotori suami-istri Rudolf Puspa dan Dery Syrna di Jawa Timur, Kalimantan, dan Papua.
Namun, Cak Kadar sempat ”hilang” dari bumi Surabaya. Dia rupanya hijrah ke Kalimantan Timur selama satu dasawarsa, beralih profesi menjadi manajer peternakan ayam. Itu terjadi setelah rumahnya di Kampung Karang Bulak tergusur karena perluasan sebuah hotel. Kampung tersebut akhirnya lenyap dari peta Surabaya. Ironis, orang yang selalu berjuang menjaga eksistensi kota ini, ternyata, tak bisa mempertahankan kampung yang dihuninya bertahun-tahun itu.
Awal 1990-an, Cak Kadar pulang kampung, menempati rumahnya di kawasan Wisma Menanggal. Saat itu, agaknya Cak Kadar mulai menyusun kekuatan. Barangkali yang ada di benaknya kala itu: boleh saja saya kalah dalam ”pertempuran” dan mundur ke pedalaman Kalimantan, tetapi ”peperangan” belum selesai dan harus dimenangkan.
Maka, kehadiran Cak Kadar membuat dunia kesenian Surabaya menggeliat bangkit. Pada 1993, dia bersama sejumlah seniman menggelar Festival Kesenian Chairil Anwar. Kemudian, disusul Pekan Seni Surabaya 700. Tahun berikutnya, ada Pekan Seni Pemuda.
Pada 1995, Cak Kadar cs menyelenggarakan Parade Seni W.R. Soepratman selama sebulan penuh di Balai Pemuda. Pada 1996, dia mendirikan Yayasan Seni Surabaya (YSS) yang kemudian melahirkan Festival Seni Surabaya (FSS) yang diisi penyaji dari dalam dan luar negeri selama sebulan penuh di berbagai venue di Surabaya. Sejak 1996, FSS terus digelar hingga 2008.
Pada usia sepuh dan sakit-sakitan, pengagum Sutan Sjahrir tersebut masih memikirkan cara agar dunia seni budaya di kota ini bisa semakin berkembang. Karena itu, dia masih menyiapkan FSS tahun ini yang akan digelar November mendatang (biasanya Juni).
***
Sosok yang dikenal mempunyai pribadi yang hangat dengan siapa saja itu telah meninggalkan dunia ini. Saya tidak tahu apakah Cak Kadar telah memenangi ”peperangan”-nya ataukah belum. Yang jelas, dia telah meninggalkan monumen kesenian bagi kemajuan kota ini. Di tangan Cak Kadar, dunia seni Surabaya menjadi terhormat dan eksis di tengah gempuran industrialisasi dan perdagangan metropolitan.
Tak heran, budayawan Putu Wijaya mempunyai penilaian khusus terhadap Cak Kadar. Menurut Putu, Cak Kadar adalah seberkas cahaya tempat kita menoleh dalam kegelapan. Usahanya, semangatnya, dan semua pikirannya bertolak dari rasa cinta yang mendalam terhadap seni-budaya. Tak peduli orang melecehkan dan mengejeknya sudah buang-buang waktu dan kesempatan, dia terus bekerja. Tak peduli untung dan tak menunggu-nunggu hasilnya. Cak Kadar bagaikan mesin yang hanya bekerja karena itu membuatnya merasa bahagia. (*)
*) Penulis buku ”Cak Kadar Sebuah Refleksi Jalan Hidup” (2007).