Muhidin M. Dahlan *
jawapos.co.id
TIBALAH saatnya memberikan jawaban yang tak begitu-begitu saja saat ditanyai cara menulis kreatif, khususnya novel atau cerita pendek. Entah yang bertanya sangat berhasrat atau yang ditanya menyebalkan dengan kemampuan jawaban yang itu-itu saja, yang membuat saya kadang jengah.
Jurus ampuh yang biasa saya berikan atau siapa pun dalam posisi yang ditanyai untuk menyembunyikan kemalasan melayani adalah berlatih dan berlatihlah terus. Kalau agak sedikit ribet, dijelaskan sekadarnya unsur-unsur membangun novel: tokoh, plot, tema, dialog, dan seterusnya.
Kalau agak rajin, disertai pula rekomendasi membaca sejumlah buku yang merangsang minat menulis, baik novel maupun cerpen, seperti buku tipis karangan Arswendo Atmowiloto (Mengarang Itu Gampang). Padahal, sumpah, mengarang itu susah sekali. Paling tidak jika mempraktikkannya dari buku tersebut. Karangan Andreas Harefa, Agar Menulis dan Mengarang Itu Gampang, lebih berat, berisi tip menulis buku nonfiksi. Begitu juga karangan Mohammad Diponegoro, Yuk, Nulis Cerpen, Yuk!, atau terjemahan karya Josip Novakovich, Berguru kepada Sastrawan Dunia: Buku Wajib Menulis Fiksi.
Ada pula yang menganjurkan untuk rajin-rajin bersilaturahmi ke rumah para pengarang -yang sudah jadi. Siapa tahu dapat tip dahsyat. Kalau sang pengarang pelit bicara, ya bersyukur saja dapat aura dan energi kreatifnya lewat suguhan kopi atau camilan. Tapi, kalau pas sial, ya bersyukur saja nggak diusir dengan kasar.
Tapi, papar para pencari uang dengan jalan bikin kursus/kelas menulis, “Kalau kamu bisa mengarang dalam waktu serbacepat, daftarkan diri saja di pelatihan ini dengan pembicara beken-beken. Tarifnya segini loh. Jangan khawatir, dapat makalah bagus, snack gurih, makan siang, dan dijamin pulang nggak bengong.”
Namun, adakah yang mau pergi ke kantor polisi terdekat hanya untuk belajar menulis, selain soal-soal “sehari-hari”, seperti urusan tilang, kehilangan barang, atau yang berhubungan dengan dunia jeruji.
Memang terdengar aneh. Apalagi, polisi, merujuk pada catatan kronik, sudah enam bulan ini seperti virus jahat yang disorot publik dari sembilan penjuru lalu lintas. Bahkan, dengan satire bercampur kebencian, muncul kalimat olok-olok,”Hanya ada tiga polisi yang baik: Hoegeng Iman Santoso, polisi tidur, dan patung polisi.” Bahkan, polisi tidur pun sudah dianggap menyebalkan, yang mengakibatkan Mabes Polri menyomasi iklan sebuah rokok pada 8 Maret 2007.
Untuk menjadi pengarang yang kuat, ya pergilah ke penyidik polisi. Itu bukan olok-olok. Itu serius. Jika rada trauma berurusan dengan polisi, paling tidak tirulah cara kerja penyidik polisi dalam menginvestigasi peristiwa, menemukan tokoh utama, memanggil tokoh-tokoh figuran (saksi-saksi), mengumpulkan detail sekecil-kecilnya, mengecek keabsahan data secara berlapis-lapis, mengurai kronologi, serta membuktikan dengan cermat dan sabar keruwetan akibat kebohongan sistematis tokoh-tokoh.
Ketika pengungkapan sebuah kasus buntu, penyidik punya seribu akal (meminjam istilah Jusuf Kalla untuk kaum saudagar). Penyidik bisa menyeret pelaku lain yang sebelumnya sama sekali tak terduga.
Soal tema yang kaya, tanyakan juga kepada penyidik. Semuanya. Lengkap. Serbaada. Mulai korupsi, pembantaian, pembunuhan, perkelahian, perselingkuhan, hingga pencopetan. Bahkan, pilihan tema itu bikin terkaget-kaget, antara percaya dan tidak percaya, uka-uka apa bukan, seperti kasus Anand Krisna belum lama ini.
Ada memang kasus (baca: tema) yang “biasa-biasa” saja. Tapi, ada juga yang tampak absurd, seperti mengadili kentut di Cirebon pada Desember tahun lalu. Contoh kasus lain adalah balada pisang klutuk di Godean, Jogja, atau mencuatnya drama berlinang air mata Tiga Kakao Mbok Minah di Banyumas dan seterusnya.
Semua drama yang disusun penyidik itu dipanggungkan di pengadilan. Kerja keras penyidik berbulan-bulan berupa buku supertebal dan dinamakan BAP (berita acara pemeriksaan) tersebut tergeletak di hadapan hakim. Itulah hasil kerja penyidik dengan semua dramanya yang membuat deg-degan, mengharu biru, dan penuh ketegangan yang terukur. Tapi, terkadang juga ada yang terjebak menjadi cerita klise membosankan karena dibuat-buat, menjadi panjang, dan bertele-tele.
Melihat pola kerja yang detail, penuh kesungguhan, ketelatenan, keuletan, dan kesabaran mengurai keruwetan seperti diperagakan oleh penyidik polisi itu, apa bedanya dengan kerja pengarang yang disertai riset panjang, serius, dan kadang membikin frustrasi? Suatu model penulis yang mengarang tak sekadar iseng-iseng berhadiah.
Eit, hampir lupa, ada juga penyidik yang awalnya serius, tapi di tengah-tengah tergoda untuk “iseng”, seperti cerita Kandana di Indramayu atau kasus salah tangkap David cs yang dituduh membunuh Asrori di Jombang. Padahal, pelaku sebenarnya adalah Very Idham Henyansyah.
Beda antara penyidik dan pengarang barangkali ada dua. Pertama, kerja penyidik polisi berakhir dengan BAP yang akan disigi ulang pengadilan lewat sebuah drama yang tak kalah mencengangkan. Sementara itu, hasil kerja pengarang diterbitkan dan dibedah atau disigi publik, apakah terpuji atau terlupakan. Kedua, bahasa BAP adalah bahasa yang kaku, datar, tidak menarik, kronologis, bahkan saking detailnya bertele-tele. Sementara itu, bahasa pengarang luwes dengan diksi terpilih.
Sengaja saya tak memasukkan bahwa BAP berisi fakta, sementara novel adalah fiksi belaka. Sebab, saat ini batas antara fakta dan fiksi mulai kabur dan nyaris tanpa pagar pembatas.
Saya berangan-angan, di Akademi Kepolisian Semarang diselundupkan satu saja mata kuliah menulis kreatif. Yakinlah para pengarang yang terus mengeluarkan karya dengan sangat rutin di Facebook, koran, atau buku akan iri melihat lahirnya sastrawan-sastrawan yang kuat dari tubuh kepolisian, selain kepolisian melahirkan sosok penyerang haus gol M. Isnaeni dari PSPS Riau.
Supaya para pengarang yang umumnya sungguh sangat malas meriset itu bisa naik tingkat dari sekadar pengarang iseng dan cengeng di Facebook, ada baiknya di Akademi Kepolisian -syukur-syukur ada di tingkat polres- tersedia ruang atau sistem yang memungkinkan kolaborasi atau belajar bersama antara polisi dan pengarang awal.
Bukan hanya soal sistem pertemuan, tapi juga berlanjut ke hal lain yang lebih serius. Saya membayangkan, BAP yang “hasilnya” sudah diputuskan atau “copyright”-nya sudah lepas bisa dinovelkan oleh pengarang. Dengan begitu, nasib BAP itu tak sama dengan skripsi mahasiswa yang dipupur debu dan merana kesepian di rak-rak perpustakaan kampus. Padahal, karya tersebut sudah dikerjakan dengan menguras tenaga, air mata (mungkin berkali-kali putus cinta dalam kampus), dan tentu saja mengeluarkan uang puluhan juta rupiah untuk mendapatkan sehelai ijazah.
Hasil kolaborasi itu? Akan ada novel atau cerita yang di sampulnya muncul dua unsur, yakni nama penyidik dan pengarang.
Andai impian saya itu terlampau ngawur dan mustahak untuk dilakukan -meminjam istilah pelawak Asmuni-, paling tidak satu hal yang bisa digugu para pengarang yang malas meriset seperti saya dari polisi: Energi investigasi harus dikobarkan sampai pada batas renggangnya yang maksimum. Bayangkan, bahkan untuk soal sepele seperti cerita kentut dari Cirebon, polisi tetap menggelar perkara dari sebuah kerja sidik.
***
*) Kerani di www.indonesiabuku.com