PENJARA MATAHARI

R. Timur Budi Raja

Pada saat lampu dihidupkan, pertanda pertunjukan ini dimulai. Cahaya kuning, pucat memecah ke seluruh ruang. Sebuah trap kecil berada di tengah panggung. Di atasnya, sebatang lilin menyala redup. Kemudian terdengar letup senapan, sekali saja. Lampu pun padam.

ADEGAN I

Dua orang perempuan masuk ke panggung.
“Ambil, ambil hatinya! Masukkan ke dalam gelas bening, cucikan pada mata air, lalu lemparkan ke bulan! Lalu lemparkan ke bulan!”
“Ambil, ambil hatinya! Masukkan ke dalam gelas bening, cucikan pada mata air, lalu lemparkan ke bulan! Lalu lemparkan ke bulan!”
Kedua perempuan ke luar membawa lilin yang padam.

ADEGAN II

Sang Tokoh. Masuk.
Celana yang dikenakannya pendek hitam, Ia berbicara dengan hatinya. Musik ngelangut. Usahakan penonton terbawa tanpa harus memecah perhatian ke arah yang lain. Sebentar saja.
Musik mereda tiba tiba, disusul suara dari luar.
“Kamu telah membunuhnya!”
(Sang Tokoh terkejut, mencari asal suara).
“Kamu telah memadamkan api!”
(Sang Tokoh mulai gelisah).
Suara dari luar panggung
“Bukankah kamu menginginkannya mati”
“Bukankah kamu benar-benar membencinya”
“Bukankah kamu telah mencincang tubuhnya sebelum mayatnya dibuang ke laut”

ADEGAN III

Keadaan menegang. Sang Tokoh memanggil Parmin dan Paijo.
Parmin dan Paijo tergesa-gesa masuk. Mereka mengambil posisi di samping kiri dan kanan Sang Tokoh.
Sang Tokoh.
“Kenapa dinding ini bergerak, kenapa setiap sudut tembok ini berbicara?”
Parmin dan Paijo tak menjawab.
(Suasana ngelangut lagi)
Sang Tokoh. Asyik dengan dirinya.

ADEGAN IV

Suasana menghening. Tak ada aktivitas.
Ada tembang di luar.
“Ngger tidurlah ngger! Matahari yang kau lipat ke dalam sepatumu anakku, tidaklah tersia-sia. Semesta menyambutmu dalam kedamaian. Dalam kedamaian!”

ADEGAN V

Parmin dan Paijo mematung.
Suara dari luar.
“Tapi kamu telah membunuhnya!”
“Ya, dia membenamkan peluru ke tubuh pemuda itu!”
Sang Tokoh memandang kedua telapak tangannya.
Seperti bertanya entah kepada siapa;
“Darah, – darah peluru, – peluru?”

ADEGAN VI

Musik agak ribut, suasana tegang. Sang Tokoh sontak berteriak,
“Diam, aku tak ingin membunuhnya! Aku cuma tak sengaja menembaknya. Aku hanya ingin menakut-nakutinya! Aku cuma ingin mendiamkan tatapannya yang liar!”
Suara dari luar.
“Tapi kematian telah terjadi!”
“Suara-suara kemerdekaan telah dibungkam!”
Sang Tokoh limbung. Berteriak lagi.
“Diam! Aku tak, —– Parmin, Paijo ? !”
Tangan Sang Tokoh menunjuk ke luar.
Parmin dan Paijo berlari.
Suara dari luar.
“Kamu telah membunuh matahari!” (musik tegang)
“Kamu telah melukai hidup!” (musik semakin tegang)
“Kamu telah memenjarakan lidah!”
“Kamu tidak membiarkan udara menetes dan mengalir!”
Suara tembakan tiba tiba pecah di tengah situasi ini. Musik berhenti. Sang Tokoh memegang dada sebelah kiri, terhuyung ke arah penonton. Lalu jatuh!

ADEGAN VII

Dua orang perempuan masuk. Mengambil Sang Tokoh.
“Ambil, ambil hatinya! Masukkan ke dalam gelas bening, cucikan pada mata air, lalu lemparkan ke bulan! Lalu lemparkan ke bulan!” “Ambil, ambil hatinya! Masukkan ke dalam gelas bening, cucikan pada mata air, lalu lemparkan ke bulan! Lalu lemparkan ke bulan!”

Pertunjukan selesai

One Reply to “PENJARA MATAHARI”

Leave a Reply to mbahe yakuza Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *