http://sastrakarta.multiply.com/
Kau yang Hilang Tampak
Lembayungku
Merelung ukiran jiwa
Cakup cukupmu tercakapkan
Lembayungku
Layar jauh di langit bumi
Cegah campakmu terelakkan
Lembayungku
Tanpa aksara kuat kibarnya
Dalam heningku
Kau tetap hilang tampak
Lembayungku
Selalu tak tersedia gambarmu
Dan kau bebas
Menggaris kontur tubuh
Yang tak pernah labuh
Di hati.
Yogya, 1999
Bedhaya Remang
Dia, Si Prita, melihat sandiwara gelap
selepas Rama-nya dikubur
di Hastarengga. Bundanya kabur
membawa pusaka pusaka
dan wasiat
— Bedhaya, tanpa nyala obor
pendapa lama gulita
rengeng gendhing pangkur
mengukur kedalaman ndalem
yang di rindang masa silam
susutnya pancar surya
sandyakala:
Bedhaya Remeng ditarikan
sembilan penari tanpa busana
dan satu puteri berona kebesaran
turun dari kereta kencana tanpa kuda.
Dia, Si Prita, melihatnya dalam temaram
lenggok bundanya, jadi endhel wedalan wingking
runduk ke lantai pendapa sesekali melirik
betak yang puguh memainkan perannya.
Bedhaya Remeng
tanda surut Ramanda
mengantar Si Prita mendewasa
terpilih dari silsilah
menempuh nyala obor
tembus sela remang
Suryadiningratan, 2004
Mulut Arca Berlumut
serabut membarut-barut hijau
jemerabut pada dataran lekuk arca
perlututan bagi dewa-dewa
yang berjemur dan bermalam
sepanjang angan
aku ini menyembah siapa
gulma atau lumut
tapak atau telapak
dan senyum dewa murka
?
aku ini menyembah siapa
langit kosong bermega-mega
angin luruh mendera derai
hujan yang mengalir di antara makara
dan lorong jagang tanpa wewara
?
aku ini menyembah siapa
dan bukan lagi siapa
sebab senyatanya
adalah: apa
yang tak pernah bisa disiapakan
karena tak pernah bisa disiapakan
karena dia sendiri tidak pernah
menciptakan padanannya.
arca berlumut ini
tiada terjumpa
dalam mimpi terjaga
dalam lelap belalak
dalam diamnya gerak
dan tak pernah singgah
pada lempeng kornea
Prambangan, 2003