Thomas Koten*
http://www.korantempo.com/
Ada fenomena menarik yang dapat terpotret di tengah aneka macam bencana yang sering menimpa bangsa ini, yakni lahirnya sejumlah perenungan manusia modern tentang relasinya dengan alam dan semakin menyadari betapa pentingnya merawat alam. Keterkaitan tersebut kerap juga berada dalam tegangan: antara melepaskan diri darinya, atau justru meleburkan diri ke dalamnya, sebagaimana kata Arnold Gehlen, filsuf Jerman, yakni antara titik berat pada kultur atau menjadi bagian dinamis dalam nature (alam).
Artinya, dalam posisi ini manusia diidentifikasi sebagai makhluk-bebas-lingkungan (Unwelt freies Wesen). Suatu sifat yang mengakibatkan kedudukan manusia terhadap alam adalah kedudukan yang labil (ambigu), menyatu menjadi bagian dari alam, tetapi sekaligus juga dapat mengambil jarak (distance) seolah-olah terlepas dari alam, karenanya selalu bersaing untuk memenangkan pertarungan atau menyelamatkan diri ala filsuf Thomas Hobbes.
Dunia seni adalah manifestasi menarik dari tegangan relasional semacam itu. Jika dicermati, dari rasa getirnya manusia terhadap berbagai bencana alam selama inilah telah lahir pula berbagai karya seni yang berhasil memotret dan melukiskan alam. Sebagaimana secara teoretis disebut Aristoteles sebagai ars simia nature (seni adalah peniruan terhadap alam). Seni melukiskan alam sebagai ciri intelektualitas manusia modern yang kian beragam dan terus berkembang.
Sekurang-kurangnya realitas itu dapat dilihat sejak abad ke-17, terutama dengan munculnya rasionalisme Rene Descartes (1596-1650) dengan filsafatnya yang berdiri di atas adagium cogito ergo sum (I think therefore I am), dan membawa dua akibat yang sangat penting (dualisme). Dualisme Cartesian demikian kuat menguasai sikap manusia terhadap alam. Alam adalah realitas wadak material, res extensa; sedangkan manusia, terutama akalnya, adalah realitas batin, res cogitans. Lalu, manusia modern yang mengagungkan rasio berselingkuh dengan kepentingan teknologi modern, dan alam pun diobyekkan, kemudian menjadi medan eksplorasi dan dieksploitasi tanpa batas.
Perspektif klasik estetika itu berkembang di abad ke-18, dan menggumpal pada Immanuel Kant, yang meyakini bahwa yang pokok dalam apresiasi estetis adalah setiap sikap “tanpa kepentingan” (disinterestedness), yang oleh Bambang Sugiharto (2006) diartikan sebagai sikap yang melepaskan diri dari kepentingan sehari-hari yang teknis dan praksis ataupun kepentingan pribadi. Lingkungan dilihat sebagai sesuatu yang sublim dan indah. Alam, bagi Ignas Kleden (1988), dikatakan sebagai yang besar dan indah, yang sakral dan yang tidak terlawankan. Untuk gampangnya, semua pemikiran sejenis ini kita namakan pan-kosmisme, ketika manusia dilihat sebagai bagian dari alam.
Gaung dari pandangan dunia-manusia modern soal keindahan alam itu terjadi pada abad ke-19 pada masa Romantik yang berkembang di Barat, di mana Romantisisme abad ke-19 memang jatuh cinta kepada pesona-pesona alam. Itu dapat dilihat dari pemikiran-pemikiran filsafat dan seniman John Muir, Henry David Thoreau, dengan pengkritiknya Herder, Goethe, Humbolt, atau Schiller, yang cenderung menganggap modernisme sebagai dangkal dan non-refleksif. Atau, Hegel, yang dalam sistem filsafatnya juga tetap memprioritaskan realitas artifaktual sebagai antitesis atas realitas natural. Atau, Friederich Nietzsche, yang menekankan kultur haruslah merupakan manifestasi dari insting natural dalam daya-hidup kekuasaan, dan itu pula kekuatan yang hendaknya diungkapkan seni dengan watak ekspresionisme sang seniman.
Pada abad ke-20 hingga abad ke-21, menurut Sugiharto, pada era Dadaisme dan revolusi kaum muda 1960-an terjadi perdebatan mendasar ihwal hubungan manusia antara seni dan alam. Dari sudut bentuk terjadi eksplorasi segala kemungkinan baru, yang bahkan menerabas segala batasan kategorial modern. Ini khususnya terasa intens dalam tendensi avantgardisme. Lukisan dua dimensi; asemblase tumpah keluar di atas kanvas dan tergerai liar di lantai menjadi “instalase”, dan instalasi menjelma elok menjadi gerak dalam “performance-art”.
Akhirnya, performance-art keluar dari ruang eksklusifnya menjadi aksi sosial dalam segala banalitas konteksnya. Dan tatkala seni menyatu kembali dengan denyut kehidupan sehari-hari masyarakat, tentu peluang bagi seni untuk mencebur kembali dengan alam pun besar dan semakin intens. Hanya dalam seni modern, kata filsuf Susan Sontag, memang kategori “keindahan” tak lagi dipedulikan, diganti “kebermaknaan”, “kebenaran”, kebenaran eksistensial atau sensasi permukaan (the erotic).
Dalam seni kontemporer pasca-modernisme, sebenarnya kepedulian terhadap alam memang makin besar. Alam digunakan sebagai bagian integral yang lekat dari patung, tarian, teater, ataupun instalase, dan menjadi inspirasi utama pula dalam berbagai bentuk kerja desain interior dan karikatural. Dalam keberkaitannya dengan alam, sebenarnya imajinasi metafisik di balik konsep “seni” dan “berkesenian” itu sendiri memang sangat hidup, akrab, dan menyatu dengan manusia. Hal ini sangat jelas misalnya apabila kita berhadapan dengan karya-karya seni pahat, yang sangat hidup seperti seni Bali atau Asmat-Papua, di mana di dalamnya bukan semata-mata perkara teknis, skill, dan virtuositas nanklasik, tetapi ada unsur askese.
Maka, seni merupakan ekspresi totalitas antara manusia dan alam semesta sebagai bentuk penghormatan manusia terhadap alam sakral-magis. Artinya, seni juga memberi sebuah filsafat bahwa segenap realitas alam semesta ini adalah totalitas yang berjiwa. Jadi, seni bukan soal seni semata, atau seni hanya untuk seni, tetapi juga soal kepekaan estetika, ritual dan perayaan askese.
Di sini kepekaan estetika adalah juga kepekaan terhadap alam sekitar. Kepekaan terhadap alam, juga merupakan kepekaan terhadap yang sakral. Sebab, alam juga mengandung keindahan dan kesakralannya. Lunturnya kepekaan estetik juga dapat dikatakan sebagai lunturnya kepekaan terhadap yang spiritual. Kemudian, yang menjadi kunci, akhirnya adalah bahwa krisis ekologi fisik sebenarnya berakar pada masalah krisis spiritual, dan krisis nilai-nilai seni-estetik yang dimiliki manusia.
Krisis spiritual merupakan dasar dari lahirnya perilaku yang merusak alam, yang menjadi cikal-bakal bencana alam. Sehingga, jika ingin bebas dari perilaku yang merusak alam yang menjadi cikal-bakal bencana, pulihkan lebih dulu krisis spiritual dan kembangkan perasaan-perasaan estetik dalam diri setiap individu dan masyarakat.
*) Peminat masalah filsafat.