SASTRAWAN ITU LAKSAMANA DAN ROHANIAWAN

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Di antara para sastrawan, barangkali Bahrum Rangkuti, termasuk sastrawan dan sekaligus juga birokrat yang pernah memegang pekerjaan dan jabatan yang seolah-olah tidak saling berhubungan; sastrawan, seorang militer, rohaniawan, penerjemah, dan bela-kangan sekjen Departemen Agama. Sesungguhnya semua jabatan dan pekerjaan itu ber-asal dari satu sumber dan kemudian bertemu dalam satu muara, yaitu agama. Kecintaan dan pengalamannya terhadap agama, yang langsung atau tidak langsung, membawa Bahrum Rangkuti menduduki pekerjaan dan jabatan itu.

Lahir di Galang, Sumatra Timur (kini masuk wilayah Provinsi Riau), tanggal 7 Agustus 1919 dengan nama Bahrum Azaham Syah Rangkuti Pane Al Paguri. Ayahnya, M. Tosib Rangkuti termasuk penganut tarekat dan ibunya, Siti Hanifah Siregar adalah salah seorang pengagum tasawuf. Maka, Bahrum kecil itupun telah sejak masa anak-anak hidup dalam suasana keagamaan yang kental.

Sebelum masuk sekolah umum, ia belajar agama dan bahasa Arab di sebuah madrasah di kampungnya. Dalam usia tujuh tahun Bahrum memulai pendidikan umumnya di Hollandsche Inlands School (HIS) tahun 1926. Karena masa penyelesaian di sekolah itu tujuh tahun, pada tahun 1933 Bahrum menamatkan HIS dan kemudian melanjutkan lagi ke Hogere Burger School (HBS) di Medan. Selepas menamatkan HBS tahun 1937, ia diterima di Algemene Middelbare School (AMS) Yogyakarta dan diselesaikannya tahun 1940. Selanjutnya Bahrum masuk Faculteit der Lettern yang kemudian menjadi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Pada zaman Jepang, aktivitas Bahrum di bidang kesastrawanan, sama sekali tidak ia hentikan. Ia sempat menjadi Hoso Kanrikyoku. Pernah pula menjadi staf redaksi majalah Indonesia dan kemudian aktif dalam harian Jawa Hokokai; sebuah media yang waktu itu menjadi corong pemerintah Jepang. Menjelang keruntuhan Jepang, ia ber-gabung dengan gerakan pemuda yang sedang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Saat itulah pemerintah pendudukan Jepang menuduhnya hendak melakukan pemerontakan. Bersama Basuki Resobowo, Chairil Anwar, dan B.M. Diah, Bahrum ditangkap dan dipenjarakan.

Pengalaman semasa di penjara sama sekali tidak menyurutkan perjuangannya. Maka, segera setelah Indonesia merdeka dan Bahrum dibebaskan dari penjara, ia langsung bergabung dengan Barisan Keamaan Rakyat (BKR), kemudian Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia (TRI) yang belakangan menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Memasuki masa revolusi (1945?1950), Bahrum tidak mau tinggal di belakang meja di dalam keterlibatannya mempertahankan kemerdekaan. Pada tahun 1947, kembali Bahrum ditangkap karena usahanya melarikan sebuah kendaraan Tentara Belanda. Belanda kemudian menjebloskannya ke penjara Glodok.

Di Fakultas Sastra inilah Bahrum banyak mempelajari bahasa-bahasa Timur sam-pai tingkat sarjana muda. Sebelum itu, sejak lepas sekolah madrasah, Bahrum sudah belajar bahasa Arab kepada Hamka di Medan selama enam bulan. Jadi, bahasa Arab serba sedikit sudah dikuasainya sejak masa remaja. Sementara itu, kesempatan untuk memperdalam bahasa-bahasa Timur, lebih luas menyangkut juga kebudayaan dan filsafatnya, terbuka lebar bagi Bahrum ketika ia dipercaya menjadi sekretaris dan juru bicara bahasa Urdu dan bahasa Inggris di Kedutaan Besar Indonesia di Karachi, Pakistan.tahun 1950?1951. Saat itulah ia memanfaatkan kesempatan untuk belajar di Jamiatul Mubasheren (Islamic Studies), Rabwah, Pakistan. Selama setahun ia belajar dan mendalami Islam di sana. Pengalamannya di Pakistan kemudian ia tulis yang lalu dimuat majalah Zenith edisi April, Mei, dan Juli 1951. Lebih dari itu, Bahrum pun dapat menyerap langsung pemikiran para filsuf Pakistan, khususnya Muhammad Zafrullah Khan dan tentu tidak ketinggalan Mohammad Iqbal.

Pulang dari Pakistan, Bahrum kembali ke kampus Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan bermaksud menyelesaikan studinya yang tertinggal. Ketika itu, ia ditawari untuk menjadi Atase Kebudayaan di Mesir, tetapi ditolaknya karena ia ingin menyelesaikan dulu studinya itu.

Apa yang dilakukan Bahrum Rangkuti sekembalinya dari Pakistan, selain menyelesaikan studinya di FSUI? Inilah komentar H.B. Jassin dalam suratnya kepada Dolf Verspoor, 14 Mei 1951. ?Bahrum Rangkuti sudah kembali ke Indonesia dan barangkali tidak akan ke Pakistan lagi. Dia sekarang bekerja di Pakistan Embassy Jakarta sebagai Kepala Publicity. Dia memperkenalkan dengan intensif penyair dan filosof Iqbal kepada Indonesia melalui radio, pidato di rapat-rapat, dan banyak tulisannya tentang Iqbal (di Siasat dan Zenith). Dia juga sekarang salah satu pembantu Zenith yang produktif.?

Demikianlah, sambil bekerja Bahrum berusaha menyelesaikan studinya. Dan pada tahun 1960, ia merampungkan studinya di FSUI dengan skripsi ?Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya? yang kemudian diterbitkan Gunung Agung tahun 1963. Ketika itu, suhu politik di tanah air mulai memanas. Walaupun demikian, saat Bahrum menyelesaikan skripsinya, Pramoedya Ananta Toer, belum terlibat secara intensif dalam kegiatan Lekra PKI. Jadi, pertimbangan Bahrum memilih Pramoedya Ananta Toer sebagai bahan kajian skripsinya, semata-mata didasarkan pada alasan-alasan ilmiah. Boleh jadi karena itu pula, maka ketika Pramudya ditahan karena keterlibatannya dalam Lekra/PKI, karya Bahrum sama sekali tidak ada yang mempersoalkannya.

Meskipun ketika ia kuliah di FSUI, Bahrum lebih menyenangi mempelajari bahasa-bahasa Timur, ia juga ternyata mendalami bahasa-bahasa Barat. Oleh karena itulah, ia menguasai enam bahasa asing, yaitu Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Arab, dan Urdu. Penguasaannya dalam bahasa Urdu yang membuat komandannya pada tahun 1947, meminta Bahrum membuat semacam propaganda dalam bahasa Urdu yang dialamatkan kepada tentara Gurkha.
***

Selepas zaman revolusi dan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Bahrum diminta untuk menjadi Ketua Dinas Perawatan Rohani Islam Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dengan pangkat kolonel tituler; sebuah pangkat kehormatan tanpa harus menjalani jabatan sesuai dengan pangkat yang bersangkutan. Tentu saja jabatan itu sesuai dengan kecintaannya kepada agama (Islam). Pada tahun 1975, Bahrum memperoleh kenaikan pangkat menjadi laksamana pertama tituler.

Boleh jadi lantaran kecintaannya kepada agama itu pula, selepas menjadi anggota DPRGR (1969?1971), ia diangkat menjadi Sekjen Departemen Agama (1971?1976). Setelah pensiun tahun 1976, Bahrum diminta pula untuk mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, untuk memberikan kuliah Ilmu Sejarah dan Kebudayaan Islam. Tidak lama setelah itu, tanggal 18 Desember 1976, ia dikukuhkan sebagai guru besar perguruan tinggi itu. Sebelumnya, H.B. Jassin memperkirakan bahwa Doktor Honoris Causa (Doktor Kehormatan) akan diberikan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia kepada Bahrum Rangkuti, sebagaimana dikatakan Jassin dalam suratnya, 29 April 1975, kepada Liaw Yock Fang di Singapura berikut ini: ?Profesor Teeuw juga akan diberi Doctor Honoris Causa oleh UI. Sesudah itu, Bahrum Rangkuti yang mempunyai pengetahuan luas dan dalam mengenai kesusastraan Islam dan sudah matang serta berjasa dalam usaha-usaha kemasyarakatan.?

Entah mengapa UI ternyata tidak memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada Bahrum Rangkuti. Tetapi pernyataan Jassin akan wawasan Bahrum dalam kesusastraan Islam, memperlihatkan perkembangan intelektual sosok laksamana tituler itu. Sebab, dalam surat Jassin yang ditujukan kepada Trisno Sumardjo, 28 September 1949, Paus Sastra itu justru mengecamnya sebagai tukang salin-menyalin: ?dengan sendirinya membikin dia tidak akan pernah jadi berarti dalam lapangan kesusastraan.? Dan dua windu kemudian, Jassin memberi pujian kepada Bahrum sebagai orang yang berpengetahuan luas dan sudah matang. Gelar guru besar yang diberikan IAIN Syarif Hidayatullah, merupakan bukti luasnya wawasan Bahrum Rangkuti.
***

Meskipun berbagai jabatan di kemiliteran dan pemerintahan tidak ada hubungannya secara langsung dengan bidang kesusastraan, Bahrum sama sekali tidak meninggalkan jiwa kesastrawanannya. Pada tahun 1976, misalnya, ia memberikan ceramah tentang Iqbal di TIM. Di luar aktiivitas itu, satu sikap hidup yang menonjol pada diri Bahrum Rangkuti adalah kesederhanaan serta kepeduliannya terhadap orang-orang kecil. Oleh karena itu, bersama istrinya, ia mendirikan sebuah yayasan untuk menampung orang-orang terlantar. Satu sikap hidup yang lahir dari tanggung jawabnya sebagai umat beragama.

Pada tanggal 13 Agustus 1977, Bahrum Rangkuti meninggal dunia dalam usia 58 tahun. Mengingat pangkatnya dalam kemiliteran sebagai laksamana, almarhum kemudian dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *