Tradisi Kajian Islam Kontemporer

H Kurniawan
http://suaramerdeka.com/

ISLAM mengalami puncak kemajuan dalam bidang keilmuan memang tak dapat dipisahkan dari persentuhan dengan Barat. Kita tahu pada masa Ibnu Rust, Al Gazali, dan Ibnu Sina, dinamika keilmuan memang begitu deras mengalir. Itu dipengaruhi oleh kajian-kajian keilmuan seperti filsafat yang pernah berkembang di Yunani.

Dialektika yang dikembangkan pada saat itu sanggup menelorkan ide-ide pembaharuan yang brilian dan memunculkan para cendikiawan tangguh dan fenomenal. Pemikiran-pemikira mereka kini masih dikaji. Pendakian puncak peradaban keilmuan di dunia Islam itu mestinya menjadi inspirasi dan motifasi bagi kemajuan dunia keilmuan Islam saat ini.

Inilah yang diharapkan oleh beberapa penulis dalam buku ini. Mereka mencoba mengaji kembali Islam dalam berbagai pembacaan kontemporer. Mulai dari pencarian makna kebenaran dalam prespektif filsafat, sosiologi, kebudayaan, sampai pada pelacakan geneologi nalar Arab. Semua itu dilakukan untuk mengelaborasi isu-isu kontemporer yang masih berkorelasi dengan keislaman seperti, fenomena fundamentalisme, ekstrimisme, gerakan puritan, moderat sampai isu kontemporer seperti demokrasi, emansipasi, gender, oksidentalisme, poluralisme, dan HAM (Hak Asasi Manusia).

Ketertinggalan ini membuat kegagapan dunia Islam ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan sosial yang kini semakin kompleks. Ketidakmampuan menjawab berbagai macam persoalan kekinian itu akibat masih kental studi Islam dalam ranah ulum al-din dengan corak normatif.

Tidak dapat dimungkiri kajian keilmuan masa klasik tersebut tetap terbatas pada konteks yang berkembang saat itu. Hasil kajian sperti itu seharus direkontekstualisasi.

Sebelum era 80-an, buku-buku ilmu kalam, hukum Islam, dan ilmu hadis begitu mewarnai Islam. Pendidikan agama (Islam) lebih menekankan kepada pengajaran Islam sebagai sebuah doktrin yang tak terbantahkan. Fakta ini terlihat ketika menengok kembali dunia keilmuan di lembaga pendidikan non-formal seperti pesantren.

Di dunia pesantren, kecenderungan mengaji kitab-kitab klasik yang bercorak sangat normatif masih banyak dipertahankan. Uapaya itu dianggap sebagai bentuk mempertahankan tradisi Islam agar tidak terkontiminasi oleh pemahaman sekulerisme yang berkembang saat ini di Barat. Semua itu tidak dapat diungkiri adalah bagian panjang dari tradisi geneologi keilmuan klasik.

Kecendrungan kajian keilmuan yang bercorak klasik seperti itu kemudian disadari oleh banyak pihak tidak lagi sanggup menahan deras dinamika social keagamaan dan politik yang semakin berkembang pesat dengan bermacam persoalan.
Rekonstruksi

Hal ini yang menuntut para cendikiawan muslim di Indonesia pada era 90-an kembali merekonstruksi pemahman-pemahaman yang dibawa oleh tokoh-tokoh Islam klasik. Lalu dibentuklah ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), MUI (Majelis Ulama Indonesia) atau lembaga kajian seperti LKiS (Lembaga Kajian Islam), sampai yang bercorak liberal seperti JIL (Jaringan Islam Liberal).

Fenomena itu menandai adanya hasrat untuk bangkit dari keterkukungan pemahaman Islam yang tradisional dari para generasi Islam di Indonesia. Upaya itu terus berlanjut hingga sekarang ini. Meski tetap hadir kecenderungan dari sebagian generasi Islam yang hendak mempertahan warisan lamanya itu.

Islam memang penting kembali dikaji sebagai respons atas perkembangan zaman yang semakin kompleks ini dari berbagai sudut panjang. Hal itu dimaksudkan agar nilai-nilai Islam mampu terkontekstualisasikan ditengah dinamika social yang terus bergejolak di masyarakat Islam, dan dunia Internasional pada khususnya untuk mengenalkan Islam secara substansial; humanis, emansipatoris, dan anti terhadap prilaku-prilaku ekstrem seperti fenomena terorisme.

Asumsi-asumsi yang tidak objektif di mata dunia internasional perlu kembali diluruskan agar stigmatisasi yang kini hadir dapat dicegah. Pemahaman yang tidak objektif jika tetap dibiarkan akan mampu membunuh nilai-nilai Islam di mata dunia. Akhirnya Islam dianggap sebagai agama yang merusak tatanan social dunia. Eksistensinya secara otomatis akan termarjinalkan.

Buku ini berupaya menghadirkan kembali Islam yang subtantif melalui kajian-kajian kontemporer. Meski begitu, kajian Islam kontemporer ini masih terdapat korelasi antara tradisi keilmuan Islam klasik yang disintesiskan dengan metode-metode baru yang berkembang dalam tradisi Barat. Dengan begitu, Islam dalam kajian keilmuan nya tidak lagi terbatas pada paradigma positivistic-sekularistik, atau terbawa oleh arus modernitas Barat.

Dialetika ini dimaksudkan agar kajian Islam dapat diperoleh melalui pemahaman yang mendalam hingga melampaui semua itu melalui kritik nalar (posmoderen-determinitas). Dengan begitu akan tebentuk suatu pemahaman baru dengan tidak memarjinalkan perkembangan dunia yang ada saat ini.

Leave a Reply

Bahasa ยป