?Laskar pelangi? ala Adnan Katrino

Arswendo Wirawan
http://suaramerdeka.com/

NOVEL ini memiliki tema dan pelajaran hidup yang hampir mirip dengan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Sangat inspiratif dan luar biasa. Sebagai pengarang, Adnan Katino mencoba menyampaikan pesan bahwa berbagai penderitaan dan kesengsaraan hidup pasti mampu diselesaikan, jika kita tetap tawakal, bersabar, berdoa, terus berjuang dan berusaha, demi mewujudkan keinginan untuk keluar dari penderitaan.

Selain itu, sebuah tekad yang sudah bulat dan kuat terpatri di dalam dada, tidak akan pernah bisa dihancurkan dan dihalangi oleh apa pun, termasuk oleh kondisi kemiskinan dan kekurangan. Yang dibutuhkan hanyalah keyakinan yang mantap bahwa Allah pasti akan membantu mewujudkan tekad itu.

Cerita diawali dengan latar kehidupan sebuah keluarga miskin di pedalaman hutan Sumatra Utara. Seorang bayi yang kemudian diberi nama Adnan, lahir tanpa disaksikan ayah tercintanya. Ya, ketika itu Kamirun, ayah Adnan, sedang bekerja sebagai buruh panen padi di dusun sebelah, yang jaraknya sekitar satu hari berjalan kaki. Umi, ibundanya, ketika melahirkan Adnan pun, tidak dibantu siapa pun. Sebab saat itu Ani, kakak tertua Adnan, sedang mencari bantuan tetangga terdekat yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Kedua kakak Adnan di rumah pun tidak mampu berbuat apa-apa karena masih balita.

Ketika pulang bersama Nenek Sapari, Ani mendapati ibundanya sedang kepayahan mengerahkan tenaga yang tersisa untuk merebus air untuk membersihkan darah-darah di tubuh Adnan mungil dengan air hangat. Padahal, dia baru saja melahirkan. Tentu terbayang di benak kita betapa besar tenaga yang dibutuhkan untuk sebuah persalinan.

Gambaran keharuan semacam itulah yang akan mampu menggugah empati pembaca. Kita pun akan memutuskan untuk tidak berhenti membacanya sampai halaman terakhir. Sebab, apa yang diceritakan pada halaman-halaman awal, masih akan terus berlanjut pada halaman-halaman berikutnya.

Pada bab-bab selanjutnya diceritakan masa kanak-kanak Adnan yang dititipkan oleh orang tuanya kepada kerabat yang kaya. Sebab, orang tua dan kakak-kakaknya mesti pindah mencari ladang garapan baru yang lebih menghasilkan. Itu karena sawah yang mereka garap sekarang hasilnya masih belum mampu mencukupi kebutuhan sehari -hari, apalagi untuk melunasi utang-utang yang makin menumpuk. Di dalam keluarga itu Adnan tidak dianggap sebagai layaknya kerabat. Dia diperlakukan kasar dan mengalami penderitaan demi penderitaan akibat tugas-tugas harian yang diberikan pamannya, yang terlalu berat dilakukan oleh bocah seumur Adnan kala itu. Tiap pagi sebelum berangkat sekolah dia diharuskan membersihkan halaman, lalu mencari talas di sawah pinggir hutan sebagai bahan pakan itik. Tidak berhenti sampai di situ, dia pun diharuskan memasak dan mengolah talas itu menjadi pakan itik. Jadilah setiap pagi dia terlambat masuk sekolah.

Itu hanyalah sebagian kecil dari potret perjuangan dan keharuan panjang dari Adnan Katino untuk menggapai matahari. Berawal pada suatu malam ketika di rumah seorang warga yang baru saja membeli sebuah televisi, para warga berdatangan untuk mencari tahu seperti apa sih bentuk televisi itu. Terutama Adnan kecil yang begitu terkesima terhadap sebuah kotak yang mampu mengeluarkan gambar dan suara itu. Terlebih lagi ketika acaranya menyiarkan film yang bercerita tentang perjuangan seorang anak desa, yang bercita-cita mencari kesuksesan di Jakarta. Adnan begitu terbius terhadap tokoh utama film itu. Dia merasakan tokoh itu sebagai dirinya.

Perlahan-lahan film itu mampu menumbuhkan benih-benih semangat perjuangan untuk mengubah nasibnya, keluar dari kemiskinan yang tak pernah berhenti mengalir di dalam darah keluarganya. Dan film itu pulalah yang kemudian menjadi amunisi utama bagi Adnan kecil untuk terus bersekolah dan berprestasi.

Novel yang tokoh utamanya adalah pengarangnya sendiri ini juga menceritakan kecerdasan Adnan yang selalu menjadi juara satu di kelasnya, dengan nilai rapor yang sempurna. Semenjak SD pun dia sudah mengenyam pendidikan pesantren, tidak pernah berhenti hingga pada akhir pendidikannya di tingkat perguruan tinggi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kekuatan novel ini terletak pada adegan-adegan keharuan dan perjuangan hidup yang membuat napas seolah-olah berhenti. Contohnya, ketika tiga ayam kesayangan Adnan yang diamanatkan ayahnya untuk dipelihara, dipotong oleh pamannya tanpa permisi.

Di lubang sampah itu berserak seonggok bulu ayam yang masih basah. Corak warna bulu itu mengingatkan aku pada tiga makhluk sahabatku yang tadi tidak muncul ketika kupanggil. Semakin kuamati, aku semakin yakin kalau bulu itu adalah bulu yang dicabut dari ayam kesayanganku. Seketika itu air mataku mengalir deras. Tetapi suara tangisku tertahan di tenggorokan selaksa gumpalan sekam menyumbat nafasku.

Meskipun secara keseluruhan novel ini sangat bagus, inspiratif dan menyentuh perasaan, namun ada beberapa hal yang sedikit mengusik kenyamanan membacanya. Di awal-awal cerita tidak digambarkan secara detail latar lokasi serta keterangan waktu kejadian. Hal itu membuat pembaca bertanya-tanya: tahun berapa tepatnya Adnan lahir? Di kabupaten atau kecamatan mana tepatnya dia tinggal. Tahun berapa Adnan meninggalkan kampungnya untuk melanjutkan sekolah ke Kediri? Kapan tepatnya dia kuliah di Yogya dengan uang SPP per semester cuma Rp 150 ribu?

Adnan Katino telah berhasil membuat pembaca penasaran. Sebab, pembaca masih ingin mengetahui apa yang terjadi selanjutnya setelah dia lulus dari perguruan tinggi. Masih banyak cerita keharuan dan perjuangan hidup yang bisa dieksplorasi dan diperbanyak lagi.

Novel ini bagus dibaca oleh pelajar atau mereka yang memiliki cita-cita tinggi dan tekad yang kuat, namun terhambat oleh kondisi kekurangan dan kemiskinan.

Leave a Reply

Bahasa ยป