Benni Setiawan *
jurnalnet.com
Pernahkan Anda membaca buku biografi? Biografi tokoh politik, sosial, budaya, pendidikan dalam satu buku?
Ya, mungkin buku yang ditulis oleh Agus Wahyudi perlu Anda baca. Karena apa, buku ini adalah biografi singkat dari beberapa tokoh Surabaya. Setidaknya ada 21 tokoh yang dapat diteladani dan dijadikan cermin bagi kita semua.
Buku yang ditulis dengan bahasa feature ini mudah dicerna dan dipahami. Di samping gaya bahasa yang lugas dan sesekali membuat kita tersemyum dan tertawa terbahak-bahak.
Buku yang ditulis oleh wartawan Surabaya Post (Jawa Pos Groups) ini mengangkat kearifan, keuletan, ketelatenan tokoh dari Kota Pahlawan, Surabaya.
Tokoh yang patut untuk dikemukan di sini diantaranya adalah Sujarwoto alias Gombloh. Mantan mahasiswa ITS jurusan arsitektur ini dilahirkan di Jombang, 14 Juli 1948.
Siapa tak kenal Gombloh. Legenda musik Indonesia yang dikenal masyarakat luas karena lagu Kebyar-kebyar. Konon lagu ini lebih heroik dari pada lagu kebangsaaan Indonesia Raya yang diciptakan oleh WR Supratman.
Selain legenda musik, ia juga patut disebut sebagai legenda manusia khas Surabaya (Jawa Timuran). “Dia benar-benar mewakili watak arek Suroboyo. Polos, apa adanya, semuanya keluar begitu saja dari hatinya. Tapi hatinya sangat baik” ujur Pardi Artin (hal. 238)
Cerita unik tentang gombloh juga diulas dalam buku setebal 321 halaman ini. Gombloh tidak mau pindah ke Jakarta, walaupun lagu-lagunya laris di pasaran. Ia tidak mau didekte oleh cukong-cukong industri musik di Glodok Jakarta. Gombloh berujar, “Saya kan orang Surabaya. Saya tidak boleh meninggalkan Surabaya karena komunitas saya di Surabaya”. (hal. 240).
Sebuah ungkapan dari hati yang sangat dalam. Di tengah popularitas ia tetap “mendarmabhaktikan” hidupnya untuk Surabaya. Keadaan ini tentu berbanding 180 derajat dengan jaman sekarang. Artis-artis yang baru saja merintis karir, sudah kepencut pergi ke Jakarta. Selain mudah mencari uang, konon di Jakarta seseorang akan lebih mudah sukses dibandingkan hidup di kampung halamannya.
Hal tersebut tidak berlaku bagi seniman yang pernah rekaman ditunggui PSK Gang Dolly Surabaya. Gombloh tetap ingin hidup di Surabaya. Toh, dengan tetap di Surabaya ia masih bisa hidup dengan baik.
Selanjutnya adalah, biografi HM Said, seorang tokoh politik yang amat disegani. Ia telah banyak melahirkan tokoh-tokoh politik muda handal yang mampu mewarnai dinamika politik daerah maupun nasional. Ia juga menjadi tokoh yang diidolakan oleh Akbar Tandjung (Mantan Ketua DPR dan Mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar).
Ada cerita unik yang dipaparkan oleh buku yang ditulis oleh alumnus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ini. Yaitu, ketika, Jawa Pos akan dibredel oleh Mbah Progo- sapaan akrab HM Said. Kala ini Jawa Pos banyak mengkritik kebijakan Golkar sebagai partai penguasa. “Abang ijone Jawa Pos itu aku wis weruh, aku isok nutup Jawa Pos (seluruh jerohan Jawa Pos saya sudah tahu. Say bisa membredel Jawa Pos)”, begitu ucap Said.
Dahlan Iskan (CEO Jawa Pos Groups) yang mendengar ancaman itu segera menemui Mbah Progo dalam acara penataran P4 di Pandaan. “Pak Said, saya ini orang kecil. Kalau Jawa Pos dibredel saya nderek (ikut) Pak Said saja” ujar Dahlan merendah.
Spontan, amarah Mbah Progo reda. Senyum Mbah Progo pun mengembang. Belakangan, Dahlan malah dipercaya Mbah Porgo menjadi anggota MPR dari Utusan Golongan, 1987-1992. (hal. 263)
Pengalaman tersebut menunjukkan ketangguhan pengusaha koran terbesar di Indonesia bahkan dunia satu ini. Pengalaman tersebut juga dapat dijadikan hal yang sangat berharga bagi generasi muda sekarang. Menghadapi orang yang lebih tua apalagi seseorang yang berpengaruh harus mau merendah, tapi mempunyai strategi jitu untuk masa depan.
Ada lagi tokoh politik dari Surabaya yang juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Surabaya. Ia adalah Pak Poer, sapaan akrab Poernomo Kasidi. Ia adalah seorang tokoh politik yang enggan di puji. Dokter lulusan UI Jakarta dan UGM Jogjakarta ini menjadi manajer kota hinggi kini banyak jadi inspirasi.
Contohnya banjir yang jadi masalah utama Surabaya hingga saat ini. Pak Poer mencarikan solusi. Dia paham banjir tak mungkin hilang. Cuma yang dia upayakan adalah mengeliminasi genangan. Minimal kurang dari dua jam. Caranya, pertama, kebersihan diutamakan. Kedua, perbaikan saluran maupun pemetaan saluran zaman Belanda. Di Surabaya ada riol (gorong-gorong) yang bisa dimanfaatkan untuk mengalirkan air hujan. Yang utama di daerah CBD (Central Business District), yakni jalan Tunjungan, Blauran dan Embong Malang.
Ketiga penyudetan, jalur-jalur dari saluran saling dihubungkan. Pada saat daerah rendah dihubungkan dengan pompan.
Pak poer bukan hanya memberi instruksi. Ia juga menyukseskan program-program pemerintah daerah kala itu. Ia terjun langsung ke kampung-kampung. Pak Poer acap nyelonong ikut kerja bakti. Itu dilakukan bukan simbolis. Tapi ikut njegur (turun) langsung.
Tatkala keliling kampung ia tak sungkan naik sepeda balap. Kadang juga naik mobil, becak, naik sepeda motor bersama ajudannya. Itu dilakukan setiap hari.
Saking seringnya blusukan ke kampung-kampung, banyak warga yang sangat mengenal dirinya. Anak-anak pun ikut menyambutnya. “Karena apa, setiap datang ke kampung-kampung, Pak Poer membawa permen. Itu yang membuat anak-anak senang”. Pak Poer juga dikenal dengan pemrakarsa pasukan kuning (hal. 305-306).
Kisah-kisah tersebut di atas semakin mengokohkan posisi Surabaya yang telah lama dikenal orang sebagai kota Pahlawan. Surabaya juga merupakan ibu kota Propinsi Jawa Timur. Sebagai ibu kota propinsi, Surabaya merupakan kumpulan banyak orang yang mengadu nasib. Entah menjadi pedagang, wartawan, tokoh politik, penyanyi, PNS dan seterusnya.
Dalam perjalanan selanjutnya, ternyata Surabaya telah banyak mencetak orang-orang penting dalam lintasan sejarah. Mereka tersebar dalam berbagai bidang. Politik, hukum, sosial, pemain sepakbola, penulis dan penyanyi.
Walaupun belum diangkatnya tokoh penggerak ekonomi, sebagaimana kritik Dahlan Iskan dalam kata pengatar, buku ini kiranya patut di baca oleh siapa saja yang ingin mengetahui Surabaya lebih dekat. Lebih-lebih bagi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang akan bertarung di pilkada Jawa Timur pada 2008.
Pada akhirnya, buku ini adalah sketsa hidup tokoh Surabaya yang bertutur tentang penggalan kisah hidup. Mereka terlahir dari latar belakang yang berbeda. Namun, mereka telah memberikan inspirasi besar dan pengaruh bagi perkembangan Kota Surabaya.
Judul Buku : Sketsa Tokoh Suroboyo
Penulis : Agus Wahyudi
Pengantar : Dahlan Iskan
Penerbit : Selasar Publishing, Surabaya
Tebal : xviii + 321 halaman
Cetakan : I, 2006
*) Benni Setiawan, Pembaca Buku.